Rabu, 23 Juli 2014

Politik Transaksi Budaya Bangsa Indonesia

Pemilu identik dengan uang, baik pemilu calon presiden, pemilu calon gubernur, pemilu calon bupati, pemilu calon legislatif, maupun pemilu calon kepala desa. Semuanya tidak terlepas dari yang namanya uang sebagai alat atau umpan untuk mendapat dukungan/suara dalam pelaksanaan pemilihan umum.

Fenomena yang masih hangat yaitu pemilu calon legislatif 9 April kemarin, hampir semua caleg menggunakan uang sebagai alat untuk mendapatkan suara dari masyarakat. Fenomena ini sering kita sebut sebagai politik transaksi atau “money politics”. Seperti yang diberitakan di KOMPAS.com seorang caleg berinisial MJ dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), untuk DPRD Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, meminta warga mengembalikan uangnya setelah mengetahui perolehan suara di Kapung Nelayan Mansapa hanya dua suara.

Peristiwa di Kampung Nelayan Mansapa merupakan salah satu dari kasus “money politics” yang dilakukan oleh calon anggota legislatif, belum lagi dari caleg-caleg lain yang tidak publikasikan di media massa. Jika di persentasikan, hampir 90% para caleg melakukan praktek “money politics”. Dan ternyata politik transaksi ini tidak hanya terjadi di pemilu 9 April kemarin, pemilu tahun-tahun sebelumnya juga terjadi demikian. Tidak menutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden mendatang pun akan terjadi hal yang serupa.

Hal tersebut secara tidak langsung mendeskripsikan kepada kita bahwa politik transaksi atau “money politics” merupakan budaya bangsa Indonesia. Diakuai atau tidak fenomena diatas adalah faktanya. Padahal dalam UU Pemilu sudah jelas mengenai larangan melakukan “money politics”.

“Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu”, Pasal 73 ayat 3 UU Pemilu No. 3/1999.

Larangan melakukan “money politics” juga diatur dalam UU Pilkada tahun 2004, “setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)”, UU Pilkada No. 32 Pasal 117 Tahun 2004.

Meskipun larangan melakukan praktik “money politics” sudah diatur dalam UU, sayangnya masih orang banyak yang melakukan hal tersebut. Ironisnya praktik “money politics” yang terjadi dilapangan, baik pelaku maupun penerima jarang diperkarakan. Panwaslu sebagai badan pengawasan pemilu, yang seharusnya mengawasi kecurangan-kecurangan dalam pemilu seolah menutup mata. Undang-undang yang seharusnya menjadi kitab suci Negara, seolah diabaikan begitu saja.

Hal ini membuktikan bahwa penegakan hukum di Indonesia masih rendah. Lalu siapa yang salah dan siapa yang harus disalahkan? Berbicara siapa yang salah, tentu siapapun tak ada yang mau disalahkan. Yang terbaik saat ini adalah mari introsfeksi diri, mari berbenah diri, agar politik transaksi tidak lagi menjadi budaya di Bangsa ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar