Sabtu, 31 Mei 2014

Cerpen



                                                      KAOS KAKI BOLONG

Hidup ini kadang tak adil. Bagi orang kaya tertawa adalah sebuah kenikmatan yang tak terkira, sementara bagi orang tak punya jangankan untuk tertawa, untuk tersenyum saja harus menutupi dera dan derita. Namun begitulah romantika kehidupan di dunia fana, suka tidak suka harus diterima dengan ikhlas dan lapang dada. Sesungguhnya miskin dan kaya tak ada beda, tergantung bagaimana menjalaninya. Begitupun dengan kemiskinan yang kualami, sebelum kupahami tentang makna “kemiskinan” Aku sering menghakimi Tuhan atas dasar ketidakadilan. Ternyata Aku salah besar. Kini kemiskinan telah menyadarkanku batapa nikmatnya penderitaan jika dijalani dengan penuh keikhlasan. Ya, hidup sebagai orang miskin memang harus dijalani dengan penuh keikhlasan.

Almarhum Bapakku pernah mengatakan “Hidup sebagai orang miskin seperti kita harus dijalani apa adanya.” Begitulah tadasnya. Itu adalah kalimat terakhir yang diucapkan Bapak sebelum beliau meninggalkanku untuk selama-lamanya. Mungkin itu merupakan amanat yang harus Aku pahami sebagai anak paling tua di keluargaku. Aku tak pernah menyangka Bapak akan secepat itu meninggalkanku, Ibu, serta kedua adikku yang masih kecil.

Setelah Bapak meninggal Ibulah yang menjadi tulang punggung keluarga, meneruskan pekerjaan ayah sebagai tukang becak. Kadang aku tak tega melihat Ibu harus bangun di pagi buta, lalu pergi dan berkumpul pertigaan jalan bersama tukang becak lainnya. Tapi apalah daya, Aku hanya bisa menahan air mata melihat keadaan yang ada. Aku belum bisa menjadi tulang punggung pengganti Bapak mengingat usiaku belum dewasa. Maka terpaksa Ibu harus bekerja menjadi tukang becak demi menghidupi anak-anaknya, walaupun pekerjaan ini  tak lazim dilakukan oleh seorang wanita.

Dengan kemiskinan yang kualami saat ini, Aku selalu belajar menjadi orang yang ikhlas dan tabah dalam menjalani kehidupan. Aku adalah seorang siswa kelas V Sekolah Dasar. Namaku Arif Rahman, teman di sekolah biasa memanggilku dengan panggilan Arif. Sekolahku terletak di ujung desa sehingga Aku harus menempuh perjalanan sekitar 2 KM dari tempat tinggal. Perjalanan dari rumah ke sekolah menghabiskan waktu selama satu jam, jika sekolah masuk pada pukul 07.30 WIB maka pukul 05.30 Aku harus berangkat.

Meski hidupku dipenuhi dengan segala kekurangan, tapi cita-citaku tak pernah padam. Cita-cita terbesarku ingin menjadi seorang guru, akan tetapi ada cita-cita lain yang terlebih dulu ingin kugapai yakni membeli kaos kaki baru, mengingat kaos kaki yang setiap hari kupakai ke sekolah sudah bolong. Mungkin bagi anak orang kaya untuk membeli kaos kaki baru bisa meminta kepada orang tuanya bahkan tanpa dipintapun orang mereka akan dibelikan, tapi bagi orang miskin sepertiku jangankan untuk meminta kepada orang tua, untuk makan sehari-hari saja kadang ibu minta nasi kepada tetangga.

Suatu hari Aku pernah diejek teman-teman sekelasku saat Aku hendak memasuki ruang guru, dimana ruang guru dan kelasku saling berhadapan. Saat itu Aku hendak mengantarkan kaca mata Pak Agung yang tertinggal di dalam kelas. Sebagaimana aturan yang ditetapkan oleh pihak sekolah bahwa siapapun yang akan masuk ke ruang harus melepas sepatu. Aturan tersebut belaku untuk semua pihak, baik bagi guru maupun bagi siswa. Setelah Aku membuka sepatu dan hendak masuk ke ruang guru, Adit dan Didin menghampiriku dengan tatapan sinis. Mereka adalah teman sekelasku yang suka jail.

“Hey Anak tukang becak, mau ngapain kamu masuk ke ruang guru?”, tanya Adit.
“Kamu tidak layak masuk ke ruang guru, soalnya kamu anak tukang becak”, kata Didin.

Aku tak menghiraukan perkataan kedua temanku itu, ketika aku melangkah tiba-tiba Adit menarik kerah bajuku dari belakang sehingga aku terjatuh dan kaki kiriku terkilir. Ketika aku hendak bangun, Aku merasakan kesakitan yang tak terhingga dibagian pergelangan kaki. Adit dan Didin tertawa melihat aku kesakitan, ia malah mengejek ketika melihat sepasang kaos kakiku bolong di bagian jempol.

“Hey Anak tukang becak, lihatlah kaos kakimu bolong. Masa kaos kaki bolong masih dipakai? Atau jangan-jangan itu kaos kaki bekas ibumu narik becak ya?”, ejek Didin.

Tak lama kemudian teman-teman sekelas berkumpul mengelilingiku, tiba-tiba mereka pun ikut menertawakan dan mengejekku seperti Adit dan Didin. Sementara aku hanya bisa menangis dan menahan rasa malu atas ejekan tersebut. Peristiwa itu serentak mengundang perhatian guru-guru yang berada di ruang guru. Melihat Pak Agung menghampiriku yang sedang menangis kesakitan, teman-teman sekelasku semuanya lari karena takut dimarahi.

“Kamu kenapa menangis Rif?”, tanya Pak Agung.
“Saya mau mengantarkan kaca mata Bapak yang tertinggal di kelas, ketika saya mau menemui Bapak, Adit menarik saya dari belakang lalu saya jatuh pak. Ini kaca mata Bapak”, jawabku sambil menyodorkan kaca mata.
“Terima kasih Rif, tapi kamu tidak apa-apa kan?”, tanya Pak Agung.
“Kaki saya terkilir pak, tapi saya masih bisa berjalan ko Pak”, jawabku sambil menahan sakit. Kalau begitu saya permisi ke kelas lagi Pak.
“Syukurlah kalau begitu. Ya sudah kamu jangan menangis lagi Rif!” Jawab Pak Agung.
“Iya Pak”, jawabku sambil berjalan meninggalkan Pak Agung.

Setelah bel pulang berbunyi, aku langsung pulang ke rumah. Seperti biasa aku langsung ganti pakaian, membersihkan rumah dan menjaga adik-adikku yang ditinggal Ibu bekerja. Ketika Aku sedang sekolah Ibu biasa menitipkan adik-adikku kepada tetangga samping rumah, sementara jika Aku selesai sekolah maka Akulah yang menjaganya.

Senja telah di upuk barat, matahari kian redup tapi Ibu belum juga pulang. Aku sangat khawatir terjadi sesuatu pada Ibu. Tapi tak lama kemudian Ibu pulang, wajahnya tampak lelah dan dipenuhi debu jalanan. Tapi Ibu selalu berusaha menutupi apa yang dirasakannya, walaupun Aku tahu apa yang Ibu rasakan sesungguhnya. Tanpa banyak bicara, Ibu langsung pergi ke dapur menyiapkan makan untuk keluarga. Selesai makan Aku menceritakan kejadian yang ku alami di sekolah, aku berniat ingin berhenti sekolah karena aku sering diejek teman-teman sekelas karena sepasang kaos kakiku bolong.

“Bu, Arif tidak mau sekolah lagi. Arif mau berhenti sekolah saja”, kataku.
“Loh, kenapa Nak?” tanya Ibu.
“Arif malu Bu, tadi siang Arif diejek teman-teman sekolah gara-gara kaos kaki Arif bolong. Di kelas juga Arif sering diejek karena Ibu bekerja sebagai tukang becak, Arif mau bekerja saja”. Jawabku.
“Nak, kalau kamu tidak sekolah kamu mau jadi apa? Lagipula usia kamu masih kanak-kanak, kamu bisa kerja apa?” tanya Ibu
“Kalau begitu Arif mau jaga adik-adik saja di rumah” jawabku sambil menundukan kepala.
“Nak, dengarkan Ibu! Walaupun kamu terlahir dari keluarga tak punya, Ibu ingin anak-anak Ibu mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Ibu ingin kalian punya cita-cita, agar ketika Ibu tua nanti kalian bisa menjadi anak kebanggaan keluarga, bangsa dan negara. Ibu yakin, Tuhan akan selalu memberi jalan bagi hambanya yang sungguh-sungguh menuntut ilmu. Masa gara-gara kaos kaki bolong saja kamu jadi minder dan patah semangat? Apa kamu lupa amanat almarhum Bapak? Ingatlah Nak, hidup menjadi orang miskin seperti kita harus dijalani apa adanya! Jadikan ejekan teman-temanmu sebagai motivasi dalam diri untuk menjadi siswa berprestas!’’

Kata-kata Ibu seolah membakar semangatku, membangkitkan semangat baru untuk terus menuntut ilmu. Tak lama kemudian Ibu kembali berbicara.

“Satu lagi yang harus kamu tanamkan dalam hati. Pekerjaan apapun dimata Tuhan adalah sama Nak, baik itu bekerja sebagai TNI, polisi, dosen, guru, karyawan, pedagang, petani, tukang ojek, bahkan tukang becak di mata Tuhan itu semua sama Nak. Yang membedakan adalah bagaimana cara mendapatkan uangnya, apakah dengan cara halal atau dengan cara haram. Jadi kalau ada lagi teman yang mengejekmu mengenai pekerjaan Ibu, kamu tidak perlu malu karena uang yang Ibu terima didapat dengan cara yang halal”, pungkas Ibu sambil menyuruhku belajar dan menyiapkan buku pelajaran untuk esok hari.

Ibuku memang luar bisa, beliau pandai bermain kata-kata yang bisa membangkitkan semangat anak-anaknya. Sejak saat itu Aku jadi lebih giat belajar meski dengan segala keterbatasan. Aku menjadi lebih ikhlas menerima keadaan, dari keikhlasan itulah melahirkan sebuah prisip yang Aku pegang, bahwa tak ada batasan bagi seseorang untuk menggapai impian walaupun hidup dalam segala keterbatasan. Maka saat itu juga prestasiku semakin meningkat, terbukti dari rangkingku yang sebelumnya hanya masuk sepuluh besar sekarang meningkat menjadi tiga besar.

Waktu terasa begitu cepat berputar, kini aku sudah duduk di kelas enam. Rasanya baru kemarin aku didaftarkan oleh Ibu ke Sekolah Dasar kini aku sudah kelas enam, dimana sebentar lagi Aku akan menghadapi saat-saat yang menegangkan yakni Ujian Nasional. Sebab, Ujian Nasionallah yang akan menentukan nasibku selama enam tahun belajar di Sekolah Dasar.

Ujian Nasional tinggal menghitung hari, semua guru mengingatkan agar semua siswa harus lebih giat belajar. Bahkan beberapa temanku sudah dibelikan sepatu dan kaos kaki baru untuk dipakai ketika ujian, sementara Aku tetap memakai kaos kaki bolong milikku satu-satunya. Aku tetap memakai kaos kaki bolong bukan berarti Ibu tak memperdulikanku, akan tetapi karena keterbatasan keluargaku yang tidak memungkinkan Ibu untuk membelikanku kaos kaki baru. Suatu hari ketika Aku dan teman-teman sedang mengikuti pelajaran tambahan, Kepala Sekolah menyampaikan pengumuman di depan kelas.

“Anak-anak, Bapak akan menyampaikan kabar gembira. Bagi siswa yang lulus ujian dengan nilai paling besar Bapak akan memberi penghargaan berupa piala dan uang. Maka dari itu tingkatkan porsi belajar kalian, silahkan besaing secara sehat!” kata Kepala Sekolah.

Mendengar pengumuman tersebut seolah memberi angin segar bagiku, Aku sempat membayangkan jika Aku yang mendapat penghargaan tersebut tentu akan kubelikan kaos kaki baru yang selama ini Aku impikan. Walaupun masa sekolahku tinggal beberapa bulan, setidaknya kaos kaki baru itu bisa kupakai ketika perpisahan.

Hari pertama Ujian Nasional telah tiba, hari pertama kulalui tanpa kendala. Meskipun Aku tetap memakai kaos kaki bolong, tapi tak mengurangi konsentrasiku pada soal-soal yang harus kujawab. Begitupun hari kedua, tak ada kendala dalam menjawab soal-soal yang diberikan. Bagiku Ujian Nasional tak ada bedanya dengan ulangan harian ataupun ujian kenaikan kelas, mungkin karena persiapanku sudah matang sebelumnya. Namun hari terakhir Ibuku mendadak sakit parah, tidak mungkin Aku berangkat ke sekolah untuk mengikuti ujian mengingat Ibu dalam keadaan sakit.

Aku sempat berpikir, jika Aku tidak mengikuti ujian hari terakhir maka sudah dapat diprediksi Aku tidak akan lulus Sekolah Dasar. Tapi disisi lain, Ibu sangat membutuhkanku saat ini.

“Nak, kamu berangkat saja ke sekolah!”, kata Ibu sambil terbata-bata.
“Tidak bu, Arif mau di sini saja menunggu Ibu. Arif tidak tega meninggalkan Ibu dalam keadaan sakit seperti ini”, jawabku.
“Ini kan ujian hari terakhir Nak, nanti kamu tidak akan lulus. Perjuangan kamu selama enam tahun akan sia-sia Nak!” tegas Ibu.
“Ibu tidak usah khawatir, Arif tidak lulus juga tidak apa-apa Bu. Kesehatan Ibu lebih penting dari segalanya, lagipula tidak ada yang sia-sia Bu. Arif pernah dikasih tau oleh guru ngaji Arif di langgar, bahwa Ujian Nasional tidak bisa dijadikan tolak ukur kemampuan siswa, dan lembar ijazah yang dibagikanpun tidak bisa dijadikan patokan bahwa siswa tersebut pintar atau bodoh. Ibu tenang saja ya, Arif akan menunggu Ibu di sini sampai sembuh”, jawabku sambil memegang kedua tangan Ibu yang sedang terbaring lemah.
Tak lama kemudian Kepala Sekolah menjemputku rumah bersama Pak Agung dengan mengendarai motor tuanya. Beliau seolah tau kalau Ibu sedang sakit. Setelah menemui Ibu, Kepala Sekolah langsung mengajakku ke sekolah untuk mengikuti ujian.
“Arif ayo kamu ikut Bapak ke sekolah, ujian ini menentukan kelulusanmu!” Ajak Kepala Sekolah.
“Tapi Ibu sedang sakit pak”, jawabku.
“Ibumu nanti biar Pak Agung yang menjaganya, sekarang Arif ikut Bapak ke sekolah. Nanti selesai ujian Bapak antarkan lagi kesini”, lanjut Kepala Sekolah.
“Baiklah kalau begitu Pak”, jawabku.

Mendengar perkataan Kepala Sekolah, Aku bergegas memakai seragam seragam sekolah lengkap dengan dasi dan topi, serta kaos kaki bolong yang selalu ku pakai setiap pergi ke sekolah.

Sesampainya di sekolah Aku sudah terlambat, waktu yang tersisa tinggal 30 menit. Aku tak menghiraukan sisa waktu tersebut, yang terpenting adalah menjawab soal semampuku.

30 Menit telah berlalu. Guru pengawas memberi kode bahwa waktu ujian telah selesai, meskipun sisa waktu yang kumiliki hanya 30 menit, Aku mampu menjawab semua soal dengan baik. Setelah aku mengumpulkan lembar soal dan lembar jawaban, Kepala Sekolah langsung mengantarkanku kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah, Kepala Sekolah langsung kembali ke sekolah dengan memboncengan Pak agung yang sebelumnya di peritahkan untuk menunggu Ibu di rumah selama Aku melaksanakan ujian. Aku langsung menemui Ibu yang sedang sakit, ketika Aku masuk ke kamar Ibu, ternyata Ibu sudah bisa duduk sendiri. Melihat hal itu, Aku sangat senang karena itu tandanya Ibu sudah sembuh.

Pengumuman kelulusan sudah tiba, semua siswa kelas enam berkumpul di halaman sekolah. Kepala Sekolah mengumumkan bahwa semua siswa lulus 100%, adapun siswa yang lulus mendapat nilai paling besar yaitu temanku yang bernama Anida Fitriani. Maka otomatis penghargaan berupa piagam dan uang yang Aku dambakan jatuh pada temanku. Padahal nilai Anida hanya beda tipis dengan nilai perolehanku, tapi karena Anida lebih unggul maka dialah yang lebih berhak mendapat penghargaan.

Betapa terpukulnya hatiku saat mendengar hal tersebut, karena rencanaku untuk membeli kaos kaki baru dari uang penghargaan tidak jadi. Akan tetapi Pak Agung selaku wali kelas memberikan penghargaan berupa bingkisan kepada siswa yang nilainya masuk tiga besar. Ketika Aku buka bingkisan tersebut ternyata isinya sepatu dan kaos kaki baru. Betapa senangnya melihat hal tersebut, kini Aku memiliki kaos kaki baru yang selama ini Aku impikan, selain itu Aku juga punya sepatu baru yang akan ku pakai ketika hari perpisahan tiba meskipun sepatu dan kaos kaki tersebut tak sebagus milik teman-temanku yang dibelikan orang tuanya. Tapi Aku akan lebih bangga ketika memakainya, sebab sepatu dan kaos kaki yang akan kupakai merupakan suatu penghargaan yang diberikan wali kelas atas prestasiku.