Jumat, 29 Januari 2010

SBY Menilai UN Bukan Alat Ukur Satu-satunya


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan untuk tetap melaksanakan Ujian Nasional sebaik-baiknya, termasuk meningkatkan kualitas dengan memperbaiki kekurangannya.
Instruksi SBY itu disampaikan Menteri Pendidikan Nasional M Nuh usai mengingkuti Sidang Terbatas, di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis sore. “Dari berbagai pandangan, pertimbangan, yang perlu kami sampaikan bahwa ujian nasional itu adalah bagian dari sistem evaluasi,” kata Nuh. Rapat yang dipimpin SBY itu juga dihadiri menteri dilingkungan kesejahteraan rakyat.
Ia mengatakan Ujian Nasional 2010, selain ada ujian utama, ada ujian susulan dan ada jeda untuk evaluasi dan diumumkan. Bagi yang tidak lulus ada jeda selama satu bulan dan diberikan ujian ulang setelah pengumuman. Yang diulang boleh mata pelajaran yang tidak lulus, boleh semuanya.
Ia mengatakan sistem evaluasi itu adalah bagian dari proses belajar mengajar. Sehingga kalau diistilakan Ujian Nasional itu sebagai pohonnya maka sistem proses belajar mengajar itu sebagai hutannya. Jangan sampai gara-gara kita memperdebatkan urusan pohon tadi, hutannya menjadi tidak terawat,” kata Mendiknas.
Nuh menjelaskan dengan berbagai pertimbangan, Ujian Nasional inilah yang metodenya dinilai paling pas. Nilai positifnya jauh lebih banyak dibanding dengan negatifnya. Untuk memberikan gambaran mengenai perbandingan metode Ujian Nasional dengan metode-metode lainnya.
Presiden SBY sendiri dalam pembukaan rapat terbatas mengungkapkan, dirinya berpendapat Ujian Nasional bukan satu-satunya alat ukur yang dipilih tapi memadukan opsi lain. “Kita mengetahui ada sejumlah pro-kontra yang berkaitan Ujian Nasional ini, tentu ada pikiran-pikiran yang patut kita dengar dari mahasiswa maupun siapapun yang peduli ujian nasional ini menjadi salah satu bagian alat ukur bagi pendidikan,” katanya.
Kepala Negara mengatakan bahwa ada dua opsi yang pernah diajukan kepadanya yaitu opsi pertama, Ujian Nasional sebagai ukuran pertama yang manakala tak berhasil ada peluang untuk ujian lain.
Opsi kedua, lanjut dia, adalah kembali ke model Ebtanas. “Tentunya harus ada model pembaharuan karena dari UU bila semacam Ebtanas tentu perlu pengkajian yang penting harus obyektif,” ujarnya.