Pemilu identik dengan
uang, baik pemilu calon presiden, pemilu calon gubernur, pemilu calon bupati,
pemilu calon legislatif, maupun pemilu calon kepala desa. Semuanya tidak
terlepas dari yang namanya uang sebagai alat atau umpan untuk mendapat
dukungan/suara dalam pelaksanaan pemilihan umum.
Fenomena yang masih
hangat yaitu pemilu calon legislatif 9 April kemarin, hampir semua caleg
menggunakan uang sebagai alat untuk mendapatkan suara dari masyarakat. Fenomena
ini sering kita sebut sebagai politik transaksi atau “money politics”. Seperti
yang diberitakan di KOMPAS.com seorang caleg berinisial MJ dari Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), untuk DPRD Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, meminta warga
mengembalikan uangnya setelah mengetahui perolehan suara di Kapung Nelayan
Mansapa hanya dua suara.
Peristiwa di Kampung
Nelayan Mansapa merupakan salah satu dari kasus “money politics” yang dilakukan
oleh calon anggota legislatif, belum lagi dari caleg-caleg lain yang tidak publikasikan
di media massa. Jika di persentasikan, hampir 90% para caleg melakukan praktek
“money politics”. Dan ternyata politik transaksi ini tidak hanya terjadi di
pemilu 9 April kemarin, pemilu tahun-tahun sebelumnya juga terjadi demikian. Tidak
menutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden mendatang pun akan
terjadi hal yang serupa.
Hal tersebut secara
tidak langsung mendeskripsikan kepada kita bahwa politik transaksi atau “money
politics” merupakan budaya bangsa Indonesia. Diakuai atau tidak fenomena diatas
adalah faktanya. Padahal dalam UU Pemilu sudah jelas mengenai larangan
melakukan “money politics”.
“Barang siapa pada
waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan
pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan
haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu,
dipidana dengan hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan
juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat
sesuatu”, Pasal 73 ayat 3 UU Pemilu No. 3/1999.
Larangan melakukan
“money politics” juga diatur dalam UU Pilkada tahun 2004, “setiap orang yang
dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada
seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon
tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat
suaranya tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)”, UU Pilkada
No. 32 Pasal 117 Tahun 2004.
Meskipun larangan
melakukan praktik “money politics” sudah diatur dalam UU, sayangnya masih orang
banyak yang melakukan hal tersebut. Ironisnya praktik “money politics” yang
terjadi dilapangan, baik pelaku maupun penerima jarang diperkarakan. Panwaslu
sebagai badan pengawasan pemilu, yang seharusnya mengawasi kecurangan-kecurangan
dalam pemilu seolah menutup mata. Undang-undang yang seharusnya menjadi kitab
suci Negara, seolah diabaikan begitu saja.
Hal ini membuktikan bahwa
penegakan hukum di Indonesia masih rendah. Lalu siapa yang salah dan siapa yang
harus disalahkan? Berbicara siapa yang salah, tentu siapapun tak ada yang mau
disalahkan. Yang terbaik saat ini adalah mari introsfeksi diri, mari berbenah
diri, agar politik transaksi tidak lagi menjadi budaya di Bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar