Mimpi Ratih
Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam Ratih masih bergelut dengan bolpoin dan kertas. Ya, begitulah aktivitas Ratih sebelum ia lekas menutup hari, menulis cerpen untuk dikirimkan ke media esok hari.
Ratih adalah seorang anak dari keluarga
sederhana, bapaknya bekerja sebagai pedagang kaki lima di Jakarta sedangkan
ibunya hanya sebatas ibu rumah tangga. Namun tekadnya untuk melanjutkan ke
Perguruan Tinggi tidak pernah surut. Ratih memang mahir dalam menulis cerpen,
namun ia bercita-cita ingin menjadi seorang guru bahasa Indonesia.
Waktu begitu cepat berlalu, tak terasa Ratih sudah lulus SMA. Ia bingung terhadap pilihan yang menyudutkannya, ia bimbang apakah akan melanjutkan sekolah atau bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Masing-masing pilihan itu ada konsekuensi yang harus ia terima. Jika ia melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, mungkin ia bisa menggapai cita-citanya untuk menjadi seorang guru bahasa Indonesia tapi siapa yang akan membiayai kuliahnya mengingaat pendapatan Bapaknya tak seberapa. Jika ia tidak melanjutkan sekolah lalu bekerja, mungkin ekonomi keluarga akan sedikit terbantu tapi cita-citanya untuk menjadi seorang guru bahasa Indonesia kemungkinan tidak akan pernah terlaksana.
Suatu malam, setelah ia selesai menulis sebuah cerpen ia menghampiri Ibunya yang sedang berbaring di tempat tidur. Ratih hedak menyampaikan keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi. Sayang ibunya tak mengizinkan begitu saja keinginan Ratih.
“Bu, Ratih mau bicara sesuatu pada Ibu!”, kata Ratih sambil menunduk.
“Bicara soal apa Nak, bicaralah!’’, jawab Ibunya.
“Aku kan sudah lulus bu, ijazah SMA juga sudah dibagikan. Aku ingin melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi. Aku ingin jadi guru bahasa Indonesia syaratnya Aku harus kuliah bu”, kata Ratih dengan penuh keraguan.
“Apa ibu tidak salah dengar? Uang dari mana Nak, kamu kan tahu sendiri biaya kuliah itu kan mahal, bisa mencapai puluhan juta. Sementara Bapakmu hanya sebatas pedagang kaki lima di Jakarta, pulang setiap dua bulan sekali. Itupun penghasilannya tak seberapa”, jawab Ibunya dengan nada rendah.
“Tapi Aku ingin menjadi guru Bu, Aku ingin megangkat harkat dan martabat keluarga kita. Selama ini orang-orang menganggap rendah terhadap keluarga kita, mungkin karna kita hanya keluarga sederhana yang tak punya apa-apa dan tidak berpendidikan. Maka dari itu, Aku ingin membuktikan pada mereka kalau kita juga berhak dihormati oleh sesama. Hanya dengan pendidikan nama baik keluarga akan terangkat bu!”, kata Ratih.
“Kamu benar Nak, tapi . . .” jawab Ibunya sambil terbata-bata.
“Tapi apa Bu??? Apalagi yang Ibu khawatirkan. Masalah biaya? Ibu tidak usah khawatir, Insya Allah aku bisa membiayai kuliahku dari hasil menulis cerpen. Lagipula cita-citaku ini kan mulia, Aku yakin Allah akan selalu memberi jalan pada hambaNya yang bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu!”, kata Ratih penuh keyakinan.
“Sudahlah, malam sudah larut Nak. Ibu tidak bisa memutuskan seorang diri, Ibu harus bicara dulu pada Bapakmu. Segala sesuatunya kan harus ada persetujuan Bapak dulu, sebab Bapak adalah kepala keluarga. Apalagi ini menyangkut masalah biaya, tentu Ibu tidak bisa memutuskan seorang diri. Kamu bersabarlah Nak, seminggu lagi Bapakmu pulang dari Jakarta. Sekarang tidurlah!”, kata Ibunya sambil menyuruh Ratih segera tidur.
Tanpa meninggalkan sepatah kata, Ratih bergegas keluar dari kamar Ibunya. Ia sedikit kecewa dengan tanggapan Ibunya yang tidak sesuai harapan. Awalnya Ratih mengira Ibunya akan menuruti keinginannya, ternyata haya kesenjangan yang ia terima.
Kemudian Ratih masuk ke kamarnya, meski Ibunya menyarankan agar segera tidur namun Ratih malah menulis cerpen tentang kisah yang baru saja ia alami. Ratih memang peka terhadap apa saja yang ia lihat maupun yang ia rasakan, sehingga apa saja yang ia alami selalu dicurahkan pada sebuah tulisan, dirangkai menjadi sebuah cerita menarik untuk dibaca oleh semua orang.
Malam adalah waktu dimana kesedihan semakin menjelma, semilir angin yang menembus dinding menambah kesedihan yang dirasakan Ratih. Tak berapa lama Ratih tertidur di atas meja belajar, sementara tangannya masih memegang bolpoin.
Seminggu telah berlalu, ini adalah waktu yang di tunggu-tunggu oleh Ratih. Waktu dimana Ratih akan mengatakan keinginan kepada Bapaknya untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi.
Sekitar pukul dua siang Bapaknya datang dengan membawa tas berisi pakaian. Ratih menyambut kedatangan Bapaknya dengan hati berbunga-bunga, ia segera menyiapkan teh hangat untuk Bapaknya yang baru saja turun dari sebuah angkot berwarna putih. Seperti biasa sebelum ganti pakaian Bapaknya selalu menceritakan segala sesuatu yang terjadi selama dua bulan ke belakang di Jakarta, sementara Ratih dan Ibunya menjadi penyimak setia.
Malam harinya, setelah sholat isya Ratih dipanggil oleh Bapaknya yang sedang duduk di beranda rumah bersama Ibunya.
“Ratih.. Ratih.. Ratih.. sini Nak!!!”, panggil Bapaknya.
“Iya Pak”, jawab Ratih.
“Nak, Bapak mau bicara sama kamu. Bapak dengar katanya kamu ingin kuliah, apa benar?” kata Bapaknya dengan nada pelan.
“Iya pak, Ratih ingin melanjutkan sekolah. Ratih ingin jadi guru bahasa Indonesia Pak”, jawab Ratih sambil duduk di samping Bapaknya.
“Apa kamu sudah mempertimbangkannya Nak? Kamu kan tahu sendiri, biaya kuliah itu mahal Nak. Jangankan kuliah yang biaya pendidikannya tidak ditanggung oleh pemerintah, sekolah di SMA saja yang katanya gratis masih ada pungutan-pungutan tak terduga. Jujur Bapak tidak sanggup membiayai kamu Nak, penghasilan Bapak saja belum tentu mencukupi kebutuhan sehari-hari apalagi jika ditambah biaya untuk kuliah. Bapak bukannya tidak sayang Nak, tapi ekonomi keluarga kita yang tidak memungkinkan!”, tegas Bapak.
“Semuanya sudah Ratih pertimbangkan masak-masak Pak, Ratih juga paham betul akan keadaan ekonomi keluarga kita. Bapak dan Ibu tidak usah memikirkan masalah biaya, Ratih masih punya tabungan untuk biaya masuk kuliah. Untuk kedepannya Insya Allah Ratih bisa membiayai kuliah dari hasil menulis cerpen. Untuk saat ini Ratih hanya butuh restu dari Ibu dan Bapak, sebab ridho Allah adalah restu dari orang tua”, jawab Ratih.
“Apa kamu yakin Nak? Kalau memang seperti itu, baiklah Bapak dan Ibu mengizinkan. Asal kamu jangan memilih jurusan bahasa Indonesia”, kata Bapak dengan nada agak tinggi.
“Loh kenapa Pak, apa ada yang salah dengan jurusan bahasa Indonesia?”, sanggah Ratih.
“Dengarkan Bapak Nak, coba kamu perhatikan sarjana jurusan bahasa Indonesia yang ada di kampung kita. Mereka semuanya pada nganggur Nak, guru bahasa Indonesia sudah banyak sehingga persaingan semakin ketat dan sekolahpun sudah tidak membutuhkan lagi. Apa kamu mau seperti mereka? Lagipula bahasa Indonesia itu mudah Nak, tanpa dipelajaripun nanti bisa sendiri. Lebih baik kamu pilih jurusan lain yang lebih menantang dan prosfeknya bagus”, kata-kata Bapaknya semakin tinggi.
“Tidak Pak, tekad Ratih sudah bulat. Ratih akan tetap memilih jurusan bahasa Indonesia. Karena Ratih yakin selama bahasa Nasional kita adalah bahasa Indonesia maka sarjana jurusan bahasa Indonesia akan tetap dibutuhkan”, tegas Ratih.
“Ya sudah kalau itu memang keinginanmu, Bapak dan Ibu hanya bisa mendoakanmu Nak. Saran Bapak, jadilah mahasiswa yang berprestasi agar bisa membanggakan orang tua, hormati dosen-dosenmu sebab mereka adalah orang-orang yang akan mengantarkanmu dalam mewujudkan cita-cita”, saran Bapaknya sambil memeluk Ratih penuh kasih sayang.
Setelah percakapan itu Ratih jadi semakin giat belajar untuk menghadapi tes seleksi mahasiswa baru. Ia juga tetap menulis cerpen untuk dikirimkan ke media masa, uang dari hasil menulis cerpen ia tabungkan. Sebagian sudah ia gunakan untuk biaya masuk kuliah.
Setelah ujian masuk dilaksanakan, tiga hari kemudian pengumuman penerimaan mahasiswa baru dipajang di papan informasi kampus. Pengumuman itu hanya berisi daftar nama yang lulus seleksi, nama peserta yang tidak lulus tidak dicantukan. Ratih segera menuju kampus, dengan harap-harap cemas ia baca satu persatu nama yang tercantum di papan informasi. Sayang tidak ada nama Ratih pada pengumuman tersebut. Itu artinya ia tidak lulus seleksi, maka ia harus mengikuti tes lagi pada tahun yang akan datang.
Betapa terpukulnya perasaan Ratih pada saat itu. Ratih pulang dengan membawa kekecewaan, ia tidak menyangka akan semua ini. Bahkan ia hampir putus asa tidak ingin menggapai cita-citanya yang selama ini ia gantungkan.
Sesampainya di rumah, Ibunya melihat wajah Ratih tak seperti biasanya. Anak yang ia kenal sebagai anak yang ceria, mandiri, dan penuh percaya diri, kini tampak seperti langit mendung. Kemudian Ibunya menghampiri dan menanyakan apa yang sudah terjadi pada Ratih.
“Kamu kenapa Nak, bagaimana kamu diterima tidak?”, tanya Ibunya.
“Tidak apa-apa ko Bu”, jawab Ratih.
“Kalau tidak apa-apa, kenapa wajahmu murung? Kamu tidak bisa berbohong pada Ibu! Apa yang sudah terjadi sehingga kamu murung seperti ini? Lalu bagaimana pengumuman hasil tes masuk, kamu diterima kan?”, tanya Ibunya penuh penasaran.
“Aku tidak diterima Bu”, jawab Ratih sambil menangis.
Mendengar jabawan itu, Ibunya langsung memeluk Ratih. Mencoba menenangkan serta memberi motivasi pada Ratih, agar ia tidak putus harapan. Selang beberapa menit, terdengar bunyi klakson mobil yang diparkir dipekarangan rumah Ratih. Mendengar bunyi tersebut seketika membuat Ibunya kaget, lantas keluar untuk melihat siapa yang datang. Ketika Ibunya hendak membukakan pintu, ternyata sudah ada dua orang yang berdiri di depan pintu.
“Permisi Bu, apa benar ini rumahnya Ratih Fitriany?”, tanya salah seorang tamu.
“Iya benar, ada perlu apa ya Pak?”, jawab Ibunya penuh tanda tanya.
“Kami dari Universitas Pendidikan Indonesia mau mengantarkan surat ini untuk Ratih. Kemudian kami juga mau mengklarifikasi terkait pengumuman hasil tes masuk yang dipajang di papan informasi, setelah dicek ulang ternyata ada kesalahan dalam menginfut data. Sodari Ratih Fitriany ternyata diterima di Universitas kami, untuk lebih jelasnya silahkan nanti Ibu baca saja isi surat ini”, tambah tamu tersebut.
“Alhamdulillah, terima kasih banyak Pak”, ucap Ibu penuh haru.
“Iya sama-sama Bu. Kalau begitu kami permisi”, kata kedua tamu.
Setelah tamu pergi, Ibunya langsung masuk ke dalam rumah dan menyerahkan surat itu kepada Ratih. Ibunya segera menyuruh Ratih untuk membuka surat itu, setelah dibuka ternyata isinya adalah pengumuman hasil tes masuk yang mendapat nilai terbaik. Isi surat itu mengatakan bahwa sodari Ratih Fitriany lulus dengan nilai paling besar. Atas prestasi tersebut Ratih mendapat penghargaan berupa biasiswa pendidikan gratis sampai S-2 di Universitas Pendidikan Indonesia.
Waktu begitu cepat berlalu, tak terasa Ratih sudah lulus SMA. Ia bingung terhadap pilihan yang menyudutkannya, ia bimbang apakah akan melanjutkan sekolah atau bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Masing-masing pilihan itu ada konsekuensi yang harus ia terima. Jika ia melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, mungkin ia bisa menggapai cita-citanya untuk menjadi seorang guru bahasa Indonesia tapi siapa yang akan membiayai kuliahnya mengingaat pendapatan Bapaknya tak seberapa. Jika ia tidak melanjutkan sekolah lalu bekerja, mungkin ekonomi keluarga akan sedikit terbantu tapi cita-citanya untuk menjadi seorang guru bahasa Indonesia kemungkinan tidak akan pernah terlaksana.
Suatu malam, setelah ia selesai menulis sebuah cerpen ia menghampiri Ibunya yang sedang berbaring di tempat tidur. Ratih hedak menyampaikan keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi. Sayang ibunya tak mengizinkan begitu saja keinginan Ratih.
“Bu, Ratih mau bicara sesuatu pada Ibu!”, kata Ratih sambil menunduk.
“Bicara soal apa Nak, bicaralah!’’, jawab Ibunya.
“Aku kan sudah lulus bu, ijazah SMA juga sudah dibagikan. Aku ingin melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi. Aku ingin jadi guru bahasa Indonesia syaratnya Aku harus kuliah bu”, kata Ratih dengan penuh keraguan.
“Apa ibu tidak salah dengar? Uang dari mana Nak, kamu kan tahu sendiri biaya kuliah itu kan mahal, bisa mencapai puluhan juta. Sementara Bapakmu hanya sebatas pedagang kaki lima di Jakarta, pulang setiap dua bulan sekali. Itupun penghasilannya tak seberapa”, jawab Ibunya dengan nada rendah.
“Tapi Aku ingin menjadi guru Bu, Aku ingin megangkat harkat dan martabat keluarga kita. Selama ini orang-orang menganggap rendah terhadap keluarga kita, mungkin karna kita hanya keluarga sederhana yang tak punya apa-apa dan tidak berpendidikan. Maka dari itu, Aku ingin membuktikan pada mereka kalau kita juga berhak dihormati oleh sesama. Hanya dengan pendidikan nama baik keluarga akan terangkat bu!”, kata Ratih.
“Kamu benar Nak, tapi . . .” jawab Ibunya sambil terbata-bata.
“Tapi apa Bu??? Apalagi yang Ibu khawatirkan. Masalah biaya? Ibu tidak usah khawatir, Insya Allah aku bisa membiayai kuliahku dari hasil menulis cerpen. Lagipula cita-citaku ini kan mulia, Aku yakin Allah akan selalu memberi jalan pada hambaNya yang bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu!”, kata Ratih penuh keyakinan.
“Sudahlah, malam sudah larut Nak. Ibu tidak bisa memutuskan seorang diri, Ibu harus bicara dulu pada Bapakmu. Segala sesuatunya kan harus ada persetujuan Bapak dulu, sebab Bapak adalah kepala keluarga. Apalagi ini menyangkut masalah biaya, tentu Ibu tidak bisa memutuskan seorang diri. Kamu bersabarlah Nak, seminggu lagi Bapakmu pulang dari Jakarta. Sekarang tidurlah!”, kata Ibunya sambil menyuruh Ratih segera tidur.
Tanpa meninggalkan sepatah kata, Ratih bergegas keluar dari kamar Ibunya. Ia sedikit kecewa dengan tanggapan Ibunya yang tidak sesuai harapan. Awalnya Ratih mengira Ibunya akan menuruti keinginannya, ternyata haya kesenjangan yang ia terima.
Kemudian Ratih masuk ke kamarnya, meski Ibunya menyarankan agar segera tidur namun Ratih malah menulis cerpen tentang kisah yang baru saja ia alami. Ratih memang peka terhadap apa saja yang ia lihat maupun yang ia rasakan, sehingga apa saja yang ia alami selalu dicurahkan pada sebuah tulisan, dirangkai menjadi sebuah cerita menarik untuk dibaca oleh semua orang.
Malam adalah waktu dimana kesedihan semakin menjelma, semilir angin yang menembus dinding menambah kesedihan yang dirasakan Ratih. Tak berapa lama Ratih tertidur di atas meja belajar, sementara tangannya masih memegang bolpoin.
Seminggu telah berlalu, ini adalah waktu yang di tunggu-tunggu oleh Ratih. Waktu dimana Ratih akan mengatakan keinginan kepada Bapaknya untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi.
Sekitar pukul dua siang Bapaknya datang dengan membawa tas berisi pakaian. Ratih menyambut kedatangan Bapaknya dengan hati berbunga-bunga, ia segera menyiapkan teh hangat untuk Bapaknya yang baru saja turun dari sebuah angkot berwarna putih. Seperti biasa sebelum ganti pakaian Bapaknya selalu menceritakan segala sesuatu yang terjadi selama dua bulan ke belakang di Jakarta, sementara Ratih dan Ibunya menjadi penyimak setia.
Malam harinya, setelah sholat isya Ratih dipanggil oleh Bapaknya yang sedang duduk di beranda rumah bersama Ibunya.
“Ratih.. Ratih.. Ratih.. sini Nak!!!”, panggil Bapaknya.
“Iya Pak”, jawab Ratih.
“Nak, Bapak mau bicara sama kamu. Bapak dengar katanya kamu ingin kuliah, apa benar?” kata Bapaknya dengan nada pelan.
“Iya pak, Ratih ingin melanjutkan sekolah. Ratih ingin jadi guru bahasa Indonesia Pak”, jawab Ratih sambil duduk di samping Bapaknya.
“Apa kamu sudah mempertimbangkannya Nak? Kamu kan tahu sendiri, biaya kuliah itu mahal Nak. Jangankan kuliah yang biaya pendidikannya tidak ditanggung oleh pemerintah, sekolah di SMA saja yang katanya gratis masih ada pungutan-pungutan tak terduga. Jujur Bapak tidak sanggup membiayai kamu Nak, penghasilan Bapak saja belum tentu mencukupi kebutuhan sehari-hari apalagi jika ditambah biaya untuk kuliah. Bapak bukannya tidak sayang Nak, tapi ekonomi keluarga kita yang tidak memungkinkan!”, tegas Bapak.
“Semuanya sudah Ratih pertimbangkan masak-masak Pak, Ratih juga paham betul akan keadaan ekonomi keluarga kita. Bapak dan Ibu tidak usah memikirkan masalah biaya, Ratih masih punya tabungan untuk biaya masuk kuliah. Untuk kedepannya Insya Allah Ratih bisa membiayai kuliah dari hasil menulis cerpen. Untuk saat ini Ratih hanya butuh restu dari Ibu dan Bapak, sebab ridho Allah adalah restu dari orang tua”, jawab Ratih.
“Apa kamu yakin Nak? Kalau memang seperti itu, baiklah Bapak dan Ibu mengizinkan. Asal kamu jangan memilih jurusan bahasa Indonesia”, kata Bapak dengan nada agak tinggi.
“Loh kenapa Pak, apa ada yang salah dengan jurusan bahasa Indonesia?”, sanggah Ratih.
“Dengarkan Bapak Nak, coba kamu perhatikan sarjana jurusan bahasa Indonesia yang ada di kampung kita. Mereka semuanya pada nganggur Nak, guru bahasa Indonesia sudah banyak sehingga persaingan semakin ketat dan sekolahpun sudah tidak membutuhkan lagi. Apa kamu mau seperti mereka? Lagipula bahasa Indonesia itu mudah Nak, tanpa dipelajaripun nanti bisa sendiri. Lebih baik kamu pilih jurusan lain yang lebih menantang dan prosfeknya bagus”, kata-kata Bapaknya semakin tinggi.
“Tidak Pak, tekad Ratih sudah bulat. Ratih akan tetap memilih jurusan bahasa Indonesia. Karena Ratih yakin selama bahasa Nasional kita adalah bahasa Indonesia maka sarjana jurusan bahasa Indonesia akan tetap dibutuhkan”, tegas Ratih.
“Ya sudah kalau itu memang keinginanmu, Bapak dan Ibu hanya bisa mendoakanmu Nak. Saran Bapak, jadilah mahasiswa yang berprestasi agar bisa membanggakan orang tua, hormati dosen-dosenmu sebab mereka adalah orang-orang yang akan mengantarkanmu dalam mewujudkan cita-cita”, saran Bapaknya sambil memeluk Ratih penuh kasih sayang.
Setelah percakapan itu Ratih jadi semakin giat belajar untuk menghadapi tes seleksi mahasiswa baru. Ia juga tetap menulis cerpen untuk dikirimkan ke media masa, uang dari hasil menulis cerpen ia tabungkan. Sebagian sudah ia gunakan untuk biaya masuk kuliah.
Setelah ujian masuk dilaksanakan, tiga hari kemudian pengumuman penerimaan mahasiswa baru dipajang di papan informasi kampus. Pengumuman itu hanya berisi daftar nama yang lulus seleksi, nama peserta yang tidak lulus tidak dicantukan. Ratih segera menuju kampus, dengan harap-harap cemas ia baca satu persatu nama yang tercantum di papan informasi. Sayang tidak ada nama Ratih pada pengumuman tersebut. Itu artinya ia tidak lulus seleksi, maka ia harus mengikuti tes lagi pada tahun yang akan datang.
Betapa terpukulnya perasaan Ratih pada saat itu. Ratih pulang dengan membawa kekecewaan, ia tidak menyangka akan semua ini. Bahkan ia hampir putus asa tidak ingin menggapai cita-citanya yang selama ini ia gantungkan.
Sesampainya di rumah, Ibunya melihat wajah Ratih tak seperti biasanya. Anak yang ia kenal sebagai anak yang ceria, mandiri, dan penuh percaya diri, kini tampak seperti langit mendung. Kemudian Ibunya menghampiri dan menanyakan apa yang sudah terjadi pada Ratih.
“Kamu kenapa Nak, bagaimana kamu diterima tidak?”, tanya Ibunya.
“Tidak apa-apa ko Bu”, jawab Ratih.
“Kalau tidak apa-apa, kenapa wajahmu murung? Kamu tidak bisa berbohong pada Ibu! Apa yang sudah terjadi sehingga kamu murung seperti ini? Lalu bagaimana pengumuman hasil tes masuk, kamu diterima kan?”, tanya Ibunya penuh penasaran.
“Aku tidak diterima Bu”, jawab Ratih sambil menangis.
Mendengar jabawan itu, Ibunya langsung memeluk Ratih. Mencoba menenangkan serta memberi motivasi pada Ratih, agar ia tidak putus harapan. Selang beberapa menit, terdengar bunyi klakson mobil yang diparkir dipekarangan rumah Ratih. Mendengar bunyi tersebut seketika membuat Ibunya kaget, lantas keluar untuk melihat siapa yang datang. Ketika Ibunya hendak membukakan pintu, ternyata sudah ada dua orang yang berdiri di depan pintu.
“Permisi Bu, apa benar ini rumahnya Ratih Fitriany?”, tanya salah seorang tamu.
“Iya benar, ada perlu apa ya Pak?”, jawab Ibunya penuh tanda tanya.
“Kami dari Universitas Pendidikan Indonesia mau mengantarkan surat ini untuk Ratih. Kemudian kami juga mau mengklarifikasi terkait pengumuman hasil tes masuk yang dipajang di papan informasi, setelah dicek ulang ternyata ada kesalahan dalam menginfut data. Sodari Ratih Fitriany ternyata diterima di Universitas kami, untuk lebih jelasnya silahkan nanti Ibu baca saja isi surat ini”, tambah tamu tersebut.
“Alhamdulillah, terima kasih banyak Pak”, ucap Ibu penuh haru.
“Iya sama-sama Bu. Kalau begitu kami permisi”, kata kedua tamu.
Setelah tamu pergi, Ibunya langsung masuk ke dalam rumah dan menyerahkan surat itu kepada Ratih. Ibunya segera menyuruh Ratih untuk membuka surat itu, setelah dibuka ternyata isinya adalah pengumuman hasil tes masuk yang mendapat nilai terbaik. Isi surat itu mengatakan bahwa sodari Ratih Fitriany lulus dengan nilai paling besar. Atas prestasi tersebut Ratih mendapat penghargaan berupa biasiswa pendidikan gratis sampai S-2 di Universitas Pendidikan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar