Sabtu, 24 Januari 2015

Analisis Naskah Drama



ANATOMI DRAMA
“Analisis Unsur Intrinsik Naskah RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang”

ANALISIS NAKAH DRAMA
Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Anatomi Drama
Dosen Pengampu
Aan Sugiantomas, M.Si.














Oleh
AHMAD ASIKIN
NIM 2012011002










PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KUNINGAN
2015









KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Swt, karena atas ridho-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan analisis unsur intrinsik drama pada naskah RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang. Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi tugas akhir pada mata kuliah Anatomi Drama, sekaligus merupakan salah satu syarat untuk bisa mengikuti ujian akhir semester (UAS).
Dalam melakukan penelitian ini, saya mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak baik bersifat moril maupun materil, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Dengan kerendahan dan ketulusan hati, saya selaku penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Bapak Aan Sugiantomas, M.Si. selaku dosen pengampu yang telah mengenalkan dan mengajarkan saya tentang ilmu sastra;
2.      Bapak Arip Hidayat, M.Pd. selaku asisten dosen pengampu yang telah mengajarkan tentang teori dan teknik bermain drama;
3.      Bapak Asep Jejen Jaelani, M.Pd. selaku Kaprodi yang telah membimbing, mengarahkan serta memberi motivasi kepada saya khususnya dalam melakukan penelitian ini;
4.      Bapak H. Ajat Sudrajat, M.Si. yang selalu memotivasi saya dalam belajar;
5.      Ibu dan Bapak, yang tak henti-hentinya mendoakan saya dalam menempuh pendidikan;
6.      Nur Qoidah, atas segenap perhatian, motivasi, cinta, dan kasih sayangnya selama ini;
Menyadari akan kekurangan dan kelemahan saya dalam menyusun penelitian ini, saya sangat mengharapkan kritik disertai saran yang membangun untuk perbaikan dimasa yang akan datang, terutama dari Bapak Aan Sugiantomas dan Bapak Arip Hidayat.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya, dan semoga kebaikan orang-orang yang telah membantu saya dalam menyusun penelitian ini mendapatkan pahala dari Allah Swt. Aamiin.


Kuningan, 1 Januari 2015

Ahmad Asikin





DAFTAR ISI
LEMBAR JILID 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
1.1. Latar Belakang Masalah 4
1.2. Rumusan Masalah 5
1.3. Tujuan Penelitian 5
1.4. Manfaaat Penelitian 6

BAB II LANDASAN TEORI 7
2.1. Pengertian Sastra 7
2.2. Bentuk-bentuk Sastra 8
2.3. Pengertian Drama 10
2.4. Penggolongan Drama 12
2.5. Unsur-unsur Drama 22

BAB III ANALISIS UNSUR INTRINSIK DRAMA 27
3.1. Sekilas Tentang Pengarang 27
3.2. Sinopsis 28
3.3. Tema 28
3.4. Tokoh dan Perwatakan 31
3.5. Alur atau Plot 43
3.6. Latar atau Setting 51
3.7. Konflik 59
3.8. Dialog 64
3.9. Amanat 68

BAB IV SIMPULAN 70
DAFTAR PUSTAKA 72




BAB I
PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang Masalah
Sastra merupakan karya seni yang menggunakan bahasa sebagai medianya, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Akan tetapi bahasa yang dimaksud bukan bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari, melainkan bahasa yang mempunyai nilai seni, mempunyai kekhasan, serta mengandung unsur imajinasi.
Belajar sastra adalah belajar tentang kehidupan, sebab segala aspek kehidupan dipelajari dalam ilmu sastra. Oleh sebab itu, tidak heran ketika mempelajari ilmu sastra akan berkaitan dengan cabang ilmu yang lain, karena pada prinsipnya belajar sastra adalah belajar tentang segala hal.
Karya sastra lahir karena dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya yang menaruh perhatian serius terhadap manusia dan kemanusiaan, dan menaruh minat terhadap dunia realitas yang berlangsung sepanjang waktu (Sugiantomas, 2012: 1).
Sebagaimana karya seni lainnya, karya sastra adalah wujud ekspresi kegelisahan manusia yang di dalamnya memuat pokok-pokok pikiran, perasaan, sikap, serta tujuan yang ingin diungkapkan pengarang sesuai pengalaman imajinasinya (Jaelani, 2009: 1).  Ada tiga bentuk karya sastra yang merupakan wujud ungkapan ekspresi manusia mengenai persoalan hidup dan kehidupannya, yaitu; puisi, prosa fiksi, dan drama.
Karya sastra akan tetap ada selama masih ada orang yang mau membaca karya sastra (penikmat sastra). Misalnya karya sastra jenis drama yang lebih kita kenal dengan istilah teater. Drama merupakan komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (peran) atau dialog yang dipentaskan (KBBI, 2008: 342). Adanya pementasan drama tidak semata-mata karena kebetulan, akan tetapi karena adanya apresiator yang mencoba menganalisis naskah dan kemudian mementaskannya di atas panggung.
Maka dari itu, sampai kapanpun drama tidak akan pernah punah selama masih ada penikmat sastra yang melakukan kegiatan membaca naskah drama disertai kesungguhan yang mendalam, mempertanyakan, memikirkan, merasakan, serta menganalisisnya. Sehingga akan tumbuh kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Tentu saja pada akhirnya akan sampai pada sebuah apresiasi.



1.2.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis akan mencoba merumuskan masalah sebagai berikut:
1)   Apa tema pada naskah drama RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang?
2)   Siapa tokoh pada naskah drama RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang dan bagaimana perwatakannya?
3)   Bagaimana alur/plot pada naskah drama RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang?
4)   Dimana, kapan, dan bagaimana latar/setting pada naskah drama RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang?
5)   Bagaimana konflik pada naskah drama RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang?
6)   Bagaimana dialog pada naskah drama RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang?
7)   Apa amanat pada naskah drama RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang?

1.3.  Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis, tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
1)   Ingin mengetahui tema pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang.
2)   Ingin mengetahui tokoh dan perwatakan pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang.
3)   Ingin mengetahui alur/plot pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang.
4)   Ingin mengetahui latar/setting pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang.
5)   Ingin mengetahui konflik pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang.
6)   Ingin mengetahui dialog pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang.
7)   Ingin mengetahui amanat pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang.




1.4.  Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan akan bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat tersebut adalah sebagai berikut:
a.    Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengembangkan pengetahuan dibidang ilmu sastra, khususnya karya sastra jenis drama. Selain itu diharapkan dapat menambah wawasan mengenai teori, praktik, serta teknik pementasan drama.
b.    Manfaat Praktis
1)      Bagi peneliti, hasil penelitian ini merupakan ajang pembelajaran untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi penyusunan skripsi di masa mendatang.
2)      Bagi pembaca, hasil penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan tingkat apresiasi terhadap sebuah karya sastra jenis drama, serta dapat bermanfaat sebagai referensi baik untuk diajarkan kepada siswa di sekolah maupun sebagai referesi untuk sebuah pementasan.



BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. PENGERTIAN SASTRA
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1230) arti kata sastra adalah karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya. Karya sastra berarti karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah.
Sastra dapat memberikan kesenangan atau kenikmatan kepada pembacanya. Seringkali dengan membaca sastra muncul ketegangan-ketegangan (suspense). Dalam ketegangan itulah diperoleh kenikmatan estetis yang aktif. Berbagai segi kehidupan dapat diungkapkan dalam karya sastra.
Secara etimologi kata sastra berasal dari bahasa Sansekerta, dibentuk dari akar kata sas dan -tra. Sas mempunyai arti ‘mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk’; sedangkan -tra mempunyai arti ‘alat, atau sarana’. Karena itu, kata sastra dapat berarti ‘alat untuk mengerjakan atau buku petunjuk’. Dengan arti ini, dalam bahasa Sansekerta dapat dijumpai istilah Silpasatra yang berarti ‘buku arsitektur’, dan Kamasastra yang berarti ‘buku petunjuk seni bercinta’. (Sugianto Mas, 2012:7).
Secara harfiah kata sastra berarti ‘huruf, tulisan, atau karagan’. Lalu karena karangan atau tulisan biasanya berwujud buku , maka sastra berarti juga ‘buku’. Itulah sebabnya, dalam pengertian kesusatraan lama, istilah sastra berarti buku, baik yang berisi tentang dongeng, pelajaran agama, sejarah, maupun peraturan dan undang-undang.
Dalam perkembangan selanjutnya, kata sastra mendapat imbuhan su, yang dalam bahasa jawa berarti ‘baik atau indah’. Dengan demikian, pengertiannya berkembang juga menjadi ’buku yang baik dan indah’, dalam arti baik isinya dan indah bahasanya. Kata susastra itu pun berkembang juga dan mendapat imbuhan gabungan (konfiks) ke-an, sehingga menjadi kesusastraan yang berarti ‘hal atau tentang buku-buku yang baik isinya dan indah bahasanya’.
Sastra bukanlah seni bahasa belaka, melainkan suatu kecakapan dalam menggunakan bahasa yang berbentuk dan bernilai sastra. Berkaitan dengan maksud tersebut, sastra selalu bersinggungan dengan pengalaman manusia yang lebih luas, selalu melibatkan pikiran pada kehidupan sosial, moral, psikologi, dan agama.
Menurut Wellek dan Warren (1989: 3) sastra adalah sebuah karya seni yang memiliki ciri-ciri; sebuah kreasi, luapan emosi yang spontan, bersifat otonom, otonomi sastra bersifat koheren (ada keselarasan bentuk dan isi), menghadirkan sintesis terhadap hal-hal yang bertentangan, mengungkapkan sesuatu yang tidak terungkapkan dengan bahasa sehari-hari.
Karya sastra lahir karena dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya yang menaruh perhatian serius terhadap manusia dan kemanusiaan, dan menaruh minat terhadap dunia realitas yang berlangsung sepanjang waktu (Sugiantomas, 2012: 1).
Menurut Supradjarto (1991: 1) suatu karya sastra ada dua kemungkinan, yakni: karya imajinatif dan karya informatif. Karya imajinatif berarti karya tersebut berdasarkan imajinasi penulisnya atau berdasarkan citra penulisnya semata-mata. Walaupun isinya tidak benar-benar terjadi tetapi masuk akal. Sedangkan karya informatif yaitu karya sastra seperti halnya karya imajinatif tetapi penulisannya berdasarkan suatu kejadian besar seolah-olah menjadi insfirasinya. Sementara Wellek dan Warren (1989: 14) menerangkan bahwa istilah “sastra” paling tepat diterapkan pada seni sastra, yaitu sebagai karya imajinatif.
Melalui karya sastra kita dapat melihat gambaran atau rekaman pikiran, pandangan, persoalan pengarang secara utuh terhadap masalah kehidupan manusia yang diungkapkan dalam karyanya. Penggambaran tersebut diungkapkan melalui bahasa lisan maupun bahasa tulis. Bahasa yang dicurahkan dalam sastra baik secara lisan maupun tulisan tentunya berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari sebagai alat komunikasi, karena bahasa sastra mempunyai berbagai keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan baik isi maupun bentuk ungkapannya (Jaelani, 2009: 8)
Karya sastra mengalir dari kenyataan-kenyataan hidup yang terdapat didalam masyarakat. Akan tetapi karya sastra bukan hanya mengungkapkan kenyataan objektif itu saja, melainkan juga mencuatkan pandangan, tafsiran, sikap, dan nilai-nilai kehidupan berdasarkan daya kreasi dan imajinasi pengarangnya, serta kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sastra adalah sebuah karya imajinatif dari hasil pemikiran manusia yang disampaikan secara khas, mengandung pesan yang bersifat relatif, mengandung nilai-nilai kebaikan yang dituangkan ke dalam bahasa lisan maupun bahasa tulis.

2.2. BENTUK-BENTUK SASTRA
Bentuk sastra berarti cara dan gaya dalam penyusunan dan pengaturan bagian-bagian karangan; pola struktural karya sastra ke dalamnya dapat digolongkan tiga bentuk, yaitu puisi, prosa fiksi, dan drama, Panuti Sujiman (dalam Sugiantomas, 2012: 12). Sejalan dengan pendapat terebut, Jaelani (2009: 1) mengungkapkan ada tiga bentuk karya sastra yang merupakan wujud ungkapan ekspresi manusia mengenai persoalan hidup dan kehidupannya, yaitu puisi, prosa fiksi, dan drama.
a.      Puisi
Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra menggunakan bahasa yang relatif lebih padat dibandingkan dengan bentuk prosa. Pilihan kata atau diksi diperhitungkan dari berbagai segi; makna, nilai imajinasi, irama, rima, dan amanatnya. Oleh karena itu, kata-kata dalam puisi tidak semata-mata berfungsi sebagai alat penyampai gagasan, melainkan berfungsi pula sebagai bahan.
b.      Prosa Fiksi
Prosa fiksi atau cerita rekaan adalah sebuah karangan bebas yang dimuati imajinasi di dalamnya, mengandung nilai-nilai kehidupan, serta menggunakan bahasa yang khas. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Sudjiman (dalam Sugiantomas, 2013: 60) prosa fiksi atau cerkan adalah cerita yang mempunyai tokoh, dan alur yang dihasilkan oleh daya khayal atau imajinasi, dalam ragam prosa. Puisi diciptakan dalam suasana perasaan yang intens yang menuntut pengucapan jiwa yang spontan dan padat. Dalam puisi, aku lirik berbicara tentang jiwanya sendiri artinya mengungkapkan dirinya sendiri. (Waluyo, 1987: 2)
c.       Drama
Drama adalah adalah komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat  menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (akting) atau dialog yang dipentaskan (KBBI, 2008: 342). Drama merupakan salah satu bentuk karya sastra, yang berwujud susunan dialog dari para tokohnya. Unsur yang terdapat dalam drama pun tidak berbeda jauh dengan prosa fiksi, yakni terdapat tema, alur/plot, tokoh dan perwatakan, ketegangan, latar atau setting, gaya, dan amanat. Namun sebuah naskah drama rasa belum lengkap atau belum utuh apabila belum dipentaskan dalam sebuah seni pertunjukkan.

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa bentuk sastra adalah bentuk atau gaya dalam menyusun sebuah karangan yang diklasifikasikan menjadi tiga bentuk, yakni; puisi, prosa fiksi, dan drama.



2.3. PENGERTIAN DRAMA
Kata drama berasala dari Yunani  ‘draomai’ yang berarti ‘berbuat’ ‘berlaku’, atau ‘suatu perbuatan’. Kata itu muncul saat orang-orang Yunani masih mempunyai kepercayaan terhadap dewa-dewa.mereka mempercayai bahwa dewa paling atas adalah Dewa Zeus dan Dewa Dyonesos adalah dewa pengrusak atau penghancur.
Apabila pada saat musim hujan, tanaman subur, dan binatang berkembang biak dengan baik, dipercayai bahwa pada saat itu  Dewi Apolo sedang turun ke bumi. Sebaliknya apabila musim kering tiba, tanah gersang, tanaman mati, dan binatang tidak berkembang biak, maka itu pertanda Dewa Dyonesos sedang turun ke bumi.
Berdasarkan kepercayaan pada peristiwa alam tersebut, maka orang-orang Yunani memerlukan upacara-upacara ritusl dengan maksud mengajukan persembahan kepada dewa mereka. Pada saat subur mereka menyelenggarakan upacara persembahan rasa terima kasih pada Dewi Apolo berupa tarian-tarian yang berupa peniruan gerak dari binatang-binatang. Mereka bergembira suka ria. Mereka ‘kosmos’ (gembira). Kosmos itu sendiri akhirya menjadi kata ‘komedi’. Sedangkan pada saat-saat menderita sewaktu menghadapi gejala alam yang kering kerontang, hujan tidak turun, tanaman mati, dan binatang tidak berkembang biak, mereka pun menyelenggarakan upacara persembahan pada Dewa Dyonesos. Upacara ritual yang mereka lakukan adalah mempersembahkan korban seekor ‘tragos’ atau kambing yang disembelih. Menurut kepercayaan mereka suara menegembiknya ‘tragos’ saat disembelih mewakili jeritan rakyat seluruh Yunani yang mengadakan permintaan pengampunan kepada Dewa Dyonesos. Jerit kambing yang disembelih disebut ‘tragodia’, yang lantas sekarang berkembang menjadi kata tragis. Peristiwanya dikenal sebagai kata yang sekarang menjadi istilah dalam drama, yaitu ‘tragedi’.
Semua upacara ritual itu, terutama upacara kosmos, mereka ‘draomai’ atau ‘berlaku’, ‘berbuat’, atau melakukan 'suatu perbuatan’ menirukan gerak-gerak binatang lengkap dengan kostum kulit binatang yang mereka pakai. Oleh sebab itu istilah ‘perbuatan menirukan sesuatu’ selanjutnya berkembang menjadi kata drama.
Panuti Sudjiman dalam ‘kamus Istilah Sastra’ menjelaskan bahwa drama adalah karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan mengemukakan tikaian dan emosi lewat lakuan dan dialog. Lazimnya dirancang untuk pementasan panggung, Panuti Sudjiman (dalam Sugiantomas 2013: 74). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa drama adalah komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (akting) atau dialog yang dipentaskan.
Hasanuddin menjelaskan pengertian terhadap drama sebaiknya memang dengan menempatkan kesadaran bahwa drama adalah karya yang memiliki dua dimensi karakteristik; yaitu sebagai dimensi sastra dan sebagai dimensi seni pertunjukkan. Pemahaman terhadap pada masing-masing dimensi wajar jika berbeda karena unsur-unsur yang membentuk drama pada masing-masing memang berbeda. Meskipun berbeda, pemahaman drama pada satu dimensi akan memberikan bantuan bagi pemahaman dimensi lainnya. Pada akhirnya, pemahaman itu akan mengeras pada pemahaman yang menyeluruh terhadap drama sebagai karya dua dimensi tersebut (Hasanuddin, 2009: 4).
Pengertian lainnya dijelaskan pula bahwa drama adalah cerita atau kisah, terutama konflik atau emosi, yang khusus disusun untuk pertunjukan, Depdikbud (dalam Sugiantomas, 2013: 74). Sementara Brahim menyimpulkan drama adalah pertunjukan dan adanya lakon yang dibawakan dalam pertunjukan itu, Brahim (dalam Sugiantomas 2013: 74).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian drama adalah sebagai berikut:
1)      Berupa karya sastra yang berbentuk cerita atau lakon bergaya prosa atau puisi yang disajikan dalam dialog;
2)      Merupakan cerita atau lakon yang mengandung konflik yang disusun untuk pertunjukan.

Drama dapat dikelompokan pada bentuk karya sastra dan juga bukan karya sastra.
1)      Sebagai karya sastra, drama disebut sebagai bentuk cerita atau lakon yang disusun dalam bentuk dialog baik bergaya puisi atau prosa yang mengandung pertentangan dramatik untuk dipentaskan diatas panggung.
2)      Sebagai karya pentas atau panggung, drama mempunyai pengertian suatu pertnjukan yang menggunakan lakon sebagai titik tolak, dengan mengutamakan media gerak dan suara untuk disajikan diatas panggung oleh sekelompo orang untuk ditonton.
Jadi, pengertian drama dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda, yaitu sebagai karya sastra, dan sebagai karya pentas. Perbedaan keduanya sebagai berikut.
KARYA SASTRA                                                        KARYA PENTAS
a.    Merupakan bacaan                                                     Merupakan pertunjukan
b.    Milik pribadi                                                              Milik Kolektif
c.    Memerlukan pembaca                                                Memerlukan penonton
d.   Perlu penggarapan                                                     Siap disajikan

Berdasarkan keterangan tersebut, maka yang termasuk dalam ruang lingkup dunia kesusastraan khususnya adalah drama sebagai karya sastra. Artinya,b‘naskah drama’. Tidak mungkin dipungkiri bahwa naskah drama medianya adalah bahasa tulis. Meski demikian, karena naskah drama biasanya dibuat untuk keperluan sebuah pementasan, maka naskah drama terasa sebagai karya yang belum tuntas. Karya sastra yang perlu penggarapan kesenian tersebut. Jadi, apa salahnya ruang lingkup kesusastraan tidak usah membatasi diri melulu pada naskahnya, tapi juga mempelajari bentuk hakikinya yaitu pementasan.

2.4. PENGGOLONGAN DRAMA
Drama dapat digolongkan menjadi beberapa jenis. Penggolongan drama biasanya tidak mempersoalkan drama sebagai naskah atau sebagai petunjukan (Sugiantomas, 2013: 77). Drama dapat digolongkan berdasarkan kurun waktu, gaya ungkap, dan isinya.

1.      Penggolongan Berdasarkan Kurun Waktu
Berdasarkan kurun waktu drama terbagi pada drama tradisional dan drama modern.
1)      Drama Tradisional
Drama tradisional adalah salah satu bentuk kesenian yang berakar dan bersumber dari tradisi masyarakat lingkungan. Ciri utama pada drama tradisional ini adalah ‘improvisasi’ yaitu drama pertunjukan yang tidak bersandar pada naskah. Dialog dilontarkan oleh pemeran secara spontan, tanpa persiapan matang. Cara penyajiannya tidak hanya dialog, tetapi dilakukan dengan menari, menyanyi, dan diiringi oleh tabuhan. Drama tradisonal ini terbagi lagi menjadi drama rakyat, drama klasik, dan drama transisi.
a.      Drama atau Teater Rakyat
Drama rakyat adalah drama tradisional yang berkembang disetiap kelompok suku bangsa. Secara bentuk penyampaiannya, ada yang disajikan dalam bentuk tutur atau lisan oleh seorang pencerita atau penyanyi yang membawakan cerita. Ada juga yang disajikan sudah dalam pertunjukan drama pada umumnya, yaitu melalui gerak tubuh aktor yang memerankan tokoh cerita. Berikut yang termasuk drama rakyat tutur dan drama rakyat yang bukan tutur.
1.      Drama atau Teater Tutur
Drama tutur adalah jenis drama yang bertolak dari satra lisan yang dituturkan dan belum dipergerakan secara lengkap. Dituturkan dalam pengertian yang luas dan sering dilakukan dengan menyanyi serta diiringi oleh tabuhan.
Berikut contoh-contoh drama tutur yang hidup di Indonesia:
v  Kentrung (Jawa Timur)
Kentrung adalah bentuk drama yang berupa cerita yang disampaikan secara lisan oleh dalang kentrung.
v  Pantun Sunda
Sesuai dengan arti kata pantun yaitu ‘padi’, pada awalnya pantun sunda dihubungkan dengan pemujaan terhadap Dewi Padi yaitu Nyi Pohaci, Kersa Nyai, atau Pohaci Sang Hiang Sri. Cerita pantun kebanyakan memaparkan kerajaan-kerajaan sunda lama seperti Galuh dan Pajajaran.
v  Dalang Jemblung
Drama tutur ini sesungguhnya bersumber dari pertunjukan wayang kulit biasa, tetapi tuturan dialog, gamelan, dan lain-lainnnya disuarakan oleh ujaran yang dilakukan oleh seorang atau beberapa dalang. Tradisi pertunjukan ini berasal dari ‘nguyen’ yaitu berjaga malam suntuk menunggu kelahiran bayi sambil mendengar ‘macapatan’. Isi cerita dipaparkan dalam bentuk puisi Jawa.
v   Cepung (Lombok)
Cepung berawalan dari tiruan bunyi alat musik yang diujarkan ‘cek... cek... cek... pung’. Cepung pada awalnya adalah seni membaca kitab lontar yang diiringi instrumen suling dan beberapa peniruan bunyi oleh alat musik ujaran. Pemain cepung sedikitnya  6 orang pemusik dan penyanyi serta seorang pembaca lontar. Bahasa yang digunakan adalah bahasa sasak dengan penjelasan gerak tari, mimik wajah, dan lawakan.
v  Sinrili (Sulawesi selatan)
Sinrili merupakan pertunjukan cerita tutur oleh seorang pasinrili yang diiringi musik keso-kesoatau rebab. Pertunjukan dilakukan di anjungan rumah atau halaman pada acara tertentu seperti syukuran, pesta panen, membangun rumah, dan sebagainya. Cerita dinyanyikan dalam bentuk nyanyian yang diiringi keso-keso, dan tidak lepas dari rasa humor.
v  Babaka (Minangkabau)
Babaka dituturkan oleh tukang cerita sekurang-kurangnya dua orang yang bercerita liris dengan dilagukan, serta diiringi instrumen rebab, kecapi, dan rebana. Pertunjukan biasanya dilaksanakan apabila salah satu anggota keluarga melangsungkan perkawinan atau menempati rumah baru,panen dan sebagainya.
v  Wayang Beber
Wayang beber berbentuk lukisan diatas kertas tentang wayang yang bergambar seperti wayang kulit purwa. Lukisan wayang terdiri dari enam gulung berisi empat adegan. Sambil membeberkan lukisan itu, dalang bernarasi sambil diiringi seperangkat gamelan, rebab, kendang, kenong, gong, dan lain-lain yang dipukul beberapa pemusik. Pertunjukan ini turun temurun, artinya tidak bisa diturunkan atau diajarkan pada orang lain selain keluarga. Biasanya pertunjukan untuk upacara ruwatan dan nadar saja.

2.      Drama Rakyat yang Sudah Dipergerakan
Drama atau teater yang lain muncul tidak hanya dengan tutur tetapi sudah lengkap dengan peragaan oleh para aktor yang memeran tokoh-tokoh cerita. Seperti juga drama tutur drama jenis ini dilengkapi dengan musik tradisional, tari-tarian, lagu, dan akrab dengan penontonnya. Humor atau banyolan selalu spaontan muncul sebagai dialog segar dari para aktor yang kadang bisa dijawab oleh para penontonnya. Termasuk ke dalam drama jenis ini adalah:
v  Ubrug (Jawa Barat)
Drama rakyat jenis ini biasanya dilaksanakan dalam hajatan. Dipentaskan di ruang terbuka seperti halaman rumah atau tanah lapang, dengan penerangan obor atau petromaks yang disimpan di tengah arena pentas.
v  Topeng Banjet (Jawa Barat)
Topeng Banjet adalah drama rakyat yang muncul di daerah Karawang, Bekasi, Cisalak Bogor dan sekitarnya. Sedangkan di wilayah Priangan drama jenis ini sering disebut sebagai banjet saja. Meski namanya Topeng Banjet. Tapi akhir-akhir ini pemeran tidak lagi menggunakan topeng sewaktu berperan. Alat musik yang di pakai adalah rebab leher panjang dan gamelan. Cerita yang disajikan biasanya ‘Si jantuk’ dan ‘Sarkawi’.
v  Lengser (Jawa Barat)
Longser drama rakyat yang sering muncul di wilayah priangan seperti Subang, Bandung, dan sekitarnya. Perbedaanya terdapat pada jenis-jenis tarian yang sering memasukkan silat dan ketuk tilu, serta adanya sinden atau juru kawih. Gamelan yang dipakai adalah salendro dengan 12 nayaga.
v  Sintren (Jawa Barat)
Sintren adalah drama rakyat yang sering muncul di daerah Cirebon dan sekitarnya. Drama jenis ini mengandung sifat magis, yaitu dengan adanya kerasukan (trance) yang dialami oleh penari sintrennya. Penari sintren memakai kacamata hitam yang dimaksudkan untuk menutup biji matanya yang mendelik sewaktu kerasukan. Drama jenis ini dipimpin oleh seorang dukun yang disebut ‘punduh’, dia menyediakan dupa, kurungan ayam, dan kain putih untuk oenutup sintren, sehelai tikar untuk membungkus sintren yang telah diikat tali. Iringan musik menggunakan tabuhan kendang, gong, kecrek, dan ruas bambu atau buyung.
v  Manorek (Jawa Barat)
Manoreh adalah drama rakyat yang muncul diwilayah Ciamis Selatan. Drama jenis ini semula adalah media dakwah, tetapi sekarang lebih berfungsi sebagai tontonan dalam hajatan saja.
v  Ronggeng Gunung (Jawa Barat)
Ronggeng gunung muncul di daerah Ciamis Selatan. Sesungguhnya bentuk kesenian ini cenderung tarian biasa anatara ronggeng dan sejumlah penonton. Unsur drama hanya nampak pada lirik-lirik lagu yang dinyanyikan pesinden menjelang ronggeng menari.
v  Topeng Blandek (Jawa Barat)
Bojong Gede, Pondok Rajeg, Citayem, Ciseeng. Blandek artinya “campur aduk” atau “tidak karuan” cerita yang dimainkan biasanya pendek dan bernafaskan islam. Pada saat pergantian babak sering diperdengarkan lagu-lagu dzikir berbahsa arab atau lagu-lagu berbahasa betawi. Musik terdiri dari rebab, kecrek, kromong, kenong dan gong.
v  Srandul (Jogja)
Srandul pertama diciptakan oleh seorang bangsawan Yogyakarta pecinta kesenian rakyat, yaitu yudanegara III, drama jenis ini memainkan jenis cerita dengan iringan musik bende, rebana, kendang dan angklung. Pertnjukan bersipat hiburan dengan dialog prosa dan puisi dengan menggunakan bahasa Jawa dan Arab.

v  Ande-ande Lumut
Ande-ande lumut adalah drama rakyat yang dilaksanakan semalam suntuk dengan penari anatara 20 sampai 40 orang. Gaya tarian mirip wayang orang surakarta dan jogjakarta. Semula pemerannya semua laki-laki. Cerita yang dimainkan adalah “ande-ande lumut”.
v  Dadunggawuk
Dadungdawak adalah darama rakyat yang diperankan semua oleh-laki-laki. Pertunjukan di laksanakan di halaman rumah atau pendopo pada malam hari. Dialog dilakukan dengan prosa dan tembang. Iringan musik menggunakan terbang, angklung dan kendang. Cerita biasanya tentang dadunggawak sebagai prajurit yang terbunuh oleh jaka tingkir dalam perebutan kesempatan mengabdi pada raja demak.
v  Ketoprak
Ketoprak adalah drama rakyat yang amat populer di Jawa Tengah khususnya di Yogyakarta. Pada awalnya ketoprak bukan sebuah tontonan, tapi hanya merupakan permainan orang-orang desa menabuh lesung secara berirama pada bulan purnama. Lantas ditambah nyanyian.
v  Ludruk
Ludruk adalah drama rakyat Jawa Timur. Diperankan oleh lelaki semua. Isi cerita adalah segala yang berhubungan dengan lingkungan yang disajikan dalam dialog segar penuh humor. Diiringi dengan musik gamelan lengkap, disertai nyanyian dan tarian.
v  Makyong (Riau)
Makyong adalah drama rakyat Melayu yang masih hidup di Malysia, Singapura, bahkan Muangthai. Drama ini dipertunjukan ditempat terbuka untuk keperluan hajatan. Semua pemeran menggunakan topeng dan sebagian wanita. Iringan musik yang dipakai menggunakan kendang, serunai, rebab, gong, mong-mong (goong kecil) masing-masing satu buah.
v  Lenong
Lenong adalah drama rakyat dari daerah Betawi. Berbahasa Betawi kental yang segar, penuh humor, dan saling ledek. Drama jenis ini telah menggunakan panggung, dekorasi, dan properti yaitu satu meja dan satu buah kursi. Diiringi musik gambang kromong, terbang, suling, dan lain-lain.
b.      Drama atau Teater Klasik
Drama atau Teater klasik adalah drama pertunjukan yang telah mapan. Drama jenis ini lahir dipusat-pusat kerajaan atau kraton dan masih terpelihara dengan baik sampai saat ini. Masuk kedalam jenis drama ini antara lain Wayang Orang, Wayang Kulit, dan Wayang Golek.
1.      Wayang Orang
Wayang orang adalah jenis drama klasik yang muncul di kraton Yogyakarta pada pertengahan abad 18. Pertunjukan dilaksanakan dengan serius oleh para pemeran yang masing-masing memerankan tokoh wayang. Para pemeran harus pandai menari dan menyanyi. Pertunjukan sudah menggunakan panggung  dengan set dekorasi lengkap bergambar realis hutan, alun-alun, gerbang keraton, jalan desa, pertapaan, dan lain-lain.
2.      Wayang Kulit
Wayang Kulit adalah drama klasik yang tidak menggunakan orang sebagai medianya, tetapi menggunakan bentuk wayang dari kulit tipis yang dilukis cermat dengan warna-warni yang menjelaskan karakter. Wayang Kulit akan digerakan oleh seorang dalang yang bercerita dan berdialog sekaligus.  Untuk dialog dalang mampu mengubah suara sesuai dengan tokoh wayang yang dimainkan.
3.      Wayang Golek
Wayang Golek adalah drama klasik Jawa Barat yang juga tidak menggunakan orang sebagai medianya, tetapi menggunakan media kayu berwujud tokoh wayang. Sama seperti wayang kulit, wayang golek pun dimainkan oleh dalang yang akan sekaligus berdialog mewakili para tokoh wayang. Untuk berdialog dalang mampu mengubah suaranya sedemikian rupa sehingga menarik.  Jenis drama ini pun menggunakan musik gamelan lengkap sebagai pengiringnya, dan dibantu beberapa sinden  sebagai penyanyi yang isi suaranya memoerjelas cerita.

c.       Drama Transisi
Jenis drama atau teater taransisi sesungguhnya juga bersumber pada drama tradisional pada umumnya, tetapi gaya penyajiannya sudah dipengaruhi oleh teater barat. Drama jenis ini dapat dilihat pada zaman ‘Teater Bangsawan’, yang sering juga dimainkan  ‘Komidi Tanbul’,  dan ‘Sandiwara Dardanella’. Drama jenis ini populer disebut sandiwara. Untuk zaman sekarang terkenal di Surabaya dengan nama ‘Srimulat’,  sedangkan di Jawa Barat ‘Sandiwara Sunda’. Drama jenis ini menggunakan penggung dan tata dekor, lampu, rias, dan lain-lain sebagai layaknya drama modern, tapi belum menggunakan naskah drama. Isi cerita seputar kehidupan sehar-hari yang disajikan dalam bentuk banyolan segar. Musik pengiring pun sudah modern sehingga sering menggunakan efek bunyi dari kaset.

2)      Drama Modern
Istilah ‘Modern’ hanya untuk menyatakan bahwa bukan tradisional. Drama ini selalu bersandar pada naskah drama, dan diikat oleh hukum-hukum dramaturgi. Struktur dan pengolahannya dipengaruhi sekali oleh ‘Teater Barat’ artinya, susunan naskah, cara pentas, gaya penyuguhan  dan pola pemikiran, banyak bersumber dari pola pendekatan dan pemikiran ‘kebudayaan barat’.
Cerita atau lakon yang dipentaskan, selalu karya pengarang sastra atau dramawan yang mencoba mencipta cerita baru, bahkan dengan aliran baru. Gaya penyajian bervariasi sesuai dengan perkembangan kreativitas para sutradara. Bahkan akhir-akhir ini muncul drama-drama ‘kontemporer’ atau ‘masa kini’ yang berangkat dari eksperimen para kreator drama. Lebih dari itu, kemodernan memungkinkan pertunjukan drama yang bernama film, dan sinetron.

Adapun ciri-ciri bentuk drama atau teater modern ini secara garis besar dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.       Bersandar pada naskah drama atau skenario.
b.      Pertunjukan dilakukan ditempat khusus, yaitu panggung yang memisahkan antara pemeran dan penonton. Diatas panggung tersebut telah dipasang layar yang dapat diangkat atau diturunkan sebagai tanda pertunjukan dimulai atau selesai.
c.       Penonton harus membayar.
d.      Penyelenggaraan benar-benar untuk pertunjukan itu sendiri. Tidak ada orang yang menyelenggarakan drama untuk kebutuhan lain seperti upacara, hajatan, dan lain-lain.
e.       Pertunjukan merupakan karya seni kolektif, antara perangkat administratif dan perangkat artistik, dan berupa cuatan ide baru yang dipertanggungjawabkan.
f.       Meski ada juga yang mengambil cerita masa lampau, tetapi kebanyakan dari drama modern memuat unsur cerita yang erat kaitannya dengan peristiwa sejaman.
g.      Ungkapan pertunjukan telah menggunakan peralatan modern, seperti peralatan musik modern, lampu, sound sistem, dan lain-lain. Bahkan belakangan timbul mengunakan rekaman yang hasilnya berupa film layar lebar, vidio, atau kaset. Untuk jenis yang terakhir bisa diapresiasi oleh penikmat di rumah masing-masing lewat televisi atau radio.

Berdasarkan uraian diatas, maka drama modern dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu drama konvensional dan drama nonkonvensional atau kontemporer.
a.      Drama Modern Konvensional
Drama modern konvensional adalah drama yang bertolak dari lakon drama yang disajikan secara konvensional. cerita bersandar pada naskah drama yang biasanya realis, dan disajikan dalam gaya pengungkapan pentas yang realis pula.
b.      Drama Modern Nonkonvensional (Kontemporer)
Drama modern kontemporer adalah drama yang mendobrak konvensi-konvensi lama, dan penuh dengan pembaruan gagasan, penyajian, dan penggabungan konsep barat-timur. Cerita yang disajikan biasanya absurd.
Untuk penggolongan berdasarkan kurun waktu ini ada beberapa pengkaji, seperti Jakob Sumarjo misalnya, hanya mengolongkan pada dua jenis yaitu drama tradisional dan drama modern, jadi, drama tradisi dianggap masuk pada drama modern. Hal itu jangan dipersoalkan terlalu tajam, sebab hanya berupa penamaan golongan yang hakiki karyanya tetap tidak dihilangkan.

2.      Penggolongan Berdasarkan Isinya
Dengan berdasarkan pada isi cerita yang disajikan dalam bentuk drama, dapat ditemukan beberapa jenis drama seperti, tragedi, komedi, tragikomedi, melodrama, dan dagelan.
1)      Tragedi
Drama tragedi disebut juga drama duka, yaitu drama yang menampilkan tokoh yang sedih dan muram yang terlibat dalam situasi gawat, karena sesuatu yang tak menguntungkan, misalnya cemburu, atau ambisi yang keterlaluan. Atau drama serius yang melukiskan tikaian diantara tokoh utama dan kekuatan yang luar biasa serta berakhir dengan malapetaka atau kesedihan.
2)      Komedi
Drama komedi disebut juga sebagai drama ria, yaitu drama yang ceritanya ringan dan bersifat menghibur, terdapat seloroh yang bisa saja menyindir, serta berakhir dengan bahagia. Cerita merupakan kejadian-kejadian yang mungkin terjadi dan seakan-akan terjadi, serta disajkan dalam suatu tendensi yang ringan dan cerah.
3)      Tragedi-Komedi atau Tragikomedi
Drama tragikomedi disebut juga sebagai drama dukaria, yaitu drama yang menampilkan alur yang sesungguhnya lebih cocok untuk drama tragedi, tetapi berakhir bahagia seperti layaknya drama komedi. Hal tersebut biasanya dikarenakan munculnya ‘Deus Ex Machina’ untuk membantu memecahkan persoalan.
4)      Melodrama
Melodrama adalah drama yang menyajikan lakon atau cerita yang sangat sentimental, dengan adegan-adegan yang mengharu biru, mendebarkan. Karena penggambaran alurdan adegan yang berlebihan dipentingkan, maka penokohan dan penggambaran karakter menjadi kurang diperhatikan. Istilah ini sering salah kaprah dipakai oleh televisi dengan menyebut film ‘drama’ untuk film melodrama.
5)      Dagelan
Dagelam adalah drama yang khusus disajikan untuk menghibur. Dibanding komedi, kelucuan yang dimunculkan agak berlebihan sehingga unsur teatrikal tidak lagi dipentingkan, cerita bukan hal yang dianggap harus menarik, demikian juga dengan tokoh dan menggambarkan karakternya. Dagelan hanya menyajikan kekonyolan tokoh dan bencana yang menimpa tokoh tersebut.

3.      Penggolongan Berdasarkan Gaya Ungkap
Penggolongan berdasarkan gaya ungkapnya dapat dibagi tiga yaitu gaya ungkap bahasanya, gaya ungkap media perannya, dan gaya ungkap pementasannya.
1)      Gaya Ungkap Bahasa
a.      Drama Puisi
Yaitu drama yang cerita atau lakonnnya sebagian besar disusun dalam dialog berbentuk puisi, atau mengandung kaidah-kaidah puisi. Dalam drama jenis ini akan ditemui dialog yang sama sekali jauh dari prcakapan sehari-hari.



b.      Drama Prosa
Yaitu drama yang cerita atau lakonnya sebagian atau selurunya disusun dalam dialog berbentuk prosa. Tidak ada yang ganjil dalam drama jenis ini sebab dialog seperti bahasa percakapan sehari-hari.
c.       Drama Prosa-Puisi
Yaitu drama yang cerita atau lakonnya disusun dalam campuran prosa dan puisi. Biasanya gaya prosa mendominasi dialog, tetapi dibagiantertentu yang dianggap penting untuk menggambarkan suasana tertentu dipakai gaya puisi.

2)      Gaya Ungkap Media Perannya
a.      Drama Boneka
Yaitu drama yang dioerankan bukan oleh manusia tetapi oleh boneka. Nampak disini boneka sebagai media pengganti manusia, yang sesungguhnya masih digerakkan manusia, mampu menggambarkan seluruh cerita dengan baik. Mengeai jenis ini telah dikenal ‘wayang golek’, ‘wayang kulit’, drama boneka si unyil’, dan lain-lain.
b.      Drama Manusia
Yaitu drama yang diperankan oleh manusia. Tidak ada hal asing dalam jenis drama ini sebab telah tercakup pada penjelasan drama sebelumya.

3)      Gaya Ungkap Media Perannya
a.      Drama
Drama biasa yang pementasannya dilaksanakan dipanggung atau arena, baik menggunakan naskah drama atau tidak. Jenis ini termasuk yang banyak dibicarakan sebelumnya.
b.      Pantomim
Yaitu drama yang sama sekali tidak menggunakan dialog. Keterangan babak, adegan, atau apa saja kadang diberikan dalam bentuk tulisan yang diperhatiakn pleh pemerannya.tokoh diperankan oleh aktor yang menonjolkan gerak tubuh sebagai medianya, tanpa menggunakan alat apapun. Biasanya wajah aktor dicat putih semua. Cerita ringan-ringan dan pendek.



c.       Opera
Opera disebut juga operet. Yaitu jenis drama yang seluruh atau sebagian dialognya dinyanyikan oleh para pemeran, dengan iringan musik. Jenis drama ini merupakan perpaduan yang harmonis anatara seni teater dan seni suara.
d.      Sendratari
Yaitu drama yang penyajiannya dilakukan dengan menari. Adegan disajikan dalam bentuk tarian yang telah disesuaikan dengan karakter masing-masing tokoh. Tentu saja ada musik dan lagu untuk mengiringi tari tersebut.
e.       Kabaret
Yaitu drama yang menggunakan teknik rekaman untuk dialog dan tata musiknya. Semua telah disajikan dalam bentuk rekaman, sehingga para pemeran tinggal menggerakkan saja diatas panggung. Di masyarakat istilah ini sering tertukar dengan operet. Padahal operet sendiri bisa saja muncul dalam jenis kabaret.
f.       Drama Radio
Yaitu drama yang khusus untuk diperdengarkan bukan untuk ditonton. Belakangan ini seluruh dialog, dan ilustrasi musik direkam agar dapat diawetkan dan diputar kapan saja. Para pemeran tidak perlu bergerak tetapi cukup menghayati peran dan mengatur intonasi, tempo, artikulasi, dan lain-lain dalam dialognya.
g.      Drama Televisi
Yaitu drama yang disajikan di televisi. Drama jenis ini pun di rekam dalam vidio dan dapat diputar kapan sajasesuai waktu tayangnya. Belakangan ini muncul istilah baru untuk jenis ini, yaitu sinetron (Sinema Elektronik).
h.      Film
Yaitu drama yang khusus untuk diputar di bioskop, drama jenis ini pun telah direkam dalam film, sehingga bisa diputar dimana dan kapan saja. Film sering pula diputar di televisi.

2.5. UNSUR-UNSUR DRAMA
Sudah dijelaskan bahwa drama mempunyai dua pengertian, yaitu drama sebagai karya sastra dan drama sebagai bentuk pementasan. Keduanya mempunyai unsur yang tentunya berbeda.

1.      Unsur Drama Sebagai Karya Pentas
1.    Pentas atau panggung
2.    Pekerja pentas yang terdiri dari
a.    Perangkat administratif
b.    Perangkat artistik
3.    Penonton
4.    Naskah

2.      Unsur Intrinsik Drama Sebagai Karya Sastra
a.      Tema
Proses penciptaan drama diilhami pula oleh persoalan yang diakibatkan kesenjangan anatara kenyataan dan keinginan. Dari sekian persoalan yang ada, pengarang naskah drama, menangkap salah satu persoalan yang menurutnya menarik, unik, dramati, dan berkepentingan untuk diinformasikan pada khalayak. Persoalan tersebut pasti persoalan manusia baik lahirinya atau batininya yang penuh dengan konflik. Segala proses tangkapan terhadap persoalan yang ada itu merupakan pengalam pengarang, yang ada pada suatu saat merangsang dan menggetarkan jiwanya untuk berproses kreatif.
Pokok persoalan yang ditangkap dan dijadikan ide cerita itulah yang lantas disebut tema. Tentu saja pokok persoalan atau tema itu tidak akan tersurat dalam naskah drama, tetapi ada dalam satu kesatuan cerita yang berjalan dari awal sampai akhir cerita itu berakhir. Adalah pembaca yang harus menangkap tema yang ada dalam cerita tersebut, tergantung pada tingkat apresiasiny, dia akan menghidupkan kembali segala pokok persoalan ke permukaan, lantas memanfaatkannya bagi kehidupannya.

b.      Konflik
Konflik atau sering disebut tikaian, adalah suatu keadaan di mana ada daya- yang saling bertentangan arah, tetapi dalam kadar kekuatan yang kira-kira sama. Dalam drama yang baik selalu mengandung konflik, bahkan bisa dikatakan bahwa ini drama adalah konflik.
Konflik dalam drama ada beberapa macam, yaitu:
1.      Konflik mendekat-mendekat, yaitu pertentangan dua kekutan yang melanda tokoh sehingga berada pada valensi positif yang sama kuat.
2.      Konflik menjauh-menjauh, yaitu pertentangan dua kekutan yang melanda tokoh sehingga berada dalam dua valensi negatif sama kuat.
3.      Konflik mendekat-menjauh, yaitu pertentangan dua kekuatan ysng melanda tokoh sehingga berada pada valensi negatif dan positif yang sama kuat.

c.       Alur atau Plot
Plot adalah urutan peristiwa satu ke peristiwa lain yang terjalin berdasarkan hukum sebab-akibat. Urutan peristiwa dari awal babak, dibukanya konflik, sampai akhir penyelesaian konflik, akan menjadi lakon atau cerita drama yang menarik.
Menurut Hudson, plot drama tersusun menurut apa yang dinamai ‘garis lakon’ (dramatic line), yaitu:
1.      Perkenalan atau Eksposisi
Bagian ini dimaksudkan agar pembaca memperoleh keterangan-keterangan agar ada pengertian dalam membaca naskah drama, atau menonton pertunjukan drama. Perkenalan atau eksposisi ini akan menjelaskan bahwa cerita dimulai. Konflik memang belum ada, tapi tanda-tanda akan timbulnya konflik sudah dimunculkan. Biasanya pemabaca tergiring untuk mengetahui peristiwa selanjutnya, yaitu situasi adanaya insiden.
2.      Insiden Permulaan
Pada bagian ini mulai dihadirkan insiden permulaan yang menjadi benih-benih timbulnya konflik yang jadi inti drama. Insiden tersebut merupakan tenaga perangsang yang terjadi secara tiba-tiba dari bagian perkenalan atau eksposisi yang seterusnya menjadi motif dasar plot.
3.      Penanjakan laku atau Rising Action
Pada bagian ini insiden yang muncul sebelumya semakin bertambah ruwet. Konflik muncul dan mulai menajam, sedangkan jalan keluar masih jauh dari samar.
4.      Krisis atau Titik Balik
Krisis disebut juga klimaks adalah bagian yang paling tegang dari seluruh urutan peristiwa. Daya-daya yang bertentangan saling memperhatikan kekuatannnya, dan membutuhkan penyelesaian. Pertimbangan tertentu dalam cerita akan condong ke salah satu pihak sebagai jalan keluar yang selama ini ruwet.


5.      Penyelesaian atau Denoument
Pada bagian ini pengarang akan menyelesaikan konflik yang ada. Apakah akan berakhir dengan kesedihan atau kegembiraan, sangat tergantung pada kemauan dan sikap pengarang itu sendiri dalam menghadapi konflik yang dibuatnya. Keterangan telah selesai. Perhatian pembaca tertuju pada rasa simpati terhadap tokoh yang telah menyelesaikan konflik.
6.      Keputusan atau Catastrophe
Bagian ini segalanya telah berakhir. Ada hasil dari semua penyelesaian, dari cerita segala berakhir.

d.      Tokoh dan Perwatakan
Unsur lain yang penting dalam drama adalah tokoh dan perwatakan. Tokoh adalah manusia yang bergelut dengan konflik-konflik yang diciptakan pengarang dalam drama. Tokoh dalam drama sering disebut pula pelaku. Tokoh dalam drama dapat dibedakan berdasarkan pada tugas-tugas yang diembannya, yaitu:
1.      Tokoh Protagonis
Yaitu tokoh utama yang muncul dan ingin mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi sewaktu mencapai keinginan.
2.      Tokoh Antagonis
Yaitu tokoh yang melawan keinginan tokoh protagonis. Tokoh inilah yang merangsang timbulnya konflik dalam diri tokoh protagonis.
3.      Tokoh Tritagonis
Yaitu tokoh yang berada diluar kedua tokoh tersebut diatas. Tokoh ini bisa membantu mempertajam adanya konflik atau membantu memecahkan konflik.
4.      Tokoh Pembantu
Yaitu tokoh yang tidak secara langsung terlibat dalam konflik, tetapi diperlukan guna menyelesaikan cerita.

e.       Latar atau Setting
Latar atau setting adalah penggambaran tempat, waktu, lingkungan sosial, dan suasana dalam cerita. Dalam lakon atau cerita drama akan menceritakan tempat peristiwa berlangsung, kapan peristiwa tersebut terjadi, bagaimana suasana yang dihidupkan, serta ada dalam lingkup sosial bagaimana peristiwa itu dibabarkan.
Kesemua itu akan nampak dalam dialog para tokoh. Ada memang beberapa pengarang yang secara langsung menjelaskan setting tersebut dari keterangan atau kramagung yang dia buat sebelum memulai cerita. Tetapi, kebanyakan dari pengarang masa kini, persoalan setting sering diserahkan pada pembaca sebagai apresiator kreatif.
Menagkap setting atau latar sangat penting dalam membaca naskah drama. Sebab imajinasi pembaca akan terarah pada bentuk pementasan sebagai langkah lanjut setelah seluruh naskah difahami.

f.       Dialog
Sesungguhnya ciri khas naskah drama adalah dialog atau wawankata. Oleh sebab itu dialog sering disebut sebagai unsur terpenting dari naskah drama. Hal ini bisa dimaklumi, sebab semua unsur yang perlu diteliti pada dasarnya nampak dalam bentuk dialog.
Dari segi estetis,dialog merupakan faktor filosofis yang mempengaruhi struktur keindahan sebuah lakon. Dialog harus benar-benar menarik, plastis, sehingga memiliki sifat yang mampu menjelaskan keindahan  semua unsur yang ada. Dalam hal itu harus diingat bahwa pada gilirannnya semua dialog akan mengantarkan seluruh peristiwa yang membentuk cerita.
Gaya mencipta dialog setiap pengarang naskah drama tentunya akan berbeda satu dengan lainnya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh banyak faktor dalam proses penciptaannya. Untuk menyadari hala itu, maka para pembaca naskah drama dituntut untuk banyak berkenalan dengan berbagai naskah drama dari beberapa pengarang yang berbeda.

g.      Amanat
Amanat adalah pikiran-pikiran tersembunyi pengarang yang oleh pembaca harus dipikirkan, diresapi, dihayati, dan bahkan mungkin dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Berbobot atau tidaknya amanat yang ada dalam drama, tergantung tema cerita dan penyelesaian konfliknya. Disamping itu tergantung pula pada kepekaan pembacanya dalam menangakap amanat yang ada.
Amanat, akan nampak sekali dari cara pengarang memecahkan persoalan atau konflik para tokoh dalam naskah drama. Di samping itu amanta dapat pula diperoleh dari dialog yang tersebar dibagian dialog yang dilontarkan para tokohnya.
BAB III
ANALISIS UNSUR INTRINSIK DRAMA
(Naskah RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang)

3.1. Sekilas Tentang Pengarang
Iwan Simatupang adalah salah satu penulis legendaris Indonesia. Iwan Simatupang bernama lengkap Iwan Maratua Dongan Simatupang. Beliau dilahirkan di Sibolga, Sumatera Utara pada tanggal 18 Januari 1928. Beliau pernah kuliah di Fakultas Kedokteran di Surabaya pada tahun 1953. Kemudian pada tahun 1954 beliau pergi ke Belanda untuk belajar di sana belajar atas beasiswa Sticusa (Stichting voor Culturele Samenwerking), bagian antropologi di Fakulteit der Letteren, Rijksuniversiteit, Leiden. Setelah dari belanda kemudian beliau masuk jurusan Filsafat Barat Kampus Sorbonne, Paris, Perancis.
Saat di Belanda, sejak 1955-1958 beliau giat menulis di majalah Gajah Mada, terbitan Yogyakarta. Artikelnya meliputi esai sastra, drama, film, seni rupa, juga ihwal kebudayaan pada umumnya. Sepanjang studi Antropologi serta Sosiologi di Amsterdam, Iwan juga mengarang naskah drama.
Tahun 1957 lahir naskah dramanya yang berjudul Buah Delima dan Bulan Bujur Sangkar. Tahun berikutnya beliau menulis naskah drama berjudul Taman. Beliau pernah menjadi guru, wartawan, penulis cerpen,  penulis puisi, penulis esai, penulis novel, dan penulis naskah drama.
Puisinya pertamanya dipublikasikan berjudul Ada Dukacarita di Gurun, dimuat majalah Siasat edisi 6 Juli 1952. Sajaknya yang lain yaitu berjudul Ada Dewa Kematian Tuhan, Apa kata Bintang di Laut, serta Ada Tengkorak Terdampar di Pulau Karang. Puisi-puisi itu dimuat di majalah Siasat Baru edisi 30 Desember 1959. Setelah itu, judul-judul cerpen beliau yaitu Monolog Simpang Jalan, Tanggapan Merah Jambu tentang Revolusi, Kereta Api Lewat di JauhaI, Patates Frites, Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu, Tegak Lurus dengan Langit, Tak Semua Tanya Punya Jawab dan sebagainya.
Kritikus sastra menyebutkan karyanya juga sebagai avant garde terhadap buah pena beliau. Beliau sendiri menyebutkan dirinya sebagai manusia marjinal, hal tersebut tergambar pada karya-karyanya. Misalnya novelnya Ziarah, Merahnya Merah, Kering, Koong, dan pada naskah dramanya yang berjudul Petang di Taman, RT. Nol RW. Nol, Kaktus, dan Kemerdekaan tergambar karakter beliau.


3.2. Sinopsis
Dalam naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang mengisahkan beberapa orang yang tinggal di bawah kolong jembatan di sebuah kota besar. Orang-orang tersebut tersebut antara lain: Kakek sebagai mantan kelasi kapal, Pincang sebagai orang yang memiliki kondisi fisik kaki pincang, Ina dan Ani sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK).
Mereka telah lama meratapi kejamnya kota besar, sampai suatu hari Ani dan Ina yang telah lama menjalani profesi sebagai PSK memutuskan untuk menikah setelah tertangkap razia polisi. Ani dijanjikan untuk dinikahi oleh laki-laki yang dipanggil Ina sebagai Babah, dan Ina menerima lamaran Bang Becak yang selama ini turut andil dalam pekerjaannya sebagai PSK. Cita-cita Ani dan Ina cukup sederhana, mereka ingin memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Sepeninggal Ani, tersisa Kakek, Pincang, Bopeng, dan orang yang baru dibawa Bopeng yaitu Ati. Ina sempat kembali menceritakan rencana pernikahan dan menyampaikan pesan perpisahannya kepada Kakek, Pincang, Bopeng, dan Ati. Kemudian Ina menyebut kolong jembatan tempat tinggalnya selama ini  sebagai RT. Nol RW. Nol.
Bopeng adalah laki-laki yang juga telah lama tinggal di kolong jembatan, ketika Ani dan Ina memutuskan untuk pergi, Bopeng telah diterima bekerja sebagai klasi kapal yang artinya Bopengpun akan pergi juga meinggalkan kolong jembatan tersebut. Bopeng mengenalkan seorang perempuan yang dijumpainya di pelabuhan bernama Ati. Ati adalah korban penipuan seorang laki-laki yang telah menikahinya di kampung halamannya. Ati dijanjikan akan dibawa ke kampung sebrang, namun setibanya dipelabuhan kota, laki-laki tersebut menghilang dengan membawa barang-barang Ati.
Setelah melalui diskusi panjang, Pincang setuju untuk mengantarkan Ati kembali ke kampung halamannya dan berniat mencari pekerjaan di sana. Ati sempat mengajak dan membujuk Kakek untuk ikut ke kampungnya, namun Kakek menolaknya karena menganggap kolong jembatan tersebut bagian dari hidupnya. Kakek beranggapan kelak ia akan menjadi pahlawan, jika ia memeninggal lalu mayatnya ditemukan akan dijadikan sebagai bahan praktek kedokteran karena tidak mempunyai Kartu Identitas (KTP).

3. 3. Tema
Tema dalam naskah drama RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang adalah tentang kritik sosial terhadap masyarakat dan pemerintah.
Sebab, dalam naskah drama ini menceritakan tentang kehidupan orang-orang yang tinggal di kolong jembatan. Kehidupan mereka sungguh sangat memprihatinkan; hidup berada dibawah garis kemiskinan, kesengsaraan, bahkan bahaya bisa saja mengancam mereka kalau seandainya kolong jembatan yang mereka huni tiba-tiba roboh. Akan tetapi pemerintah seolah menutup mata terhadap keberadaan mereka. Bahkan, mereka tidak dianggap sebagai warga Negara yang mempunyai hak dan kedudukan yang sama oleh masyarakat dan pemerintah, dengan alasan tidak memiliki Kartu Identitas (KTP).
Dalam naskah ini juga menceritakan tentang kejenuhan dan kebosanan orang-orang yang hidup di kolong jembatan dalam kehidupan yang mereka jalani selama ini. Mereka juga ingin mendapatkan kehidupan yang layak, mendapatkan hak yang sama, ingin di akui sebagai warga negara, ingin memiliki identitas yang jelas, ingin merasakan hidup tenang jauh dari kebisingan, ingin hidup tenang tanpa harus dikejar-kejar polisi pada saat ada razia, ingin tidur nyaman tanpa kedinginan, ingin makan enak seperti makanan yang sering dikonsumsi orang-orang berduit. Mereka selalu berusaha untuk mewujudkan keinginan tersebut, berbagai upaya mereka lakukan, bahkan bagi Ani dan Ina rela mengorbankan apapun sekalipun dengan menjual martabat dan harga diri mereka pada laki-laki hidung belang.
Berikut bukti kutipan monolog yang mendukung penjelasan mengenai tema:
KAKEK:
Gandengan lagi! Nanti Roboh Jembatan ini. Bukankah dilarang gandengan lewat sini. (Iwan Simatupang, 1966: 1).
ANI :
Negara punya kesibukan. Kesibukan itu namanya: Bernegara. (Iwan Simatupang, 1966: 1).
ANI :
. . . . . Aku sudah bosan dengan labu-siammu yang kau pungut tiap hari dari tong-tong sampah di tepi pasar sana. Labu-siam ½ busuk, campur bawang-prei ½ busuk, campur ubi dan jagung apek, - - bah! Aku bosan! Tidak, malam ini aku benar-benar ingin makan enak. Sepiring nasi putih, sepotong daging rendang, dengan bumbunya kental berminyak-minyak, sebutir telor balado, dan segelas penuh teh manis panas. Dan sebagai penutup, sebuah pisang raja yang kuning emas. (Iwan Simatupang, 1966: 2).
KAKEK :
. . . . . Kenanganlah yang jadi beton dari kecongkakan diri kita, yang sering salah diberi nama oleh masyarakat, dan oleh diri kita sendiri sebagai: harga diri. Kini aku bertanya kepadamu nak: Dimanakah lagi harga diri di kolong jembatan ini? (Iwan Simatupang, 1966: 6).
PINCANG :
. . . . . Semua kenangan, harga diri, yang Kakek sebutkan tadi, adalah justru masalah yang hanya ada bagi jenis manusia-manusia seperti kita ini: tubuh yang kurang dapat kita manfaatkan sebagaimana mestinya, dan waktu lowong kita bergerobak-gerobak. (Iwan Simatupang, 1966: 7).
KAKEK :
Kalau aku tak salah, kau tak henti-hentinya cari kerja. (Iwan Simatupang, 1966: 7).
PINCANG :
Masyarakat punya prasangka-prasangka tertentu terhadap jenis manusia seperti kita ini. (Iwan Simatupang, 1966: 7).
PINCANG :
Masyarakat telah mempunyai keyakinan yang berakar dalam, bahwa manusia-manusia gelandangan seperti kita ini sudah tak mungkin bisa bekerja lagi dalam arti yang sebenarnya. (Iwan Simatupang, 1966: 7).
PINCANG :
. . . . . Mereka anggap kita ini sebagai suatu kasta tersendiri, kasta paling hina, paling rendah. (Iwan Simatupang, 1966: 7).
PINCANG :
. . . . . Kakek dan aku sama-sama termasuk mereka yang setiap saat siap mempertaruhkan apa saja, asal dapat meninggalkan kedudukan sebagai manusia gelandangan ini. (Iwan Simatupang, 1966: 7).
PINCANG :
. . . . . Satu-satunya lagi yang masih bisa menolong kita, hanyalah kebetulan dan nasib baik saja. (Iwan Simatupang, 1966: 8).
PINCANG :
. . . . . akhirnya berakhir dengan terapung di sungai butek ini. Mayat kita yang telah busuk, dibawa kuli-kuli kotapraja ke RSUP, lalu ditempeli dengan tulisan tercetak: Tak dikenal. Kita dikubur tanpa upacara, cukup oleh kuli-kuli RSUP. Atau, paling-paling mayat kita disediakan sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa-mahasiswa kedokteran. (Iwan Simatupang, 1966: 8).
INA :
. . . . . Ya, kolong jembatan ini telah membunuh dan mengubur tokoh pengarang pada diri Abang itu. Dan aku, gelandangan biasa saja, yang diburu oleh sekian kekurangan dan kenangan buruk di masa yang lampau . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 21).
INA :
. . . . . Tapi, itu semuanya rela kuterima, Bang, demi – dapatnya aku memiliki sebuah kartu penduduk! (Menangis) Kartu penduduk, yang bagiku berarti: berakhirnya segala yang tak pasti. Berakhirnya rasa takut dan dikejar-kejar seolah setiap saat polisi datang untuk merazia kita, membawa kita dengan truk-truk terbuka ke neraka-neraka terbuka yang di koran-koran disebut sebagai “taman-taman latihan kerja untuk kaum tuna karya”. Gambar kita di atas truk terbuka itu dimuat besar-besar di koran. Tapi, kemudian koran-koran bungkem saja mengenai penghinaan-penghinaan yang kita terima di sana . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 21).

3. 4. Tokoh dan Perwatakan
3.4.1.  Tokoh
Tokoh dalam naskah drama RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang hanya ada enam tokoh yaitu: Kakek, Pincang, Ani, Ina, Bopeng, dan Ati. Mereka adalah tokoh protagonis, antagonis, dan tritagonis.
a.       Tokoh Protagonis
Tokoh protagonis merupakan tokoh utama yang muncul dan ingin mengatasi berbagai persoalan. Dalam naskah ini yang termasuk tokoh protagonis yaitu: Kakek, Pincang, dan Ina. Misalnya ketika terjadi perdebatan antara Bopeng dan Pincang karena Bopeng merasa tersinggung dengan perkataan Pincang, Kakek mencoba mengatasi persoalan tersebut dengan cara melerai. Kemudian ketika muncul persoalan pada Ati, setelah Bopeng yang membawanya dari pelabuhan ke kolong jembatan akan pergi berlayar karena Bopeng diterima bekerja menjadi seorang kelasi. Ati bingung akan nasib hidupnya bagaimana, kemudian Pincang mencoba menyelesaikan persoalan Ati. Pincang bersedia mengantarkan Ati pulang ke kampung halamannya.

b.      Tokoh Antagonis
Tokoh antagonis merupakan tokoh yang kerap memunculkan berbagai persoalan atau dapat dikatakan juga sebagai tokoh yang melawan/bertentangan dengan tokoh protagonis. Tokoh inilah yang merangsang timbulnya konflik dalam diri tokoh protagonis. Dalam naskah ini yang termasuk tokoh antagonis yaitu: Ani dan Bopeng. Misalnya ketika Ani yang bekerja sebagai PSK sedang berdialog dengan Kakek terkait aturan pemerintah, Ani selalu menentang perkataan Kakek. Kemudian ketika Pincang menyarankan kepada Ani agar jangan pergi bekerja, Ani malah menentang saran dari Pincang. Dan ketika Bopeng membawa Ati ke kolong jembatan, konflik yang terjadi semakin rumit. Sehingga jelas bahwa tokoh Ani dan Bopeng merupakan tokoh-tokoh yang merengsang timbulnya konflik atau kerap memunculkan berbagai persoalan.

c.       Tokoh Tritagonis
Tokoh Tritagonis merupakan tokoh yang berada di luar tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh ini bisa mempertajam adanya konflik, atau membantu memecahkan konflik. Dalam naskah ini yang termasuk tokoh tritagonis yaitu Ati. Tokoh Ati jelas merupakan tokoh Tritagonis, sebab dengan kehadiran Ati di kolong jembatan turut mempertajam permasalahan/konflik yang terjadi.

 3.4.2.  Perwatakan Tokoh
Penggambaran watak tokoh-tokoh dalam naskah  drama RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang adalah sebagai berikut:
a.       Watak Kakek
Tokoh Kakek dalam naskah ini mempunyai watak baik hati, kritis, mempunyai pemikiran yang matang, selalu memberi nasehat, selalu memberi motivasi, pintar, meski sudah tua tapi ia tidak pelupa, perhatian, penyabar, dan bisa menerima kenyataan hidup yang dialaminya. Watak Kakek tergambar dalam lontaran dialog antara Kakek dengan tokoh lain.

Berikut adalah lontaran monolog Kakek yang mendukung atau sebagai bukti argumentasi diatas:
KAKEK :
Hendaknya, peraturan itu diturutlah. (Iwan Simatupang, 1966: 1).
KAKEK :
Kalau begitu apa guna larangan? (Iwan Simatupang, 1966: 1).
KAKEK :
Selamat bertugas! Entah basah, entah kering. Semoga kalian menemukan apa yang kalian cari. (Iwan Simatupang, 1966: 5).
KAKEK :
Kenangan, inilah sebenarnya yang membuat kita sengsara berlarut-larut. Kenanganlah yang senantiasa membuat kita menemukan diri kita dalam bentuk runtuhan-runtuhan. Kenanganlah yang jadi beton dari kecongkakan diri kita, . . . . .  (Iwan Simatupang, 1966: 6).
KAKEK :
Hukum masyarakat tetap begitu. Kalau mau melamar kerja, tampillah dengan tampangmu yang paling menguntungkan. (Iwan Simatupang, 1966: 8).
KAKEK :
Sabar, sabar! . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 9).
KAKEK :
Seingatku, di restoran yang besaran dikit, kita bisa pesan apa yang disebut “Biefstuk Komplit”. (Iwan Simatupang, 1966: 16).
KAKEK :
Seingatku – dari masaku dulu sebagai kelasi – pembayaran serupa itu namanya “all in”. Semuanya sudah termasuk: ya ongkos hotelnya, ya ongkos makan-makan dan mabuk-mabuknya, ya ongkos plesirnya dengan wanitanya, ya ongkos taksi besok paginya yang harus mengantarkan kita pulang kekapal di pelabuhan – tidak terlambat! (Iwan Simatupang, 1966: 16).
KAKEK :
Persis pandangan seorang jagal sapi: ini daging ya masuk; ini lemak dan tetelan, ya masih bisa masuk . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 17).
KAKEK :
Dan itu namanya: sekedar. Wah, pintar juga si babah. (Iwan Simatupang, 1966: 18).
KAKEK :
. . . . . Selamat jalan, Nak. (Iwan Simatupang, 1966: 22).
KAKEK :
. . . . . Lekaslah, Nak. Nanti suamimu kabur! (Iwan Simatupang, 1966: 22).
KAKEK :
. . . . . Jangan bingungkan dirimu lebih lama lagi dalam kerangka-kerangka kata-katamu yang mengawang itu. Mulai sekarang, rebut! Dan reguklah! Kesempatan segera ia nongol di hadapanmu. Berbuatlah! Bertindaklah! . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 24).
KAKEK :
Dan kalian tak salahnya, jaga istirahat. Tidurlah, kalau memang betul bisa tidur. Ingat, acara kalian besok sungguh banyak. (Iwan Simatupang, 1966: 26).
KAKEK :
. . . . . Pada diriku,  semuanya yang kusebut tadi itu terdapat saling tindih menindih, berlapis-lapis, dan sebagai selaput luarnya yang makin keras: usiaku yang semakin tua! Semakin tua kita, semakin lamban kita, semakin keluar kita dari rel… dan akhirnya: dari tuna karya, kita jadi tuna hidup. Selanjutnya, tinggallah lagi kita jadi beban bagi kuli-kuli kotapraja yang membawa mayat kita ke RSUP. Apabila kita mujur sedikit, maka pada saat terakhir mayat dan tulang-tulang kita masih dapat berjasa bagi ilmu urai kedokteran, menjadi pahlawan-pahlawan tak dikenal bagi kemanusiaan. (Iwan Simatupang, 1966: 28).

b.      Watak Pincang
Tokoh Pincang dalam naskah ini mempunyai watak sok tau, pencemburu, selalu ingin tahu urusan orang lain, bicaranya blak-blakan kadang suka membuat orang orang tersinggung, tapi sebenarnya dia baik hati, perhatian, terbuka, tidak mudah putus harapan/pantang menyerah, bisa menerima nasib hidup yang dialaminya, ikhlas membantu orang lain tanpa pamrih. Watak Pincang tergambar dalam lontaran dialog antara Pincang dengan tokoh lain.
Berikut adalah lontaran monolog Pincang dan dialog Pincang dengan tokoh lain yang mendukung argumentasi diatas:

Watak Pincang yang menggambarkan sebagai tokoh yang sok tau tergambar pada dialog di bawah ini.
PINCANG :
Mana bisa. Laki-laki mana mau sama kalian kuyup-kuyup? (Iwan Simatupang, 1966: 3).
INA :
Ah, abang seperti tahu segala. Lagi, kata siapa kami bakal basah kuyup? (Iwan Simatupang, 1966: 3).

Watak Pincang yang menggambarkan sebagai tokoh yang sok tau tergambar pada dialog di bawah ini.
PINCANG :
Ahh, aku sudah tahu. Pasti bang becak yang hitam itu lagi, kan?! (Iwan Simatupang, 1966: 3).
INA :
. . . Kau cemburu apa? (Iwan Simatupang, 1966: 3).
ANI :
. . . . . Kau ini sesungguhnya apa, siapa? Berani-berani cemburu. . . . . .  (Iwan Simatupang, 1966: 3).

Meskipun sebagai seorang yang sok tau, pencemburu, Pincang juga sebetulnya orang yang perhatian. Seperti terlihat pada petikan monolog berikut.
PINCANG :
Tidurlah, Kek. Kau mengantuk. (Iwan Simatupang, 1966: 6).
                            
Pincang juga seorang yang tidak mudah putus harapan/pantang menyerah, seperti tergambar pada dialog berikut.
KAKEK :
Kalau aku tak salah, kau tak henti-hentinya cari kerja. (Iwan Simatupang, 1966: 7).
PINCANG :
Ya, tapi tak pernah dapat. (Iwan Simatupang, 1966: 7).

Pincang juga tokoh yang bisa menerima kenyataan nasib, seperti terlihat pada petikan monolog berikut.
PINCANG :
Tampang kita saja sudah cukup membuat mereka curiga. Habis, tampang bagaimana lagikah yang dapat kita perlihatkan kepada mereka, selain tampang kita yang ini-ini juga? Bahwa tampang kita tampaknya kurang menguntungkan, kurang segar, kurang berdarah, . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 7).
PINCANG :
. . . . . Satu-satunya lagi yang masih bisa menolong kita, hanyalah kebetulan dan nasib baik saja. (Iwan Simatupang, 1966: 8).

Gaya bicara Pincang blak-blakan sehingga sering membuat orang lain tersinggung, seperti terlihat pada petikan dialog berikut.
PINCANG :
Darimana kau petik dia? Lalu bagaimana dengan Ani? Ada kau pikirkan itu? (Iwan Simatupang, 1966: 9).
BOPENG (Marah) :
Hati-hati dengan mulutmu, . . . .  (Iwan Simatupang, 1966: 9).

Watak pincang sebagai tokoh yang terbuka, jujur, dan tidak ingin ada yang ditutup-tutupi tergambar pada dialog berikut.
BOPENG :
Kuperingatkan kau sekali lagi, jangan terlalu jauh mengada-ngada, ya Bung. (Iwan Simatupang, 1966: 13).
PINCANG :
Kalau maksudmu, bahwa gara-gara ucapanku yang barusan kita terpaksa berkelahi, ya apa boleh buat: Ayo berkelahi! Aku mungkin dapat kau kalahkan. Kau kekar, cocok memang untuk kelasi. Mungkin kau aka dapat membunuh aku, dan tubuhku nanti kau benamkan dalam lumpur sana. Tapi, untuk kali yang paling terakhir, dan demi martabatmu sendiri sebagai seorang jantan, aku minta pada kau: (Berteriak) Berterusteranglah kepada wanita cilik yang sedang dirundung malang ini! Ayo ceritakan, dengan terbitnya matahari esok pagi, apa yang akan kau lakukan sesungguhnya? Apa rencanamu yang sebenarnya dengan dia ini? Ayo, berkatalah terus terang kepadanya. Jangan dirikan bangunan-bangunan harapan kosong baginya, sebab demi Allah! Tiada dosa yang paling besar dari itu yang dapat kau lakukan terhadapnya. (Iwan Simatupang, 1966: 13).
PINCANG :
Barangkali ada baiknya, bila akulah yang menceritakannya kepada Adik, . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 13).

Watak Pincang yang menggambarkan sebagai tokoh yang baik hati, ikhlas menolong orang lain tanpa mengharap imbalan tergambar dalam monolog berikut.
PINCANG :
Ya, aku telah bertekad ingin memulai segala-galanya dengan benar-benar suci bersih. Aku besok mengantarnya kesana dengan tidak sedikitpun anggapan sebagai calon menantu seperti yang kalian gambarkan tadi. Apa alasanku untuk menganggap begitu saja, bahwa orang tuanya secara otomatis bakal menerima aku sebagai menantunya? Kemungkinan, bahkan hak penuh mereka untuk menolak aku, tetaplah ada dan ada baiknya sejak semula ikut diperhitungkan. Ya, aku ingin kesana, tapi dengan patokan bermula: aku benar-benar ingin kerja.  Kembali kerja! Kembali merasakan keutuhan dan kedaulatan tubuhku di dalam teriknya matahari, dengan kesadaran bahwa butir-butir keringatku yang mengucur itu adalah taruhanku untuk sesuap nasi yang halal. Soal menantu, kawin, cinta… ah, hendaknya aku diperkenankan kiranya tidak dulu mempunyai urusan apa-apa dengan itu semuanya. Kerangka-kerangka yang disebut Ina tadi, ingin kukubur… setidaknya untuk sementara dulu. Aku ingin mengembalikan seluruh kedirianku kembali kekesegarannya semula, yang dulu… entah telah berapa puluh tahun yang lalu, telah hilang… oleh salahku sendiri. Aku harap, Ina, maupun orang tuanya, sudi memandang diriku dalam kerangka persoalan seperti ini, dan tidak menganggap aku di sana sebagai lebih dari itu. Aku datang sebagai pelamar kerja, pelamar keadaan dan kemungkinan hidup yang baik kembali. (Iwan Simatupang, 1966: 25).

c.       Watak Ani
Tokoh Ani dalam naskah ini mempunyai watak sombong dan ambisius. Akan tetapi meskipun sombong dan ambisius, Ani adalah tokoh yang baik hati/pengertian dan suka menepati janji. Berikut adalah lontaran monolog Ani dan dialog Kakek dengan Ani, serta dialog Kakek dengan Ina yang mendukung argumentasi diatas:

Watak Ani yang menggambarkan seorang tokoh yang sombong, tergambar pada petikan monolog ini.
ANI :
. . . . . Aku sudah bosan dengan labu-siammu  yang kaupungut tiap hari dari tong-tong sampah di tepi pasar sana. Labu-siam ½ busuk, campur bawang-prei ½ busuk, campur ubi dan jagung apek, -- bah! Aku bosan! . . . . .  (Iwan Simatupang, 1966: 2).
ANI :
. . . . . . Cih, Laki-laki tak tahu diuntung! (Iwan Simatupang, 1966: 3).
ANI :
. . . . . . Cih, labu siam, bawang prei, beras menir dan ubi yang semuanya ½ atau malah semua busuk. Dan itu kau anggap senilai dengan tubuh panas wanita semalam suntuk, hah?! . . . . .  (Iwan Simatupang, 1966: 4).

Watak Ani yang menggambarkan seorang tokoh yang ambisius, tergambar pada petikan monolog ini.
ANI :
. . . . . . Cara apapun akan kami jalani, asal kami dapat memakannya malam ini. Ya, malam ini juga!  (Iwan Simatupang, 1966: 4).
ANI :
. . . . . . pantang mundur! Kita bukan dari garam, kan?!  (Iwan Simatupang, 1966: 5).

Meskipun berwatak sombong dan ambisius, tapi Ani baik hati/pengertian seperti tergambar pada petikan dialog di bawah ini.
KAKEK :
Selamat bertugas! Entah basah, entah kering. Semoga kalian menemukan apa yang kalian cari. (Iwan Simatupang, 1966: 5).
ANI :
Kalau rejeki kami baik malam ini, kami akan pulang bawa oleh-oleh. (Iwan Simatupang, 1966: 5).

Watak Ani yang menggambarkan seorang tokoh yang suka menepati janji, tergambar pada petikan dialog di bawah ini.
KAKEK (Memeriksa Bungkusannya) :
Nasi rames lagi! Dan daging rendang. Ya Allah, juga telor! Dan ini, pisang raja sesisir! Ada-ada saja si Ani!14
INA :
Kak Ani cuma mau penuhi janjinya saja pada kalian. (Iwan Simatupang, 1966: 14).

d.      Watak Ina
Tokoh Ani dalam naskah ini mempunyai watak ambisius, tidak tulus, dia rela melakukan apa saja demi mewujudkan keinginannya, tidak. Meski demikian, Ina adalah seorang tokoh yang baik dan rendah hati. Berikut adalah lontaran monolog Ina yang mendukung argumentasi diatas.
Watak Ina yang menggambarkan seorang tokoh yang ambisius, tergambar pada petikan monolo di bawah ini.
INA :
Sudahlah, kak. Hujan atau tak hujan, kita tetap keluar. (Iwan Simatupang, 1966: 3).
INA :
. . . . . . itu semuanya rela kuterima Bang, demi – dapatnya aku memiliki sebuah kartu penduduk! . . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 21).

Watak Ina yang menggambarkan seorang tokoh yang tidak tulus, tergambar pada petikan monolo di bawah ini.
INA :
. . . . . . bila aku tadi menerima lamaran bang becak itu, maka itu berarti, bahwa belum tentu aku mencintainya; itu berarti, bahwa pada hakekatnya aku masih tetap pengagum kata-katamu yang dalam-dalam maknanya itu. . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 21).

Watak Ina yang menggambarkan seorang tokoh yang baik hati, tergambar pada petikan monolo di bawah ini.
INA :
Barang-barangku kutinggalkan semuanya di sini. Pakai, bila berguna bagi kalian. . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 21).
INA :
. . . . . . Nih, ambillah semua uangku ini. Kukira, sekedar untuk ongkos pulangmu dan bekal di jalan, cukup jugalah. (Ati Menerimanya) Pulanglah, dik, segera! Jangan sempat kau menghirup iklim gelandangan ini. . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 22).

Watak Ina yang menggambarkan seorang tokoh yang rendah hati, tergambar pada petikan monolo di bawah ini.
INA :
Dan akhirnya, kau Dik! Maafkan, bila aku tadi ada melukai hatimu. . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 24).



e.       Watak Bopeng
Tokoh Bopeng dalam naskah ini mempunyai watak tempramental, mudah tersinggung. Meski demikian, Bopeng adalah seorang tokoh yang bijak, baik hati, dan pengertian.  Berikut adalah lontaran monolog Bopeng dan dialog Bopeng dengan tokoh lain yang mendukung argumentasi diatas.

Watak Bopeng yang menggambarkan seorang tokoh yang tempramental, tergambar pada petikan dialog Bopeng dengan Pincang di bawah ini.
PINCANG (Batuk-Batuk) :
Darimana kau petik dia? Lalu bagaimana dengan Ani? Ada kau pikirkan itu? (Iwan Simatupang, 1966: 9).
BOPENG (Marah) :
Hati-hati dengan mulutmu, ya. . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 9).

Watak Bopeng yang menggambarkan seorang tokoh yang tempramental juga tergambar pada petikan monolog Bopeng di bawah ini.
BOPENG :
Kuperingatkan kau sekali lagi, jangan terlalu jauh mengada-ngada, ya Bung. (Iwan Simatupang, 1966: 13).

Watak Bopeng yang menggambarkan seorang tokoh yang mudah tersinggung, tergambar pada petikan dialog Bopeng dengan Pincang di bawah ini.
PINCANG (Tertawa) :
Ha, dimana-mana kawin, Kek ya? Dimana-mana meninggalkan pengantin baru, dengan jani-jani setinggi langit berbaku-bakul. (Iwan Simatupang, 1966: 10).
BOPENG (Sangat Tersinggung) :
Diam kau!!! (Iwan Simatupang, 1966: 10).

Watak Bopeng yang menggambarkan seorang tokoh ysng bijak, tergambar pada petikan monolog Bopeng di bawah ini.
BOPENG :
Kukira, tidak pantas melarang orang yang mau menunaikan ibadahnya. Soal najis atau lendir, itu semata-mata urusan lempeng antara dia dengan Tuhan sendiri. Bukan dengan panitia haji. Kukira, Tuhan memandang soalnya kira-kira begini: Untuk soal lendirnya, dia terang berdosa. Untuk naik hajinya, jelas dia berbuat kebaikan dan pahala. Mana yang lebih berat timbangannya, hanya Tuhan yang tahu. Jelas itu tak dikatakan-Nya pada kita. Nah, oleh sebab itu, mengapa pula kita mesti ikut-ikutan mengadili bang becak lihay yang jadi haji itu di dunia kita ini? Kalau kita bertemu dengan dia, apa salahnya kita bilang: Selamat sore, Pak Haji? Dan apakah rokok yang kemudian ditawarkannya padaku harus kutolak, hanya oleh karena hati kecilku mungkin pada saat itu berkata: Awas, rokok dibeli dari uang lendirnya? Tidak, rokoknya kuterima. Bila rokoknya memang enak, ia akan kunikmati. Dan bila tidak, rokok itu dilemparkan ke jalan. (Iwan Simatupang, 1966: 17).

Watak Bopeng yang menggambarkan seorang tokoh baik hati dan pengertian, tergambar pada petikan monolog Bopeng di bawah ini.
BOPENG :
. . . . . . agar benar-benar terjamin kau pulang menuju kampungmu, maka pada si Pincang kuminta supaya suka mengantarmu sampai di sana. Ongkos buat dia, pulang pergi, biarlah aku yang tanggung. Nih, sisa persekotku tadi. Biarlah, aku toh tak butuh apa-apa lagi. Di kapal, aku tak perlu uang. (Iwan Simatupang, 1966: 22).

f.       Watak Ati
Tokoh Ati dalam naskah ini mempunyai watak ramah dan peduli terhadap orang lain. Penggambaran tokoh Ati tergambar pada monolog Ati dan dialog Ati dengan Kakek. Berikut adalah lontaran monolog Ati dan dialog Ati dengan Kakek yang mendukung argumentasi diatas.

Watak Ati yang menggambarkan seorang tokoh yang ramah ramah, tergambar pada petikan monolog Bopeng di bawah ini.
ATI :
. . . . . . apa salahnya dia tinggal sambil istirahat sebentar di kampungku. Siapa tahu, di sana ada kerja yang cocok untuknya. (Iwan Simatupang, 1966: 23).

Watak Ati yang menggambarkan seorang tokoh yang peduli terhadap orang lain, tergambar pada petikan dialog Ati dengan Kakek di bawah ini.
ATI :
Kami besok berangkat semuanya, kecuali Kakek. (Iwan Simatupang, 1966: 26).

KAKEK (Tetap Rebah, Suaranya Mengantuk) :
Aku? Mau kemana aku? (Iwan Simatupang, 1966: 26).
ATI :
Ikutlah kami besok kekampungku, Kek. (Iwan Simatupang, 1966: 26).
KAKEK :
Ikut? Aku sudah terlalu tua untuk ikut dengan siapa-siapapun. Lagipula, kalau kita semuanya pergi, bagaimana dengan kolong jembatan ini? (Iwan Simatupang, 1966: 26).

3.4.3.  Perkiraan Fisik
Memperkirakan fisik tokoh-tokoh yang ada pada naskah drama merupakan salah satu hal terpenting terutama ketika naskah tersebut akan dipentaskan. Perkiraan fisik tokoh-tokoh pada naskah RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang adalah sebagai berikut:
a.       Perkiraan fisik tokoh Kakek
Tokoh Kakek pada naskah RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang kira-kira berusia 65 tahun, tubuh sudah renta, tidak bekerja, suara sedikit serak.
b.      Perkiraan Fisik tokoh Pincang
Tokoh Pincang pada naskah RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang kira-kira berusia 30 tahun, jenis kelamin laki-laki,  kakinya pincang, postur tubuh tinggi dan kurus,  berkulit sawo matang.
c.       Perkiraan Fisik tokoh Ani
Tokoh Ani pada naskah RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang kira-kira berusia 30 tahun, tubuhnya agak gemuk, tinggi badannya sekitar 160 cm, berprofesi sebagai PSK.
d.      Perkiraan Fisik tokoh Ina
Tokoh Ina pada naskah RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang kira-kira berusia 25 tahun, tubuhnya agak kurus, berkulit hitam, tingginya sekitar 163 cm, berprofesi sebagai PSK.
e.       Perkiraan Fisik tokoh Bopeng
Tokoh Bopeng pada naskah RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang kira-kira berusia 25 tahun, jenis kelamin laki-laki, mempunyai tubuh kekar, tingginya sekitar 170 cm, berkulit hitam.
f.       Perkiraan Fisik tokoh Ati
Tokoh Ati pada naskah RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang kira-kira berusia 23 tahun, mempunyai postur tubuh sekitar 158 cm, berkulit kuning langsat, wajahnya manis, dan pempunyai rambut lurus.
3. 5. Alur atau Plot
Alur dalam naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang adalah alur konvensional. Ketegangan yang terjadi dalam setiap peristiwa cukup tajam, hal tersebut disebabkan karena naskah ini merupakan naskah drama serius. Meski demikian dalam setiap adegan pengarang mencoba menyelipkan humor dan sentilan-sentilan ringan yang isinya tentang kritikan sosial.
Susunan alur atau plot dalam naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang adalah sebagai berikut:
a.       Perkenalan atau eksposisi
Dalam adegan I pengarang mencoba mendeskripsikan suatu tempat, keadaan, serta kegiatan yang dilakukan oleh para tokoh lewat prolog. Pada adegan tersebut pembaca juga diberikan penjelasan mengenai beberapa tokoh serta profesinya, akan tetapi penjelasan atau pengenalan tersebut tidak terlalu detail, sebab dalam adegan I hanya mengenalkan beberapa tokoh. Tokoh yang lainnya akan dijelaskan pada adegan berikutnya.
Berikut adalah petikan prolog yang mendukung argumentasi diatas.
KOLONG SUATU JEMBATAN UKURAN SEDANG, DI SUATU KOTA BESAR. PEMANDANGAN BIASA DARI SUATU PEMUKIMAN KAUM GELANDANGAN. LEWAT SENJA. TIKAR-TIKAR ROBEK. PAPAN-PAPAN. PERABOT-PERABOT BEKAS RUSAK. KALENG-KALENG MENTEGA DAN SUSU KOSONG. LAMPU-LAMPU TOMPLOK.
DUA TUNGKU, BERAPI. DI ATASNYA KALENG MENTEGA, DENGAN ISI BERASAP. SI PINCANG MENUNGGUI JONGKOK TUNGKU YANG SATU, YANG SATU LAGI DITUNGGUI OLEH KAKEK. ANI DAN INA, DALAM KAIN TERLILIT TIDAK RAPIH, DAN KUTANG BERWARNA, ASYIK DANDAN DENGAN MASING-MASING DI TANGANNYA SEBUAH CERMIN RETAK. SEKALI-KALI KEDENGARAN SUARA GEMURUH DI ATAS JEMBATAN, TANDA KENDARAAN BERAT LEWAT. SUARA GEMURUH LAGI. (Iwan Simatupang, 1966: 1).

Petikan prolog di atas merupakan gambaran cerita atau lakon dalam naskah RT. Nol RW. Nol. Pada prolog tersebut tampak gambaran kehidupan, keadaan, serta gambaran aktifitas para tokoh. Tanda-tanda akan timbulnya konflik dimunculkan oleh dialog Pincang dan Ani, berikut adalah dialognya:
PINCANG :
Sekedar pengisi perut saja. Ini juga hampir masak. (Iwan Simatupang, 1966: 2).
ANI (Tolak Pinggan Di Hadapan Pincang) :
. . . . . . Aku sudah bosan dengan labu-siammu yang kaupungut tiap hari dari tong-tong sampah di tepi pasar sana. Labu-siam ½ busuk, campur bawang-prei ½ busuk, campur ubi dan jagung apek, -- bah! Aku bosan! Tidak, malam ini aku benar-benar ingin makan yang enak. Sepiring nasi putih panas, sepotong daging rendang dengan bumbunya kental berminyak-minyak, sebutir telur balado, dan segelas penuh teh manis panas. Dan sebagai penutup, sebuah pisang raja yang kuning emas. (Iwan Simatupang, 1966: 2).

Dalam peristiwa berikutnya, pengarang mencoba memunculkan kembali tanda-tanda timbulnnya konflik yang tergambar pada dialog Pincang dan Ani, kemudian Kakek moncoba melerai. Berikut dialognya:
PINCANG :
. . . . . . Akupun punya sahamku dalam kehidupan di sini. (Iwan Simatupang, 1966: 4).
ANI :
Saham? Kau hingga kini kontan mencicipi hasil sahammu yang ½ busuk semua itu. Cih, labu siam, bawang prei, beras menir dan ubi yang semuanya ½ atau malah semua busuk. Dan itu kau anggap senilai dengan tubuh panas wanita semalam suntuk, hah?! (Iwan Simatupang, 1966: 4).
KAKEK :
Sudahlah. Kalau kalian tak lekas berhenti cekcok, aku kuatir nama Raden Ajeng Kartini sebentar lagi bakal disebut-sebt nanti di sini. (Iwan Simatupang, 1966: 4).

b.      Insiden Permulaan
Insiden permulaan muncul pada adegan II. Pada adegan II ini menceritakan kenangan hidup Kakek sebelum menghuni kolong jembatan, dan keluhan Bopeng yang sering mendengar anggapan masyarakat terhadap orang-orang yang hidupnya di kolong jembatan. Konflik batin Kakek dan Pincangpun mulai dihadirkan.
Berikut adalah petikan monolog Kakek yang mendukung argumentasi di atas.
KAKEK :
. . . . . . Aku seolah kembali merasakan kantukku yang dulu, ketika ibuku melenakan aku tidur itu. Kenangan, inilah sebenarnya yang membuat kita sengsara berlarut-larut. Kenanganlah yang senantiasa membuat kita menemukan diri kita dalam bentuk runtuhan-runtuhan. Kenanganlah yang jadi beton dari kecongkakan diri kita, yang sering salah diberi nama oleh masyarakat, dan oleh diri kita sendiri, sebagai: harga diri. Kini, aku bertanya kepadamu, nak: Di manakah lagi harga diri di kolong jembatan ini? (Iwan Simatupang, 1966: 6).

Berikut adalah dialog Pincang dengan Kakek yang mendukung argumentasi di atas:
PINCANG :
Masyarakat punya prasangka-prasangka tertentu terhadap jenis manusia seperti kita ini. (Iwan Simatupang, 1966: 7).
KAKEK
Eh, bagaimana rupanya seperti jenis kita ini? (Iwan Simatupang, 1966: 7).
PINCANG :
Masyarakat telah mempunyai keyakinan yang berakar dalam, bahwa manusia-manusia gelandangan seperti kita ini sudah tak mungkin bisa bekerja lagi dalam arti yang sebenarnya. (Iwan Simatupang, 1966: 7).
KAKEK :
Menurut mereka, kita cuma bisa apa saja lagi? (Iwan Simatupang, 1966: 7).
PINCANG :
Tidak banyak, kecuali barangkali sekedar mempertahankan hidup taraf sekedar tidak mati saja, dengan batok kotor kita yang kita tengadahkan kepada siapa saja, kearah mana saja. Mereka anggap kita ini sebagai suatu kasta tersendiri, kasta paling hina, paling rendah. (Iwan Simatupang, 1966: 7).

Insiden makin bertambah tajam ketika Pinjang dan Kakek berbicara masalah nasib hidupnya di kolong jembatan. Mengenai penjelasan hal tersebut dapat dilihat dari petikan dialog berikut:
PINCANG :
Dunia gelandangan adalah suatu lingkaran setan, Kek, yang tiap hari tampaknya kian keker, kian angker juga. Satu-satunya lagi yang masih bisa menolong kita, hanyalah kebetulan dan nasib baik saja. (Iwan Simatupang, 1966: 8).
KAKEK :
Menanti-nantikan datangnya kebetulan bernasib baik itulah yang sebenarnya kita lakukan tiap hari di kolong jembatan ini. (Iwan Simatupang, 1966: 8).
PINCANG :
Satu per satu kita – pungguk-pungguk kerinduan bulan – akhirnya berakhir dengan terapung di sungai butek ini. Mayat kita yang telah busuk, dibawa kuli-kuli kotapraja ke RSUP, lalu ditempeli dengan tulisan tercetak: Tak dikenal. Kita dikubur tanpa upacara, cukup oleh kuli-kuli RSUP. Atau, paling-paling mayat kita disediakan sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa-mahasiswa kedokteran. (Iwan Simatupang, 1966: 8).
KAKEK :
Itu masih mendingan. Itu namanya, bahkan dengan mayat kita, kita masih bisa menjadi pahlawan-pahlawan tak dikenal bagi kemanusiaan, lewat ilmu urai untuk mahasiswa-mahasiswa kedokteran. Apa jadinya dengan kemanusiaan nantinya, tanpa kita? (Iwan Simatupang, 1966: 8).

c.       Penanjakan Laku atau Rising Action
Penanjakan laku atau rising action muncul pada adegan III. Dengan hadirnya tokoh Bopeng dan Ati pada adegan tersebut membuat insiden yang terjadi menjadi bertambah ruwet. Dengan hadirnya tokoh Ati sehingga muncul benih konflik yang terjadi antara Pincang dengan Bopeng. Pertanyaan Pincang yang terlalu lugas dan blak-blakan membuat Bopeng merasa tersinggung.

Mengenai penjelasan hal tersebut dapat dilihat dari petikan dialog berikut:
PINCANG (Batuk-Batuk) :
Darimana kau petik dia? Lalu bagaimana dengan Ani? Ada kau pikirkan itu? (Iwan Simatupang, 1966: 9).
BOPENG (Marah) :
Hati-hati dengan mulutmu, ya. Dia ini, Ati namanya. Dia ketemu tadi nangis-nangis di pintu pelabuhan, mencari suaminya. Setengah modar aku tadi mengitari pelabuhan bersama dia, tapi suaminya tetap tak ketemu? (Iwan Simatupang, 1966: 9).

Mengetahui Bopeng tersinggung, Pincang seperti sengaja mengolok-olok atau menyindir Bopeng. Sehingga membuat Bopeng semakin tersinggung, berikut adalah dialog Pincang dan Bopeng:
PINCANG (Tertawa) :
Ha, dimana-mana kawin, Kek ya? Dimana-mana meninggalkan pengantin baru, dengan jani-jani setinggi langit berbaku-bakul. (Iwan Simatupang, 1966: 10).
BOPENG (Sangat Tersinggung) :
Diam kau!!! (Iwan Simatupang, 1966: 10).

Peristiwa bagian ini akhirnya mengantarkan pada peristiwa berikutnya yaitu krisis atau disebut juga klimaks.
                                   
d.      Krisis atau Titik Balik
Krisis balik atau klimaks pada naskah drama RT. Nol RW. Nol adalah ketika Bopeng tak kuat lagi menahan amarah ketika perkataan Pincang yang didengarnya dianggap menyinggung perasaannya. Perkelahian antara keduanya tak dapat dihindari, Bopeng menerkam Pincang, kemudian mencekiknya. Kemudian Kakek mencoba melerai perkelahian tersebut dengan susah payah dan Ati menjerit ketakutan melihat Pincang sedang dicekik oleh Bopeng. Mengenai penjelasan hal tersebut dapat dilihat dari petikan prolog berikut:
BOPENG HABIS SABARNYA. DITERKAMNYA PINCANG, DICEKIKNYA. KAKEK MELEPASKANNYA DENGAN SANGAT SUSAH PAYAH. ATI MENJERIT KETAKUTAN. (Iwan Simatupang, 1966: 10).

Krisis tersebut juga tergambar pada dialog berikut:
KAKEK (Nafasnya Satu-satu) :
Apa-apaan nih? Haus darah apa? (Iwan Simatupang, 1966: 10).
BOPENG :
Dari tadi, dia cari fasal saja. (Iwan Simatupang, 1966: 10).
PINCANG :
O, apa aku harus menutup mulutku terus? Mengapa setiap ucapanku kauanggap sebagai cari fasal saja? (Iwan Simatupang, 1966: 10).


BOPENG :
Kuperingatkan kau sekali lagi, jangan terlalu jauh mengada-ngada, ya Bung. (Iwan Simatupang, 1966: 13).
PINCANG :
Kalau maksudmu, bahwa gara-gara ucapanku yang barusan kita terpaksa berkelahi, ya apa boleh buat: Ayo berkelahi! Aku mungkin dapat kau kalahkan. Kau kekar, cocok memang untuk kelasi. Mungkin kau aka dapat membunuh aku, dan tubuhku nanti kau benamkan dalam lumpur sana. Tapi, untuk kali yang paling terakhir, dan demi martabatmu sendiri sebagai seorang jantan, aku minta pada kau: (Berteriak) Berterusteranglah kepada wanita cilik yang sedang dirundung malang ini! Ayo ceritakan, dengan terbitnya matahari esok pagi, apa yang akan kau lakukan sesungguhnya? Apa rencanamu yang sebenarnya dengan dia ini? Ayo, berkatalah terus terang kepadanya. Jangan dirikan bangunan-bangunan harapan kosong baginya, sebab demi Allah! Tiada dosa yang paling besar dari itu yang dapat kau lakukan terhadapnya. (Iwan Simatupang, 1966: 13).

Krisis pun berakhir setelah pernyataan Pincang diatas. Bopeng yang tadinya marah malah berbalik menjadi tepesona dan kagum terhadap Pincang atas apa yang barusan  katakannya. Bopeng tidak pernah menduga akan hal yang dilakukan Pincang, sehingga membuat Bopeng terdiam.

e.       Penyelesaian atau Denoument
Pada bagian ini pengarang mulai memecahkan persoalan melalui tokoh Ina dan tokoh Bagong. Setelah pulang melayani laki-laki hidung belang, Ina pulang diantarkan oleh Bang Becak langganan Ina sekaligus tunangannya. Akan tetapi Ina pulang sendirian, sebab Ani tertangkap razia saat melayani si babah tamu langganannya. Dan Ani bersedia menerima lamaran si Babah untuk dinikahi. Begitupun dengan Ina, setelah menyerahkan titipan makanan dari Ani untuk Kakek, Ina pun memberitahu kepada Kakek, Pincang, dan Bopeng bahwa ia juga sudah menerima lamaran Bang Becak untuk dinikahi. Kemudian Ina meminta maaf dan berpamitan kepada semuanya, termasuk pada Ati. Mengetahui peristiwa yang dialami Ati, kemudian Ina menyerankan Ati untuk ulang ke kampung halamannya. Tidak hanya itu, Ina juga memberikan uang kepada Ati untuk ongkos pulang ke kampung halamannya.
Melihat sikap Ina terhadap Ati, Bopeng pun kemudian meminta Pincang untuk mengantarkan Ati pulang ke kampung halamannya dan Bopeng juga memberikan uang kepada Pincang untuk ongkos pulang pergi.

Mengenai penjelasan tersebut di atas, dapat dilihat dari petikan dialog berikut:
INA :
Dan akhirnya, kau Dik! Maafkan, bila aku tadi ada melukai hatimu. Kalaulah boleh aku memberi hanya satu nasehat saja padamu: Pandanglah kami satu persatu yang di sini ini. Kemudian, pandanglah keadaan yang dapat disajikan kolong jembatan ini. Dik, besok pagi, pulanglah lempang-lempang kekampungmu. Nih, ambillah semua uangku ini. Kukira, sekedar untuk ongkos pulangmu dan bekal di jalan, cukup jugalah. Pulanglah, dik, segera! Jangan sempat kau menghirup iklim gelandangan ini. Sekali kau menghirupnya, kau tak dapat lagi melepaskan dirimu dari lilitan-lilitan guritanya. (Iwan Simatupang, 1966: 22).
BOPENG (Tersadar) :
Ya, dan agar benar-benar terjamin kau pulang menuju kampungmu, maka pada si Pincang kuminta supaya suka mengantarmu sampai di sana. Ongkos buat dia, pulang pergi, biarlah aku yang tanggung. Nih, sisa persekotku tadi. Biarlah, aku toh tak butuh apa-apa lagi. Di kapal, aku tak perlu uang. (Iwan Simatupang, 1966: 22).

f.       Keputusan atau Catastrophe
Pada bagian ini pengarang memberikan hasil dari penyelesaian. Peristiwa tersebut disajikan pada adegan V yang menceritakan ketulusan hati Pincang untuk mengantarkan Ati pulang ke kampung halamannya.

Mengenai penjelasan tersebut di atas, dapat dilihat dari petikan monolog berikut:
PINCANG :
Ya, aku telah bertekad ingin memulai segala-galanya dengan benar-benar suci bersih. Aku besok mengantarnya kesana dengan tidak sedikitpun anggapan sebagai calon menantu seperti yang kalian gambarkan tadi. Apa alasanku untuk menganggap begitu saja, bahwa orang tuanya secara otomatis bakal menerima aku sebagai menantunya? Kemungkinan, bahkan hak penuh mereka untuk menolak aku, tetaplah ada dan ada baiknya sejak semula ikut diperhitungkan. Ya, aku ingin kesana, tapi dengan patokan bermula: aku benar-benar ingin kerja.  Kembali kerja! Kembali merasakan keutuhan dan kedaulatan tubuhku di dalam teriknya matahari, dengan kesadaran bahwa butir-butir keringatku yang mengucur itu adalah taruhanku untuk sesuap nasi yang halal. Soal menantu, kawin, cinta… ah, hendaknya aku diperkenankan kiranya tidak dulu mempunyai urusan apa-apa dengan itu semuanya. Kerangka-kerangka yang disebut Ina tadi, ingin kukubur… setidaknya untuk sementara dulu. Aku ingin mengembalikan seluruh kedirianku kembali kekesegarannya semula, yang dulu… entah telah berapa puluh tahun yang lalu, telah hilang… oleh salahku sendiri. Aku harap, Ina, maupun orang tuanya, sudi memandang diriku dalam kerangka persoalan seperti ini, dan tidak menganggap aku di sana sebagai lebih dari itu. Aku datang sebagai pelamar kerja, pelamar keadaan dan kemungkinan hidup yang baik kembali. . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 22).

Suasana berubah menjadi hening, semuanya terharu dengan kata-kata Pincang. Kakek dan Bopeng mendekat pada Pincang kemudian memeluknya. Ati mulai merasakan kekaguman, cinta, dan kasih sayang yang tulus dari Pincang. Kemudian Ati mengajak Kakek untuk ikut ke kampung halamannya, mengingat semua penghuni kolong jembatan akan pergi semua hanya tinggal Kakek seorang diri. Namun Kakek lebih memilih untuk tetap tinggal di kolong jembatan, karena bagi Kakek kolong jembatan tersebut begitu sangat berarti. Penjelasan tersebut dapat dilihat dari petikan dialog berikut:
ATI :
Kami besok berangkat semuanya, kecuali Kakek. (Iwan Simatupang, 1966: 27).
KAKEK (Tetap Rebah, Suaranya Mengantuk) :
Aku? Mau kemana aku? (Iwan Simatupang, 1966: 27).
ATI :
Ikutlah kami besok kekampungku, Kek. (Iwan Simatupang, 1966: 27).
KAKEK :
Ikut? Aku sudah terlalu tua untuk ikut dengan siapa-siapapun. Lagipula, kalau kita semuanya pergi, bagaimana dengan kolong jembatan ini? Dengan Rt-Nol/Rw-Nol ini seperti kata Ina tadi? (Iwan Simatupang, 1966: 27).
ATI :
Justru oleh karena hal-hal itulah, Kek, bukankah dia tidak milik siapa-siapa? Kakekpun boleh saja meninggalkannya. (Iwan Simatupang, 1966: 27).
KAKEK :
Ah, kau tak tahu apa arti kolong jembatan ini dalam hidupku. Sebagian dari hidupku, kuhabiskan di sini. . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 27).

3. 6. Latar atau Setting
Latar atau setting merupakan penggambaran mengenai tempat, waktu, lingkungan sosial, dan suasana dalam cerita. Latar pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang adalah sebagai berikut:
a.      Latar Tempat
Secara umum latar tempat pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang hanya di satu tempat, yaitu di kolong jembatan. Akan tetapi pengarang mencoba memberikan penjelasan lebih spesifik mengenai bagian-bagian kolong jembatan tersebut. Latar tempat pada naskah ini dapat diketahui baik pada prolog maupun dari dialog para tokoh.
1)      Di kolong jembatan
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan prolog dan monolog tokoh dibawah ini:
Ø  KOLONG SUATU JEMBATAN UKURAN SEDANG, DI SUATU KOTA BESAR. PEMANDANGAN BIASA DARI SUATU PEMUKIMAN KAUM GELANDANGAN. . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 1).
Ø  INA LARI MENINGGALKAN KOLONG JEMBATAN, . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 23).
. . . . . SUARA-SUARA MALAM DI KOLONG JEMBATAN, SEPERTI JANGKRIK-JANGKRIK, KODOK-KODOK BERSAHUTAN. . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 26).
Ø  KAKEK :
Gandengan lagi! Nanti roboh jembatan ini. . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 1).
Ø  KAKEK :
. . . . . . Di manakah lagi harga diri di kolong jembatan ini? (Iwan Simatupang, 1966: 6).
Ø  PINCANG :
. . . . . . Bahwa dari tubuh dan pakaian kita menyusup uap yang pesing, uap dari air kali yang butek di kolong jembatan ini, salah kitakah ini? (Iwan Simatupang, 1966: 7).


Ø  PINCANG :
. . . . . . Kakekku yang terhormat: Apakah di kolong jembatan ini masih tempatku? . . . . .  (Iwan Simatupang, 1966: 8).
Ø  KAKEK :
Menanti-nantikan datangnya kebetulan bernasib baik itulah yang sebenarnya kita lakukan tiap hari di kolong jembatan ini. (Iwan Simatupang, 1966: 8).
Ø  PINCANG :
Sedikit cinta, sejemput bahagia… kesempatan untuk mengejar itu semua, setidaknya tidaklah di kolong jembatan ini, Dik. (Iwan Simatupang, 1966: 13).
Ø  KAKEK :
. . . . . Pokoknya, berlayar! Pergi, jauh-jauh dari sini. Tiap tempat lainnya, pastilah lebih baik dari kolong jembatan kita ini. (Iwan Simatupang, 1966: 13).
Ø  INA :
. . . . . apakah yang dapat kauberikan padaku, di luar kolong jembatan ini? (Iwan Simatupang, 1966: 20).
Ø  INA :
. . . . . . betapa Abang telah menghambur-hamburkan kerangka karangan-karangan Abang itu dalam percakapan-percakapan kecil tentang kisah-kisah kecil yang menjemukan di kolong jembatan ini. Ya, kolong jembatan ini telah membunuh dan mengubur tokoh pengarang pada diri Abang itu. . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 21).
Ø  INA :
. . . . . Kemudian, pandanglah keadaan yang dapat disajikan kolong jembatan ini. . . . .  (Iwan Simatupang, 1966: 22).
Ø  KAKEK :
 . . . . . Lagipula, kalau kita semuanya pergi, bagaimana dengan kolong jembatan ini? . . . . .  (Iwan Simatupang, 1966: 26).
Ø  KAKEK :
Ah, kau tak tahu apa arti kolong jembatan ini dalam hidupku. . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 26).

2)      Di tepi bawah jembatan
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan prolog dibawah ini:
ANI KESAL. IA PERGI KETEPI BAWAH JEMBATAN, . . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 2).
3)      Di pilar jembatan
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan prolog dibawah ini:
Ø  KAKEK DUDUK DI SAMPING PINCANG DI BETON SEMEN SALAH SATU PILAR JEMBATAN. (Iwan Simatupang, 1966: 6).
Ø  BOPENG TERDIAM. TAMPAK IA LETIH BENAR. DIA DUDUK DI BETON DEKAT PILAR JEMBATAN. . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 11).

4)      Di pojok jembatan
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan prolog dibawah ini:
Ø  BOPENG DAN PINCANG TAMPAK PERGI KEPOJOK SEBELAH SANA DARI KOLONG JEMBATAN, DAN MEREBAHKAN DIRINYA DI SANA. . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 26).

5)      Di atas jembatan
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan prolog dibawah ini:
Ø  HUJAN TELAH REDA. KEMBALI JELAS DERU-DERU LALU LINTAS DI ATAS JEMBATAN. MASUK BOPENG DAN ATI. (Iwan Simatupang, 1966: 8).
Ø  ATI TERISAK-ISAK. MENANGIS. HENING. SESEKALI KEDENGARAN DERU LALU LINTAS LEWAT DI ATAS JEMBATAN. . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 12).
Ø  LENGANG. HANYA SUARA HALILINTAR DI ATAS JEMBATAN SESEKALI KEDENGARAN. (Iwan Simatupang, 1966: 16).
Ø  . . . . . . DI ATAS JEMBATAN SESEKALI LALU LINTAS TERDENGAR MENDERA. (Iwan Simatupang, 1966: 26).
b.      Latar Waktu
Latar waktu pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang dari mulai adegan pertama sampai adegan terakhir settingnya pada malam hari. Pada naskah ini setting waktu dapat diketahui secara gamblang oleh pembaca, sebab pengarang menjelaskan secara langsung setting waktu tersebut baik pada prolog maupun dalam dialog. Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan monolog tokoh dibawah ini:

Ø ANI :
. . . . . . Dengarkan baik-baik: Yang belum tentu adalah kalau hujan benar-benar turun– kita bisa makan malam ini. (Iwan Simatupang, 1966: 2).
Ø ANI :
. . . . . Tidak, malam ini aku benar-benar ingin makan yang enak . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 2).
Ø Ani :
. . . . . Ya, tuan-tuan. Semuanya itu akan kami nikmati malam ini . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 4).
Ø ANI :
Kalau rejeki kami baik malam ini, kami akan pulang bawa oleh-oleh. (Iwan Simatupang, 1966: 5).
Ø PINCANG :
. . . . . maka Adik kemari ini hanyalah sekedar untuk menumpang bermalam untuk satu malam ini saja? Lalu, bagaimana besok? (Iwan Simatupang, 1966: 13).
Ø KAKEK :
Entah apa rencananya Dewa-Dewa dengan mengirimkan dua kali dalam semalam ini makanan dari jenis yang sekian tahun belakangan ini memimpikannyapun kita, sebagai orang gelandangan, tak berani. Tiba-tiba, malam ini, bintang-bintang di langit, dan rupanya juga roh nenek moyang kita, ingin berseloroh dengan kita. Dan sekedar untuk melengkapkan unsur bergurau itu pada pengalaman aneh kita malam ini, . . . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 15).
Ø KAKEK :
. . . . . malam ini kita semuanya terlalu penuh dengan perasaan kita masing-masing, sehingga pastilah kita tidak mungkin akan dapat tidur. . . . .  (Iwan Simatupang, 1966: 24).
Ø KAKEK :
. . . . . Malam telah larut juga, sedang matahari besok pagi sudah mengantar beberapa dari kita ketempat yang jauh-jauh. Bahkan, ada yang harus berlayar. . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 24).

c.       Latar Sosial
Latar sosial tokoh-tokoh pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang secara umum sama, yaitu sebagai golongan orang-orang yang tersisihkan dan selalu dipandang sebelah mata oleh masyarakat dan pemerintah. Akan tetapi sebelum mereka tinggal di kolong jembatan yang mereka namai RT. Nol RW. Nol, mereka mempunyai latar belakang berbeda. Misalnya tokoh Kakek, ketika ia masih kanak-kanak tokoh Kakek adalah orang yang lingkup sosialnya tinggi dilihat dari sisi ekonomi.
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan monolog dibawah ini:
Ø KAKEK:
. . . . . Tapi, bagaimana aku bisa melupakan nasi panas, daging rendang, telor, pisang raja? Tidak bisa, nak. Sama seperti tidak bisanya aku melupakan ranjang kanak-kanakku dulu; melupakan bubur merahputih yang sangat kusukai, bila ibuku menyuguhkannya padaku sehabis aku sakit parah; melupakan uap sanggul ibuku sehabis mandi, kemudian melenakan aku tidur dengan cerita-cerita wayang, tentang Gatotkaca yang perkasa, tentang Dewi Sinta, . . . . .  (Iwan Simatupang, 1966: 6).
Ø KAKEK :
 . . . . . Aku seolah kembali merasakan kantukku yang dulu, ketika ibuku melenakan aku tidur itu. . . . .  (Iwan Simatupang, 1966: 6).

Begitupun dengan tokoh Ati, sebelum ia dibawa oleh Bopeng ke kolong jebatan tokoh Ati adalah orang yang lingkup sosialnya tinggi dilihat dari sisi ekonomi.
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan monolog dibawah ini:
ATI :
Malu, Kek. Kami berangkat dari sana dengan pesta dan doa segala. Dan koperku, dengan segala pakaian dan perhiasan emasku di dalamnya, telah dia bawa kabur. (Iwan Simatupang, 1966: 10).

Sedangkan tokoh Ani, Ina, Pincang, dan Bopeng tidak dijelaskan latar sosialnya sebelum mereka tinggal di kolong jembatan. Tokoh-tokoh tersebut hanya dijelaskan profesi mereka masing-masing: tokoh Ani dan Ina berprofesi sebagai Pekerja Sex Komersial (PSK), tokoh Pincang sebagai gelandangan/pemulung, tokoh Bopeng sebagai perampok. Meski profesi mereka berbeda namun latar sosial mereka sama, yakni sebagai orang-orang yang lingkup sosialnya rendah baik dilihat dari sudut pandang ekonomi, kesejahteraan, maupun dari sudut pandang agama.


d.      Latar Suasana
Latar suasana yang terdapat pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang sangat beragam dalam menghiasi lakon cerita. Suasana-suasana tersebut diantaranya: suasana marah, tegang, sedih, dan haru.
1)      Suasana Marah
Suasana marah tampak terjadi pada adegan III pada saat Picang menanyakan masalah Ati, orang yang dibawa Bopeng dari pelabuhan. Bopeng merasa tersinggung dengan pertanyaan Pincang yang terkesan menyudutkannya, dan akhirnya Bopeng marah pada Pincang.
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dialog dibawah ini:
PINCANG (Batuk-Batuk) :
Darimana kau petik dia? Lalu bagaimana dengan Ani? Ada kau pikirkan itu? (Iwan Simatupang, 1966: 9).
BOPENG (Marah) :
Hati-hati dengan mulutmu, ya. Dia ini, Ati namanya. Dia ketemu tadi nangis-nangis di pintu pelabuhan, mencari suaminya. Setengah modar aku tadi mengitari pelabuhan bersama dia, tapi suaminya tetap tak ketemu. (Iwan Simatupang, 1966: 9).

2)      Suasana Tegang
Suasana tegang tampak terjadi pada adegan III, suasana ini terjadi akibat ketegangan antara Bopeng dan Pincang. Ketika Pincang meminta kepada Bopeng untuk berterus terang mengenai maksud dan tujuannya membawa Ati ke kolong jembatan, akan tetapi Bopeng menganggap setiap perkataan yang keluar dari mulut Pincang sebagai cari fasal. Sehingga suasana tegangpun terjadi.
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dialog dibawah ini:
BOPENG :
Kuperingatkan kau sekali lagi, jangan terlalu jauh mengada-ngada, ya Bung. (Iwan Simatupang, 1966: 14).
PINCANG :
Kalau maksudmu, bahwa gara-gara ucapanku yang barusan kita terpaksa berkelahi, ya apa boleh buat: Ayo berkelahi! Aku mungkin dapat kau kalahkan. Kau kekar, cocok memang untuk kelasi. Mungkin kau aka dapat membunuh aku, dan tubuhku nanti kau benamkan dalam lumpur sana. Tapi, untuk kali yang paling terakhir, dan demi martabatmu sendiri sebagai seorang jantan, aku minta pada kau: (Berteriak) Berterusteranglah kepada wanita cilik yang sedang dirundung malang ini! Ayo ceritakan, dengan terbitnya matahari esok pagi, apa yang akan kau lakukan sesungguhnya? Apa rencanamu yang sebenarnya dengan dia ini? Ayo, berkatalah terus terang kepadanya. Jangan dirikan bangunan-bangunan harapan kosong baginya, sebab demi Allah! Tiada dosa yang paling besar dari itu yang dapat kau lakukan terhadapnya. (Iwan Simatupang, 1966: 14).

3)      Suasana Sedih
Suasana sedih tampak terjadi pada adegan IV pada saat Ina menceritakan Kakaknya telah menerima lamaran Si Babah. Kemudian Ina juga sudah memutuskan menerima lamaran Bang Becak meski tak didasari rasa cinta yang tulus. Keputusan Ani dan Ina untuk menerima lamaran semata-mata karena ingin mempunyai kedudukan tetap, mempunyai alamat tetap, mendapatkan pengakuan, dan yang pasti mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan monolog dibawah ini:
Ø  INA :
Dan aku sangat gembira atas putusan Kak Ani itu. Biar dengan babah gemuk gituan sekalipun, entah memang dia licik, entah Kak Ani yang kurang seksama dalam pertimbangannya, tapi setidaknya mulai sekarang Kak Ani mempunyai kedudukan tetap, punya alamat tetap, ya… (Menangis) punya kartu penduduk tetap! (Iwan Simatupang, 1966: 20).

Ø  INA (Menyeka Air Matanya) :
Dan aku sendiripun sekarang ingin menyampaikan sesuatu kepada kalian. Akupun… (Terisak) akupun tadi telah mengambil keputusan buat diriku sendiri. Aku telah terima lamaran bang becak itu. (Iwan Simatupang, 1966: 20).
                             
Ø  INA :
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Dan bila aku tadi menerima lamaran bang becak itu, maka itu berarti, bahwa belum tentu aku mencintainya; itu berarti, bahwa pada hakekatnya aku masih tetap pengagum kata-katamu yang dalam-dalam maknanya itu. Tapi juga, Bang, bahwa aku lebih gandrung akan kepastian, kenyataan dan kejelasan.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  (Iwan Simatupang, 1966: 21).

4)      Suasana Haru
Suasana Hening tampak terjadi pada adegan V atau adegan terakhir. Suasana haru terjadi ketika Ati mengajak Kakek untuk ikut ke kampung dan tinggal di kampung halamannya. Namun kakek menolak ajakan Ati, ia lebih memilih tetap tinggal di kolong jembatan karena bagi Kakek kolong jembatan yang selama ini ditempati sangat berarti baginya.
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dialog dibawah ini:
ATI :
Kami besok berangkat semuanya, kecuali Kakek. (Iwan Simatupang, 1966: 26).
KAKEK (Tetap Rebah, Suaranya Mengantuk) :
Aku? Mau kemana aku? (Iwan Simatupang, 1966: 26).
ATI :
Ikutlah kami besok kekampungku, Kek. (Iwan Simatupang, 1966: 26).
KAKEK :
Ikut? Aku sudah terlalu tua untuk ikut dengan siapa-siapapun. Lagipula, kalau kita semuanya pergi, bagaimana dengan kolong jembatan ini? Dengan Rt-Nol/Rw-Nol ini seperti kata Ina tadi? (Iwan Simatupang, 1966: 26).
ATI :
Justru oleh karena hal-hal itulah, Kek, bukankah dia tidak milik siapa-siapa? Kakekpun boleh saja meninggalkannya. (Iwan Simatupang, 1966: 26).
KAKEK :
Ah, kau tak tahu apa arti kolong jembatan ini dalam hidupku. Sebagian dari hidupku, kuhabiskan di sini. Memang, dia milik siapa saja yang datang kemari karena rupa-rupanya memang tak dapat berbuat lain lagi. Ia milik manusia-manusia yang terpojok dalam hidupnya. Yang kenangannya berjungkiran, dan tak tahu akan berbuat apa dengan harapan-harapan dan cita-citanya. Yang meleset menangkap irama dari kurun yang sedang berlaku. Pada diriku,  semuanya yang kusebut tadi itu terdapat saling tindih menindih, berlapis-lapis, dan sebagai selaput luarnya yang makin keras: usiaku yang semakin tua! Semakin tua kita, semakin lamban kita, semakin keluar kita dari rel… dan akhirnya: dari tuna karya, kita jadi tuna hidup. Selanjutnya, tinggallah lagi kita jadi beban bagi kuli-kuli kotapraja yang membawa mayat kita ke RSUP. Apabila kita mujur sedikit, maka pada saat terakhir mayat dan tulang-tulang kita masih dapat berjasa bagi ilmu urai kedokteran, menjadi pahlawan-pahlawan tak dikenal bagi kemanusiaan. (Iwan Simatupang, 1966: 27).

3. 7. Konflik
Konflik pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang menyelimuti semua tokoh, artinya semua tokoh yang terlibat dalam lakon tersebut mempunyai konflik.
a.       Konflik Ani
Konflik yang terjadi pada tokoh Ani tidak begitu tajam, dimana konflik yang terjadi adalah konflik antara Ani dengan alam. Konflik pada diri Ani muncul ketika ia hendak pergi menjalani profesinya sebagai PSK, namun kondisi alam kurang bersahabat yakni turun hujan. Hal tersebut menimbulkan gejolak batin pada diri Ani. Sebab, jika ia tidak jadi pergi, Ani tidak bisa makan enak seperti yang diinginkannya. Sementara jika Ani memaksakan pergi, di luar turun hujan. Akan tetapi pada akhirnya ada Bang Becak langganannya yang bersedia mengantarkan ia ke tempat mangkal agar tidak kehujanan, dan akhirnya Ani pun tetap pergi. Konflik Ani berada dalam valensi positif-positif.

Pergi ke                                                                                                            Diantar
tempat --------------------------------------- ANI  ----------------------------------       oleh
mangkal                                                                                                           Bang Becak

Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan prolog dan dialog dibawah ini:
SUARA GELUDUK KERAS, DISUSUL KILATAN-KILATAN. TAK LAMA KEMUDIAN, HUJAN KEDENGARAN TURUN LEBAT. (Iwan Simatupang, 1966: 5).
INA (Melihat Ke Ani) :
Gimana, kak? (Iwan Simatupang, 1966: 5).
ANI :
Terus, pantang mundur! Kita bukan dari garam, kan?! (Iwan Simatupang, 1966: 5).
KAKEK :
Selamat bertugas! Entah basah, entah kering. Semoga kalian menemukan apa yang kalian cari. (Iwan Simatupang, 1966: 5).
ANI :
Kalau rejeki kami baik malam ini, kami akan pulang bawa oleh-oleh. (Iwan Simatupang, 1966: 5).
ANI DAN INA DENGAN SEPOTONG TIKAR ROBEK MENUTUPI KEPALANYA, PERGI. HUJAN SEMAKIN LEBAT JUGA. (Iwan Simatupang, 1966: 5).

b.      Konflik Ina
Konflik yang terjadi pada tokoh Ina cukup tajam dan menarik, dimana konflik yang terjadi adalah konflik antara Ina dengan Pincang. Konflik Ina dengan Pincang muncul ketika Ina menerima lamaran Bang Becak. Pincang yang selama ini mencintai sosok Ina jelas tidak rela jika Ina menerima lamaran Bang Becak. Hal tersebut menimbulkan konflik yang cukup tajam. Meskipun Pincang mencoba meyakinkan Ina untuk tetap tinggal bersamanya, namun Ina tetap pada pilihannya yaitu menerima lamaran Bang Becak, meskipun tidak didasari cinta yang tulus. Konflik antara Ina dengan Pincang berada dalam valensi positif-negatif, artinya dengan Ina menerima lamaran Bang Becak kemungkinan besar hidup Ina akan lebih baik, akan tetapi Ina harus siap menjalani hidup dengan orang yang tidak dicintai dan harus melupakan laki-laki yang selama ini dikaguminya, yaitu Pincang.

Kemungkinan                                                                                                  Melupakan
hidup akan ---------------------------------- INA  ----------------------------------      orang yang
lebih baik                                                                                                         dikagumi

Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dialog dibawah ini:
INA (Menyeka Air Matanya) :
Dan aku sendiripun sekarang ingin menyampaikan sesuatu kepada kalian. Akupun… (Terisak) akupun tadi telah mengambil keputusan buat diriku sendiri. Aku telah terima lamaran bang becak itu. (Iwan Simatupang, 1966: 20).
PINCANG (Kaget) :
Bang becak itu? (Iwan Simatupang, 1966: 20).
INA (Menyeka Air Matanya) :
Aku tahu, Abang (Melihat Pada Pincang) sudah lama tidak menyukai bang becak itu. Tapi Bang, sekiranyalah aku menyerahkan diriku dan nasibku seterusnya padamu, apakah yang dapat kauberikan padaku, di luar kolong jembatan ini? (Iwan Simatupang, 1966: 20).
PINCANG :
Kata siapa, aku terus-terusan akan begini, dan di sini ini? (Iwan Simatupang, 1966: 20).
c.       Konflik Bopeng
Konflik yang terjadi pada tokoh Bopeng cukup tajam, dimana konflik yang terjadi adalah konflik antara Bopeng dengan Pincang. Konflik Bopeng dengan Pincang muncul ketika Bopeng membawa Ati ke kolong jembatan, di satu sisi Bopeng merasa kasihan akan nasib yang menimpa Ati tapi di sisi lain Bopeng harus berhadapan dengan Pincang yang mempunyai pemikiran negatif terhadap niat baik Bopeng. Sehingga keteganganpun terjadi, dan pertengkaran antara Bopeng dengan Pincang tak bisa dihindari. Konflik antara Bopeng dengan Pincang berada dalam valensi positif-negatif, artinya dengan membawa Ati ke kolong jembatan setidaknya akan meringankan beban Ati, maka bervalensi positif bagi Bopeng. Tetapi dengan membawa Ati ke kolong jembatan, harus berhadapan dengan Pincang, yang mana Pincang mempunyai pandangan negatif terhadap niat baik Bopeng, maka bervalensi negatif bagi Bopeng.

Membawa                                                                                                        Berhadapan
Ati ke kolong ------------------------------ BOPENG  ----------------------------      dengan
jembatan                                                                                                          Pincang

Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dialog dibawah ini:
PINCANG (Batuk-Batuk) :
Darimana kau petik dia? Lalu bagaimana dengan Ani? Ada kau pikirkan itu? (Iwan Simatupang, 1966: 9).
BOPENG (Marah) :
Hati-hati dengan mulutmu, ya. Dia ini, Ati namanya. Dia ketemu tadi nangis-nangis di pintu pelabuhan, mencari suaminya. Setengah modar aku tadi mengitari pelabuhan bersama dia, tapi suaminya tetap tak ketemu. (Iwan Simatupang, 1966: 9).

d.      Konflik Ati
Konflik yang terjadi pada tokoh Ati tidak terlalu tajam, dimana konflik yang terjadi adalah konflik antara Ati dengan batinnya. Konflik Ati dengan batinnya muncul ketika Ati sudah dibawa ke kolong jembatan oleh Bopeng yang ditemui di pelabuhan, kemudian Kakek menyarankan agar Ati pulang lagi ke kampung halamannya. Akan tetapi Ati merasa malu, sebab ketika Ati hendak berangkat dari kampungnya dirayakan dulu dengan mengadakan pesta. Selain itu, koper, pakaian, dan perhiasan yang dibawanya dari kampung telah dibawa kabur oleh suaminya, sehingga Ati tidak mempunyai uang sepeserpun. Sehingga konflik antara Ati dengan perasaannya berada dalam valensi negatif-negatif.

Malu                                                                                                                Tak punya
pulang ------------------------------------ ATI  -------------------------------------        uang untuk
ke kampung                                                                                                     ongkos

Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan monolog dibawah ini:
ATI :
Malu, Kek. Kami berangkat dari sana dengan pesta dan doa segala. Dan koperku, dengan segala pakaian dan perhiasan emasku di dalamnya, telah dia bawa kabur. (Iwan Simatupang, 1966: 10).

e.       Konflik Pincang
Konflik yang terjadi pada tokoh Pincang cukup tajam, dimana konflik yang terjadi adalah konflik antara Pincang dengan Batinnya. Konflik Pincang dengan Batinnya muncul ketika Pincang akan mengantarkan Ati pulang ke kampung halamannya. Ati dan Kakek menyarankan agar Pincang tinggal dulu beberapa hari di sana, dengan tujuan agar Pincang bisa istriahat dulu, barang kali disana Pincang bisa mendapat pekerjaan, bahkan siapa tahu Pincang diterima sebagai calon menantu orang tua Ati. Awalnya Pincang tidak langsung bersedia, akan tetapi pada akhirnya Bopeng bersedia mengantarkan Ati pulang ke kampung halamannya dengan motif hanya ingin mengantarkan Ati dan mencoba mencari pekerjaan di sana. Sehingga konflik antara Pincang dengan batinnya berada dalam valensi positif-positif.

Mengantarkan                                                                                             Mencari
Ati pulang ---------------------------- PINCANG  -----------------------------     pekerjaan
ke kampungnya                                                                                           di kampung Ati

Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan monolog dibawah ini:
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Aku besok mengantarnya kesana dengan tidak sedikitpun anggapan sebagai calon menantu seperti yang kalian gambarkan tadi. Apa alasanku untuk menganggap begitu saja, bahwa orang tuanya secara otomatis bakal menerima aku sebagai menantunya? Kemungkinan, bahkan hak penuh mereka untuk menolak aku, tetaplah ada dan ada baiknya sejak semula ikut diperhitungkan. Ya, aku ingin kesana, tapi dengan patokan bermula: aku benar-benar ingin kerja.  Kembali kerja! Kembali merasakan keutuhan dan kedaulatan tubuhku di dalam teriknya matahari, dengan kesadaran bahwa butir-butir keringatku yang mengucur itu adalah taruhanku untuk sesuap nasi yang halal. Soal menantu, kawin, cinta… ah, hendaknya aku diperkenankan kiranya tidak dulu mempunyai urusan apa-apa dengan itu semuanya. Kerangka-kerangka yang disebut Ina tadi, ingin kukubur… setidaknya untuk sementara dulu. Aku ingin mengembalikan seluruh kedirianku kembali kekesegarannya semula, yang dulu… entah telah berapa puluh tahun yang lalu, telah hilang… oleh salahku sendiri. Aku harap, Ati, maupun orang tuanya, sudi memandang diriku dalam kerangka persoalan seperti ini, dan tidak menganggap aku di sana sebagai lebih dari itu. Aku datang sebagai pelamar kerja, pelamar keadaan dan kemungkinan hidup yang baik kembali. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 25).

f.       Konflik Kakek
Konflik yang terjadi pada tokoh Kakek cukup tajam dan serius, dimana konflik yang terjadi adalah konflik antara Kakek dengan Batinnya. Konflik Kakek dengan Batinnya muncul ketika Ati mengajak Kakek untuk ikut ke kampung halamannya, akan tetapi Kakek lebih memilih tetap tinggal di kolong jembatan. Pada saat itu terjadilah gejolak batin yang sangat luar biasa, sebab jika Kakek bersedia ikut dengan Ati kemungkinan besar hidup Kakek akan lebih baik di sana. Tetapi Kakek tidak bisa begitu saja meninggalkan kolong jembatan yang sudah puluhan tahun menjadi tempat tinggalnya, bagi Kakek meskipun kolong jembatan yang ditempatinya tidak layak dijadikan sebagai tempat tinggal, serba kekurangan, dan bisa saja mengancam nyawanya, tapi kolong jembatan tersebut sangat berarti bagi hidup Kakek. Konflik antara Kakek dengan Batinnya berada dalam valensi negatif-negatif.

Tetap tinggal                                                                                               Tetap hidup
di kolong ------------------------------ KAKEK  -------------------------------      sebagai
jembatan                                                                                                     gelandangan



Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dialog dibawah ini:
ATI :
Kami besok berangkat semuanya, kecuali Kakek. (Iwan Simatupang, 1966: 26).
KAKEK (Tetap Rebah, Suaranya Mengantuk) :
Aku? Mau kemana aku? (Iwan Simatupang, 1966: 26).
ATI :
Ikutlah kami besok kekampungku, Kek. (Iwan Simatupang, 1966: 26).
KAKEK :
Ikut? Aku sudah terlalu tua untuk ikut dengan siapa-siapapun. Lagipula, kalau kita semuanya pergi, bagaimana dengan kolong jembatan ini? Dengan Rt-Nol/Rw-Nol ini seperti kata Ina tadi? (Iwan Simatupang, 1966: 26).
ATI :
Justru oleh karena hal-hal itulah, Kek, bukankah dia tidak milik siapa-siapa? Kakekpun boleh saja meninggalkannya. (Iwan Simatupang, 1966: 26).
KAKEK :
Ah, kau tak tahu apa arti kolong jembatan ini dalam hidupku. Sebagian dari hidupku, kuhabiskan di sini. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(Iwan Simatupang, 1966: 27).

3. 8. Dialog
Dialog pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang adalah menggunakan gaya ping-pong dan narasi. Pengarang mencoba mengkombinasikan dua gaya tersebut, sehingga ketika naskah tersebut dibaca tidak terasa monoton.
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dialog dibawah ini:
KAKEK :
Rupa-rupanya, mau hujan lebat. (Iwan Simatupang, 1966: 1).
PINCANG (Tertawa) :
Itu kereta-gandengan lewat, kek! (Iwan Simatupang, 1966: 1).
KAKEK :
Apa? (Iwan Simatupang, 1966: 1).
PINCANG :
Itu, truk yang pakai gandengan, lewat. (Iwan Simatupang, 1966: 1).
KAKEK :
Gandengan lagi! Nanti roboh jembatan ini. Bukankah dilarang gandengan lewat di sini.
(Iwan Simatupang, 1966: 1).
ANI :
Lalu? (Iwan Simatupang, 1966: 1).
KAKEK :
Hendaknya, peraturan itu diturutlah. (Iwan Simatupang, 1966: 1).
ANI TERTAWA TERBAHAK-BAHAK.
KAKEK :
Kalau begitu apa guna larangan? (Iwan Simatupang, 1966: 1).
ANI :
Untuk dilanggar. (Iwan Simatupang, 1966: 1).
KAKEK :
Dan kalau sudah dilanggar? (Iwan Simatupang, 1966: 1).
ANI :
Negara punya kesibukan. Kesibukan itu namanya: bernegara. (Iwan Simatupang,
1966:1).

Dialog di atas merupakan dialog ping-pong yang terdapat pada naskah RT. Nol RW. Nol, ketika membaca naskah tersebut pembaca akan disuguhkan dialog-dialog singkat dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Tetapi pengarang juga menyelipkan beberapa dialog dalam bentuk narasi.
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan monolog Bopeng dan monolog Ina dibawah ini:
BOPENG :
Kukira, tidak pantas melarang orang yang mau menunaikan ibadahnya. Soal najis atau lendir, itu semata-mata urusan lempeng antara dia dengan Tuhan sendiri. Bukan dengan panitia haji. Kukira, Tuhan memandang soalnya kira-kira begini: Untuk soal lendirnya, dia terang berdosa. Untuk naik hajinya, jelas dia berbuat kebaikan dan pahala. Mana yang lebih berat timbangannya, hanya Tuhan yang tahu. Jelas itu tak dikatakan-Nya pada kita. Nah, oleh sebab itu, mengapa pula kita mesti ikut-ikutan mengadili bang becak lihay yang jadi haji itu di dunia kita ini? Kalau kita bertemu dengan dia, apa salahnya kita bilang: Selamat sore, Pak Haji? Dan apakah rokok yang kemudian ditawarkannya padaku harus kutolak, hanya oleh karena hati kecilku mungkin pada saat itu berkata: Awas, rokok dibeli dari uang lendirnya? Tidak, rokoknya kuterima. Bila rokoknya memang enak, ia akan kunikmati. Dan bila tidak, rokok itu dilemparkan kejalan. Titik. Demikianlah aku memandang persoalannya. (Iwan Simatupang, 1966: 17).
INA :
Abang selama ini telah banyak bercerita padaku tentang masa depan, tentang cita-cita dan bahagia. Tapi, aku sedikitpun tak ada melihat, bahwa Abang sungguh-sungguh ingin menebus kata-kata itu dengan perbuatan. Terus terang saja, Bang, aku memang selalu mengagumi ucapan-ucapan Abang. Sungguh dalam-dalam maknanya! Dan kata-kata, dengan mana Abang mengatakannya sungguh lain dari yang lain. Bermalam-malam aku, tergolek di samping Abang, melanturkan angan-anganku menerawang entah kemana: Ah, sekiranya betullah semua yang diucapkan laki-laki pujaanku ini, aku pastilah jadi wanita yang paling bahagia di dunia ini.

Tapi, dengan hati yang pedih aku dari hari kehari melihat, dan mengalami, bahwa semua ucapan Abang itu bakal tetap tinggal cuma kata-kata saja. Aku melihat pada diri Abang semacam kejanggalan laku dan sikap untuk berbuat, untuk bertindak. Abang gamang berbuat sesuatu. Abang adalah manusia khayal dan kata-kata semata, dan asing sekali di bumi dari otot-otot, debu, deru dan keringat berkucuran. Semula masih ada harapanku diam-diam, bahwa Abang pada suatu hari akan mengungkapkan diri Abang sebagai seorang pengarang. Tapi, alangkah kecewanya aku melihat, betapa Abang telah menghambur-hamburkan kerangka karangan-karangan Abang itu dalam percakapan-percakapan kecil tentang kisah-kisah kecil yang menjemukan di kolong jembatan ini. Ya, kolong jembatan ini telah membunuh dan mengubur tokoh pengarang pada diri Abang itu. Dan aku, gelandangan biasa saja, yang diburu oleh sekian kekurangan dan kenangan buruk di masa yang lampau, aku tak mampu lagi mencernakan kata-kata Abang itu sebagaimana mestinya. Walhasil, bagiku Abang adalah seorang aneh, tak lebih dan tak kurang dari seorang parasit.

Dan bila aku tadi menerima lamaran bang becak itu, maka itu berarti, bahwa belum tentu aku mencintainya; itu berarti, bahwa pada hakekatnya aku masih tetap pengagum kata-katamu yang dalam-dalam maknanya itu. Tapi juga, Bang, bahwa aku lebih gandrung akan kepastian, kenyataan dan kejelasan. Bukannya aku tak sadar, apa dan bagaimana nasib seorang isteri dari seorang bang becak. Mungkin aku bukan isterinya satu-satunya. Mungkin aku akan berhari-hari tak melihat dia, tak menerima uang belanja. Mungkin tak lama lagi aku bakal jadi perawat dia yang sudah struk dan tak kuat lagi menarik becaknya, batuk-batuk darah. Tapi, itu semuanya rela kuterima, Bang, demi – dapatnya aku memiliki sebuah kartu penduduk! Kartu penduduk, yang bagiku berarti: berakhirnya segala yang tak pasti. Berakhirnya rasa takut dan dikejar-kejar seolah setiap saat polisi datang untuk merazia kita, membawa kita dengan truk-truk terbuka ke neraka-neraka terbuka yang di koran-koran disebut sebagai “taman-taman latihan kerja untuk kaum tuna karya”. Gambar kita di atas truk terbuka itu dimuat besar-besar di koran. Tapi, kemudian koran-koran bungkem saja mengenai penghinaan-penghinaan yang kita terima di sana. Kemudian kita dengan sendirinya berusaha dapat lari dari sana, untuk kemudian terdampar lagi di tempat-tempat seperti ini. Tidak, Bang! Mulai sekarang, aku mengharapkan tidurku bisa nyenyak, tak lagi sebentar-sebentar terkejut bangun, basah kuyup oleh keringat dingin. (Iwan Simatupang, 1966: 21).

Setelah dianalisis, ternyata pengarang lebih dominan menggunakan dialog bergaya ping-pong dibanding bentuk narasi. Jika ditinjau dari aspek rima, pengarang tidak terlalu memperhitungkan aspek rima, seperti terlihat pada kutipan dialog Kakek, Pincang, dan Ani di atas. Ditinjau dari aspek bahasa, selain menggunakan bahasa sederhana yang mudah dipahami layaknya percakapan bahasa sehari-hari, dalam naskah RT. Nol RW. Nol pengarang juga mencoba memperhalus bahasanya agar tidak terkesan jorok.
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dialog dibawah ini:
INA
Singkatnya: Ketika mereka sedang eh… (Iwan Simatupang, 1966: 19).
PINCANG (Nyeletuk)
… pelesir… (Iwan Simatupang, 1966: 19).
INA
Ya, eh… di tempat mereka yang biasa, tiba-tiba ada razzia! (Iwan Simatupang, 1966: 19).
PINCANG, BOPENG, KAKEK (Serempak)
Razzia?!! (Iwan Simatupang, 1966: 19).
INA
Ya, razia oleh polisi. Kami yang sedang menanti di luar, sempat lari. Kak Ani dan si babah tertangkap basah. Mereka kami lihat digiring ketruk terbuka, bersama sekian banyaknya lagi, laki-laki maupun perempuan. . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 19).

Diksi “Pelesir” pada kutipan dialog diatas maknanya adalah sedang melakukan hubungan intim yang dilakukan Ani dengan laki-laki langganannya, akan tetapi pengarang mencoba memperhalus bahasanya dengan memilih diksi “Pelesir”.

3.9. Amanat
Amanat yang dapat diambil dari naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang adalah sebagai berikut:
a.       Jangan memandang seseorang hanya dari satu sudut pandang!
Pada naskah RT. Nol RW. Nol pengarang ingin menyampaikan pesan kepada pembaca, khususnya kepada masyarakat yang selalu memandang sebelah mata terhadap orang-orang yang hidupnya termarjinalkan, seperti; gelandangan, perampok, pemulung, PSK, dan sebagainya. Umumnya masyarakat selalu memandang negatif terhadap mereka, mereka selalu dipandang sebagai orang yang tak bisa bekerja, sebagai orang yang selalu mengharap belas kasih dari orang lain, sebagai kasta paling hina, sebagai kasta paling rendah, dan lain-lain.
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dialog dibawah ini:
KAKEK :
Kalau aku tak salah, kau tak henti-hentinya cari kerja. (Iwan Simatupang, 1966: 7).
PINCANG :
Ya, tapi tak pernah dapat. (Iwan Simatupang, 1966: 7).
KAKEK :
Alasannya? (Iwan Simatupang, 1966: 7).
PINCANG :
Masyarakat punya prasangka-prasangka tertentu terhadap jenis manusia seperti kita ini. (Iwan Simatupang, 1966: 7).
KAKEK :
Eh, bagaimana rupanya seperti jenis kita ini? (Iwan Simatupang, 1966: 7).
PINCANG :
Masyarakat telah mempunyai keyakinan yang berakar dalam, bahwa manusia-manusia gelandangan seperti kita ini sudah tak mungkin bisa bekerja lagi dalam arti yang sebenarnya. (Iwan Simatupang, 1966: 7).
KAKEK :
Menurut mereka, kita cuma bisa apa saja lagi?
PINCANG :
Tidak banyak, kecuali barangkali sekedar mempertahankan hidup taraf sekedar tidak mati saja, dengan batok kotor kita yang kita tengadahkan kepada siapa saja, kearah mana saja. Mereka anggap kita ini sebagai suatu kasta tersendiri, kasta paling hina, paling rendah. (Iwan Simatupang, 1966: 7).
KAKEK :
Hukum masyarakat tetap begitu. Kalau mau melamar kerja, tampillah dengan tampangmu yang paling menguntungkan. (Iwan Simatupang, 1966: 8).

b.      Perlakukan semua orang layaknya manusia pada umumnya!
Pada naskah RT. Nol RW. Nol pengarang ingin menyampaikan pesan kepada pembaca, khususnya kepada masyarakat dan pemeritah agar memperlakukan gelandangan, perampok, pemulung, dan PSK layaknya manusia pada umumnya. Jangan karena mereka tinggal di tempat kumuh, kurang berpendidikan, dan tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), mereka diperlakukan seenaknya seolah mereka tidak mempunyai hak yang sama sebagai warga Negara.
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dialog dibawah ini:
PINCANG
Satu per satu kita – pungguk-pungguk kerinduan bulan – akhirnya berakhir dengan terapung di sungai butek ini. Mayat kita yang telah busuk, dibawa kuli-kuli kotapraja ke RSUP, lalu ditempeli dengan tulisan tercetak: Tak dikenal. Kita dikubur tanpa upacara, cukup oleh kuli-kuli RSUP. Atau, paling-paling mayat kita disediakan sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa-mahasiswa kedokteran. (Iwan Simatupang, 1966: 8).






BAB IV
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang, saya selaku penulis dapat mengambil sebuah kesimpulan sebagai berikut:
1)      Tema pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah tentang kritik sosial terhadap masyarakat dan pemerintah.
2)      Alur atau plot pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang yang dijadikan sebagai objek penelitian, berdasarkan urutan peristiwa dari awal sampai akhir maka dapat dikatakan sebagai alur konvensional.
3)      Tokoh dan Perwatakan pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah sebagai berikut;
a.       Kakek sebagai tokoh protagonis dengan perwatakan baik hati, penyabar, perhatian.
b.      Pincang sebagai tokoh protagonis dengan perwatakan baik hati, perhatian, terbuka, pantang menyerah, ikhlas menerima nasib, ikhlas membantu orang lain tanpa pamrih.
c.       Ina sebagai tokoh protagonis dengan perwatakan baik dan rendah hati.
d.      Ani sebagai tokoh antagonis dengan perwatakan sombong dan ambisius.
e.       Bopeng sebagai tokoh antagonis dengan perwatakan mudah tersinggung dan tempramental.
f.       Ati sebagai tokoh tritagonis dengan perwatakan ramah, peduli terhadap orang lain.
4)      Latar atau setting pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah sebagai berikut.
a.       Latar tempat: di kolong jembatan.
b.      Latar waktu: malam hari.
c.       Latar suasana: marah, tegang, sedih, dan haru
d.      Latar sosial: Kakek, Pincang, Ani, Ina, dan Bopeng adalah golongan orang yang lingkup sosialnya rendah, sedangkan Ati adalah orang yang lingkup sosialnya tinggi.
5)      Konflik pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah sebagai berikut:
a.       Konflik Kakek dengan batinnya cukup tajam dan serius, konflik tersebut berada dalam valensi negatif-negatif.
b.      Konflik Pincang dengan batinnya cukup tajam dan berada dalam valensi positif-positif.
c.       Konflik Ina dengan Pincang cukup tajam dan menarik, konflik tersebut berada dalam valensi positif-negatif.
d.      Konflik Ani dengan alam tidak begitu tajam dan berada dalam valensi positif-positif.
e.       Bopeng dengan Pincang cukup tajam dan berada dalam valensi positif-negatif.
f.       Ati dengan batinnya tidak terlalu tajam dan berada dalam valensi negatif-negatif.
6)      Dialog pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah sebagai berikut:
a.       Dialog yang digunakan bergaya pig-pong dan bentuk narasi.
b.      Pengarang tidak terlalu memperhitungkan aspek rima
c.       Pengarang menggunakan bahasa sederhana yang mudah dipahami
d.      Pengarang menggunakan bahasa halus (tidak jorok).
7)      Amanat pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang yang dijadikan sebagai objek penelitian setidaknya ada dua amanat yang dapat dipetik, amanat tersebut antara lain sebagai berikut:
a.       Jangan memandang seseorang hanya dari satu sudut pandang!
b.      Perlakukan semua orang layaknya manusia pada umumnya!




DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, dkk. (2003). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.
Hassanudin W.S. (2009). Drama ‘Karya Dua Dimensi’. Bandung: Angkasa.
Jaelani, Asep Jejen. (2009). Relasi Gaya Bahasa Dengan Citraan Pada Kumpulan Puisi “Menjadi Penyair Lagi” Karya Acep Zamzam Noor. Kuningan: Skripsi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan.
Keraf, Gorys. (2010). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Keraf, Gorys. (1994). Komposisi. Jakarta: Nusa Indah.
Nierenberg, Gerald. I. & Calero, Hendri. I. (2012). Membaca Pikiran Orang Seperti   Membaca Buku. Jogjakarta: Think.

Nurgiantoro, Burhan. (2010). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pusat Bahasa Depdiknas. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.
Sobur, Alex. (2011). Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia
Sugiantomas, Aan. (2012). Langkah Awal Menuju Apresiasi Sastra Indonesia. Kuningan: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan.

Sugiantomas, Aan. (2013). Kajian Prosa Fiksi dan Drama. Kuningan: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan.
Supradjarto, Toto. (1991). Kesusastraan Indonesia dari Zaman ke Zaman. Jakarta: SMA   Kanisius.
Waluyo, Herman. J. (1987). Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia
Wellek, Rene & Warren, Austin. (1989). Teori Kesusastraan. Terj Melani Budianata. Jakarta: Gramedia