ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR
“Sejarah dan
Perkembangan Kebudayaan Desa Lebakwangi”
LAPORAN OBSERVASI
Diajukan untuk
memenuhi tugas akhir mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar
Dosen Pengampu
Dede Awaludin,
M.Pd.
Disusun
Oleh
AHMAD ASIKIN
NIM : 2012011002
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KUNINGAN
TAHUN 2013
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Desa Lebakwangi
Banyak asumsi dari orang tua jaman dulu
tentang asal-usul Desa Lebakwangi, pada umumnya mereka mempunyai asumsi yang
berbeda-beda namun ada pula diantara mereka yang asumsinya sama. Dari beberapa
informasi yang saya dapat dari sesepuh desa, saya akan bahas salah sejarah atau
asal-usul Desa Lebakwangi.
Lebakwangi berasal dari dua kata, yaitu Lebak dan Wangi. Lebak yang artinya
kawasan kolam/ sungai tempat untuk mandi, mencuci baju, mencuci piring pada
masyarakat jaman dulu. Sedangkan Wangi itu
sendiri, konon waktu dulu kawasan kolam/ sungai didaerah tersebut airnya wangi.
Sehingga daerah tersebut diberi nama Lebakwangi.
B. Sistem Pemerintahan di Desa Lebakwangi
Menurut
tokoh masyarakat yang saya wawancarai, pemerintahan Desa Lebakwangi dari dulu
dipimpin oleh seorang yang disebut sebagai Kepala Desa, namun warga dikampung
saya lebih familiar dengan sebutan Kuwu.
Kepala
Desa atau Kuwu dipilih oleh masyarakat dengan cara pemilihan umum, seperti
halnya pemilihan calon Bupati, calon Gubernur ataupun pemilihan calon Presiden
dan Wakil Presiden. Masa jabarannya pun sama yakni selama lima tahun, Kepala
Desa yang telah habis masa jabatannya selama lima tahun boleh mencalonkan
kembali sebagai calon Kepala Desa untuk periode kedua. Namun setelah periode
kedua berakhir, tidak bisa mencalonkan lagi karena hanya diberi kesempatan dua
periode tujuannya untuk member kesempatan kepada masyarakat yang lain.
C. Keadaan Sosial Ekonomi di Desa Lebakwangi
Mayoritas
mata pencaharian penduduk Desa Lebakwangi adalah sebagai petani dan buruh tani.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pertama karena sudah turun
temurun sejak dahulu masyarakat lebakwangi bermatapencaharian sebagai petani.
Kedua, karena minimnya tingkat pendidikan masyarakat sehingga masyarakat tidak
memiliki keahlian lain dan tidak punya pilihan lain selain menjadi petani
ataupun buruh tani.
Di
Desa Lebakwangi ada dua macam petani, yaitu petani asli dan petani garap. Petani
asli yaitu petani yang memiliki sawah sendiri dan menggarap sawah tersebut
dikerjakan oleh sendiri, tidak dikerjakan oleh orang lain. Sedangkan untuk
petani garap, yaitu petani yang menggarap sawah milik orang lain atau bukan
milik sendiri. Hal ini terjadi karena orang yang mempunyai sawah tidak begitu
mahir dalam menggarap sawah ataupun karena memiliki pekerjaan lain sehingga
tidak ada waktu untuk menggarap sawah. Pemilik sawah tersebut mencari orang
yang dirasa cukup mahir dalam menggarap menggarap sawahnya agar hasil panennya
lebih baik dan agar sawah miliknya tidak terbengkalai karena tidak ada yang
menggarap.
Pada
tahun1980-an, para petani menggarap sawahnya dengan ditanami padi dan jagung.
Keadaan pertanian di Desa Lebakwangi sangat mengandalkan hujan (tadah hujan),
sehingga jika pada masa penghujan sawah mereka ditanami padi, sedangkan jika
memasuki masa kemarau sawah mereka ditanami jagung dan kacang tanah (palawija).
Dalam
menggarap sawahnya, petani masih menggunakan alat-alat tradisional dalam
menggarap sawah mereka, seperti alat untuk membajak sawah masih menggunakan
tenaga hewan seperti kerbau ataupun sapi. Untuk pupuk masyarakat masih
menggunakan pupuk kandang atau kompos. Pupuk kompos ini sangat diandalkan oleh
petani untuk menyuburkan tanah dan tanaman mereka. Pupuk kandang ini sangat
sederhana, sehingga perkembangan tanaman padi terbilang lambat. Hal ini sangat
mempengaruhi penghasilan para petani. irigasi juga masih sangat minim, karena
sistem irigasi yang kurang baik sehingga pengairan sawah-sawah petani kurang
maksimal.
Masalah
irigasi yang masih sangat minim mengakibatkan hasil tani mereka tidak dapat
maksimal karena masih terbatas dalam penggarapannya. Hasil yang mereka dapat
hanya cukup untuk menggarap kembali sawah mereka dan untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari, bahkan jika petani yang hanya memiliki tanah sawah yang tidak
begitu luas, hasil yang didapat terkadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari karena mereka juga harus mengeluarkan biaya untuk menggarap sawah
mereka selanjutnya. Untuk memenuhi kebutuhan mereka, tidak jarang mereka
bekerja sebagai buruh tani ataupun buruh bangunan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
Masuk
tahun 1990-an Desa Lebakwangi mulai tersentuh dengan adanya kemajuan teknologi,
tidak terkecuali kemajuan teknologi dalam bidang pertanian. Sekarang petani
sudah banyak menggunakan teknologi dalam menggarap sawah mereka dan mulai
meninggalkan alat-alat tradisional, seperti alat untuk membajak sawah yang
dulunya menggunakan tanaga hewan sekarang sudah menggunakan tenaga mesin
(traktor). Dengan menggunakan traktor pekerjaan membajak sawah jauh lebih
efisien dan cepat. Selain itu, dalam penggunaan pupuk yang dulu masyarakat
menggunakan pupuk kandang atau kompos sebagai pupuk andalan, sekarang sudah banyak
yang menggunakan pupuk kimia dari pabrik. Dengan menggunakan pupuk kimia ini
pertumbuhan tanaman padi jadi lebih baik, sehat, dan cepat. Selain itu, juga
ditambah dengan adanya sistem irigasi yang jauh lebih baik sehingga para petani
dapat lebih mudah menggunakan air. Sehingga ketika musim kemarau tiba, petani
masih bisa menggarap sawah mereka walaupun debit air tidak sebanyak pada musim
hujan.
Dengan
masuknya teknologi pertanian di Desa Lebakwangi memberi keuntungan tersendiri
bagi para petani terutama dari hasil sawah-sawah mereka jauh lebih maksimal.
Penghasilan masyarakat Lebakwangi mulai meningkat. Kini hasil dari mereka
bertani cukup untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, bahkan mereka bisa
menyekolahkan anak-anak mereka.
Kesadaran
masyarakat akan pentingnya pendidikan mulai tumbuh dan meningkat karena
didukung oleh faktor ekonomi yang semakin meningkat pula, keadaan sosial
ekonomi masyarakat Lebakwangi semakin tumbuh dan berkembang.
Sedangkan
pekerja buruh yang ada di Desa Lebakwangi sebagian besar menjadi buruh tani dan
buruh bangunan. Buruh tani sendiri bekerja membantu petani dalam mengerjakan
sawah mereka, biasanya tenaga mereka dibutuhkan untuk mencangkuli sawah atau
membersihi tanaman padi dari tanaman-tanaman pengganggu. Masa kerja buruh tani
tidak menentu, mereka bekerja jika ada yang membutuhkan tenaga mereka. Jika
pekerjaan mereka sudah selesai, mereka akan dibayar dan selanjutnya mereka
menganggur sampai ada yang menyuruh mereka untuk bekerja.
Untuk
buruh bangunan sendiri keadaan ekonomi mereka tidak jauh berbeda dengan buruh
tani. Buruh bangunan ini bekerja juga ada orang yang membutuhkan tenaga mereka
dalam hal membangun rumah atau yang lainnya. Jika tidak ada yang menyuruh
mereka, maka mereka pun tidak bekerja dan itu berarti mereka tidak mendapatkan
penghasilan, bahkan ada orang yang bekerja sebagai buruh tani dan buruh
bangunan. Jika ada orang yang menyuruh untuk bekerja di sawah, mereka akan
mengerjakannya. Jika di saat mereka menganggur lalu ada orang yang membutuhkan
tenaga mereka untuk membangun sebuah rumah, mereka juga akan bersedia untuk
bekerja. Hal ini dilakukan untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari karena
upah dari buruh tani dan buruh bangunan cukup rendah. Namun tidak semua buruh
tani bekerja juga sebagai buruh bangunan, hanya orang-orang tertentu saja yang
menguasai dua pekerjaan tersebut.
Seiring
berjalannya waktu kebutuhan untuk mencukupi kehidupan sehari-hari semakin
meningkat, sementara upah sebagai buruh tani dan buruh bangunan di desa sangat
rendah sehingga penduduk Desa Lebakwangi banyak yang melakukan urbanisasi ke
kota-kota besar untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, mereka tergiur dengan
upah kerja di kota yang besar. Harapan mereka dengan bekerja di kota besar
mereka mendapat upah yang besar dan bisa mencukupi kebutuhan mereka. Hal ini didorong
oleh berkembangnya pendidikan pada masyarakat Lebakwangi. Mereka yang telah
lulus sekolah walaupun hanya lulusan SMP ataupun SMA merasa punya bekal cukup
untuk bekerja di kota. Sekarang tidak sedikit dari mereka yang bekerja menjadi
buruh di kota, keadaan ekonominya jauh lebih baik dan bisa mengangkat derajat
hidup mereka di masyarakat dan juga menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang
yang lebih tinggi.
D. Sistem
Agama di Desa Lebakwangi
Secara
keseluruhan masyarakat Lebakwangi beragama Islam. Untuk menunjang kegiatan
keagamaan, sejumlah masjid dan mushola berdiri di setiap dusun sebagai tempat
ibadah umat Islam. Kegiatan agama Islam yang dilakukan masyarakat Lebakwangi
bersifat kegiatan tahunan dan kegiatan rutin.
Halal
bihalal sendiri dilakukan oleh masyarakat Lebakwangi dengan mengadakan halal
bihalal setiap satu tahu sekali setelah Bulan Ramadhan berakhir atau pada Hari
Raya Idul Fitri. Mereka mengadakan Halal bihalal dengan tujuan untuk lebih
mengeratkan tali silaturahmi di antara masyarakat dan demi syiarnya agama
Islam. Setiap kaum masjid atau mushola sangat antusias untuk mengadakan
pengajian Halal bihalal tersebut meskipun harus mengeluarkan biaya yang tidak
sedikit. Biaya untuk mengadakan Halal bihalal diperoleh dari swadaya masyarakat
atau kaum masjid/mushola tersebut. Kegiatan ini sudah mengakar dan menjadi
tradisi masyarakat Lebakwangi sehingga terus berjalan setiap tahunnya.
Adapun
kegiatan rutin yang dilakukan adalah pengajian rutin setiap minggu yang
dilakukan secara bergiliran oleh masyarakat di setiap dusun yang ada di Desa
Lebakwangi. Kegiatan ini sengaja dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan
keimanan dan ketaqwaan kita terhadap Allah SWT.
E.
Perkembangan Kebudayaan Masyarakat
Lebakwangi
Masyarakat
Desa Lebakwangi mulai menyadari bahwa masyarakat dan kebudayaan itu selalu
berubah. Setelah adanya alat komunikasi yang memadai seperti sarana
transportasi, sarana informasi dan teknologi yang semakin sedikit maju sedikit demi
sedikit masyarakat Lebakwangi mengalami pergeseran. Hal ini dapat dilihat pada
cara pengelolaan tanah, pengambilan hasil hutan, dan acara-acara ritual yang
bersifat tradisional.
Pengelolaan
tanah di Desa Lebakwangi dari dulu sampai dibukanya jalur komunikasi dengan
wilayah luar masih menggunakan alat yang sederhana. Pengelolaan tanah masih
sering dihubungkan dengan hal-hal irrasional, misalnya, dalam kegiatan
penanaman padi. Dalam kegiatan penanaman padi masyarakat Lebakwangi masih
menggunakan cara-cara kejawen atau menggunakan kalender Jawa.
Setelah
dibukanya jalur komunikasi dengan wilayah lain, hal-hal semacam itu sedikit
demi sedikit mulai ditinggalkan. Sebagian besar masyarakat Lebakwangi sudah
memiliki televisi, bahkan akses internet juga sudah ada. Sarana informasi yang
sedemikian ini tidak mengherankan kalau perubahan kebudayaan dapat berlangsung.
Masyarakat Lebakwangi yang memnanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) sering
mengalami kesulitan dalam pengambilan hasil hutan seperti penebangan pohon.
Adanya teknologi yang semakin cangggih yang sangat memadai keadaan ini dapat
diatasi, yaitu dengan pergeseran penggunaan alat tradisional (kapak) ke mesin
pemotong (gergaji mesin).
Munculnya
mesin pemotong (gergaji mesin) ini sangat meringankan pekerjaan masyarakat,
sehingga masyarakat dengan mudah dapat menebang pohon dan kegiatan lainnya yang
berhubungan dengan pemotongan kayu.
Perubahan
kebudayaan ini melahirkan pola pikir yang lebih maju pada masyarakat Lebakwangi.
Sekarang masyarakat Lebakwangi mulai menyadari pentingnya pendidikan bagi
setiap anak, sehingga banyak orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya sampai
ke jenjang perguruan tinggi. Dengan demikian, tingkat pendidikan di Desa
Lebakwangi semakin tinggi dan secara tidak langsung perubahan kebudayaan di
Desa Lebakwangi dapat merangsang pola pikir masyarakat menjadi lebih maju.