ANATOMI DRAMA
“Analisis Unsur Intrinsik Naskah RT.
Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang”
ANALISIS NAKAH DRAMA
Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Anatomi Drama
Dosen Pengampu
Aan Sugiantomas, M.Si.
Oleh
AHMAD ASIKIN
NIM 2012011002
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
KUNINGAN
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur
saya
panjatkan kehadirat Allah
Swt,
karena atas ridho-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan analisis unsur
intrinsik drama pada naskah RT. Nol RW.
Nol karya Iwan Simatupang. Penelitian
ini dilakukan untuk memenuhi tugas akhir pada mata kuliah Anatomi Drama, sekaligus merupakan salah satu syarat
untuk bisa mengikuti ujian akhir semester (UAS).
Dalam melakukan penelitian ini, saya mendapat banyak bantuan dari
berbagai pihak baik bersifat moril maupun materil, sehingga penelitian ini
dapat diselesaikan
dengan baik. Dengan kerendahan dan ketulusan hati, saya selaku penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Aan Sugiantomas, M.Si. selaku dosen pengampu yang telah mengenalkan
dan mengajarkan saya tentang ilmu sastra;
2. Bapak
Arip Hidayat, M.Pd. selaku asisten dosen pengampu yang telah mengajarkan
tentang teori dan teknik bermain drama;
3. Bapak
Asep Jejen Jaelani, M.Pd. selaku Kaprodi yang telah membimbing, mengarahkan
serta memberi motivasi kepada saya khususnya dalam melakukan penelitian ini;
4. Bapak
H. Ajat Sudrajat, M.Si. yang selalu memotivasi saya dalam belajar;
5. Ibu
dan Bapak, yang tak henti-hentinya mendoakan saya dalam menempuh pendidikan;
6. Nur
Qoidah, atas segenap perhatian, motivasi, cinta, dan kasih sayangnya selama
ini;
Menyadari
akan kekurangan dan kelemahan saya dalam menyusun penelitian ini, saya sangat
mengharapkan kritik disertai saran yang membangun untuk perbaikan dimasa yang
akan datang, terutama dari
Bapak Aan
Sugiantomas dan Bapak Arip Hidayat.
Semoga
penelitian ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya, dan semoga
kebaikan orang-orang yang telah membantu saya dalam menyusun penelitian ini
mendapatkan pahala dari Allah
Swt.
Aamiin.
Kuningan,
1 Januari 2015
Ahmad
Asikin
DAFTAR
ISI
LEMBAR JILID
1
KATA PENGANTAR
2
DAFTAR
ISI
3
BAB I PENDAHULUAN
4
1.1. Latar Belakang Masalah
4
1.2. Rumusan Masalah
5
1.3. Tujuan Penelitian
5
1.4. Manfaaat Penelitian
6
BAB II LANDASAN TEORI
7
2.1.
Pengertian Sastra
7
2.2.
Bentuk-bentuk Sastra
8
2.3.
Pengertian Drama
10
2.4.
Penggolongan Drama
12
2.5. Unsur-unsur Drama
22
BAB III ANALISIS UNSUR INTRINSIK DRAMA
27
3.1.
Sekilas Tentang Pengarang
27
3.2.
Sinopsis
28
3.3.
Tema
28
3.4.
Tokoh dan Perwatakan
31
3.5.
Alur atau Plot
43
3.6.
Latar atau Setting
51
3.7.
Konflik
59
3.8.
Dialog
64
3.9. Amanat
68
BAB IV SIMPULAN
70
DAFTAR PUSTAKA
72
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sastra merupakan karya seni yang menggunakan bahasa sebagai
medianya, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Akan tetapi bahasa yang
dimaksud bukan bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari, melainkan
bahasa yang mempunyai nilai seni, mempunyai kekhasan, serta mengandung unsur
imajinasi.
Belajar sastra adalah belajar tentang kehidupan, sebab segala
aspek kehidupan dipelajari dalam ilmu sastra. Oleh sebab itu, tidak heran
ketika mempelajari ilmu sastra akan berkaitan dengan cabang ilmu yang lain,
karena pada prinsipnya belajar sastra adalah belajar tentang segala hal.
Karya
sastra lahir karena dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya yang
menaruh perhatian serius terhadap manusia dan kemanusiaan, dan menaruh minat terhadap
dunia realitas yang berlangsung sepanjang waktu (Sugiantomas, 2012: 1).
Sebagaimana
karya seni lainnya, karya sastra adalah wujud ekspresi kegelisahan manusia yang
di dalamnya memuat pokok-pokok pikiran, perasaan, sikap, serta tujuan yang
ingin diungkapkan pengarang sesuai pengalaman imajinasinya (Jaelani, 2009:
1). Ada tiga bentuk karya sastra yang
merupakan wujud ungkapan ekspresi manusia mengenai persoalan hidup dan
kehidupannya, yaitu; puisi, prosa fiksi, dan drama.
Karya
sastra akan tetap ada selama masih ada orang yang mau membaca karya sastra
(penikmat sastra). Misalnya karya sastra jenis drama yang lebih kita kenal
dengan istilah teater. Drama merupakan komposisi syair atau prosa yang
diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (peran)
atau dialog yang dipentaskan (KBBI, 2008: 342). Adanya pementasan drama tidak
semata-mata karena kebetulan, akan tetapi karena adanya apresiator yang mencoba
menganalisis naskah dan kemudian mementaskannya di atas panggung.
Maka
dari itu, sampai kapanpun drama tidak akan pernah punah selama masih ada
penikmat sastra yang melakukan kegiatan membaca naskah drama disertai
kesungguhan yang mendalam, mempertanyakan, memikirkan, merasakan, serta
menganalisisnya. Sehingga akan tumbuh kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan
perasaan yang baik terhadap karya sastra. Tentu saja pada akhirnya akan sampai
pada sebuah apresiasi.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,
maka penulis akan mencoba merumuskan masalah sebagai berikut:
1)
Apa
tema pada naskah drama RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang?
2)
Siapa
tokoh pada naskah drama RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang dan bagaimana
perwatakannya?
3)
Bagaimana
alur/plot pada naskah drama RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang?
4)
Dimana,
kapan, dan bagaimana latar/setting pada naskah drama RT. Nol RW. Nol karya Iwan
Simatupang?
5)
Bagaimana
konflik pada naskah drama RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang?
6)
Bagaimana
dialog pada naskah drama RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang?
7)
Apa
amanat pada naskah drama RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang?
1.3. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, ada beberapa
tujuan yang ingin dicapai oleh penulis, tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Ingin
mengetahui tema pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan
Simatupang.
2)
Ingin
mengetahui tokoh dan perwatakan pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol
karya Iwan Simatupang.
3)
Ingin
mengetahui alur/plot pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan
Simatupang.
4)
Ingin
mengetahui latar/setting pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya
Iwan Simatupang.
5)
Ingin
mengetahui konflik pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan
Simatupang.
6)
Ingin
mengetahui dialog pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan
Simatupang.
7)
Ingin
mengetahui amanat pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan
Simatupang.
1.4. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di
atas, maka penelitian ini diharapkan akan bermanfaat baik secara teoritis
maupun praktis. Adapun manfaat tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Manfaat
Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
mengembangkan pengetahuan dibidang ilmu sastra, khususnya karya sastra jenis
drama. Selain itu diharapkan dapat menambah wawasan mengenai teori, praktik,
serta teknik pementasan drama.
b.
Manfaat
Praktis
1)
Bagi
peneliti, hasil penelitian ini merupakan ajang pembelajaran untuk mempersiapkan
diri dalam menghadapi penyusunan skripsi di masa mendatang.
2)
Bagi
pembaca, hasil penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan tingkat apresiasi
terhadap sebuah karya sastra jenis drama, serta dapat bermanfaat sebagai
referensi baik untuk diajarkan kepada siswa di sekolah maupun sebagai referesi
untuk sebuah pementasan.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.
PENGERTIAN SASTRA
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2008: 1230) arti kata sastra adalah karya tulis yang jika
dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti
keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya. Karya sastra
berarti karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan
bahasa yang indah.
Sastra dapat memberikan
kesenangan atau kenikmatan kepada pembacanya. Seringkali dengan membaca sastra
muncul ketegangan-ketegangan (suspense). Dalam ketegangan itulah diperoleh
kenikmatan estetis yang aktif. Berbagai segi kehidupan dapat diungkapkan dalam
karya sastra.
Secara etimologi kata sastra berasal dari bahasa
Sansekerta, dibentuk dari akar kata sas
dan -tra. Sas mempunyai arti ‘mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk’; sedangkan
-tra mempunyai arti ‘alat, atau
sarana’. Karena itu, kata sastra dapat berarti ‘alat untuk mengerjakan atau
buku petunjuk’. Dengan arti ini, dalam bahasa Sansekerta dapat dijumpai istilah
Silpasatra yang berarti ‘buku arsitektur’, dan Kamasastra yang berarti ‘buku
petunjuk seni bercinta’. (Sugianto Mas, 2012:7).
Secara harfiah kata sastra berarti ‘huruf, tulisan, atau karagan’. Lalu karena karangan
atau tulisan biasanya berwujud buku , maka sastra
berarti juga ‘buku’. Itulah sebabnya, dalam pengertian kesusatraan lama,
istilah sastra berarti buku, baik
yang berisi tentang dongeng, pelajaran agama, sejarah, maupun peraturan dan
undang-undang.
Dalam perkembangan selanjutnya, kata sastra mendapat imbuhan su, yang dalam bahasa jawa berarti ‘baik
atau indah’. Dengan demikian, pengertiannya berkembang juga menjadi ’buku yang
baik dan indah’, dalam arti baik isinya dan indah bahasanya. Kata susastra itu pun berkembang juga dan
mendapat imbuhan gabungan (konfiks) ke-an,
sehingga menjadi kesusastraan yang
berarti ‘hal atau tentang buku-buku yang baik isinya dan indah bahasanya’.
Sastra
bukanlah seni bahasa belaka, melainkan suatu kecakapan dalam menggunakan bahasa
yang berbentuk dan bernilai sastra. Berkaitan dengan maksud tersebut, sastra
selalu bersinggungan dengan pengalaman manusia yang lebih luas, selalu
melibatkan pikiran pada kehidupan sosial, moral, psikologi, dan agama.
Menurut
Wellek dan Warren (1989: 3) sastra adalah sebuah karya seni yang memiliki
ciri-ciri; sebuah kreasi, luapan emosi yang spontan, bersifat otonom, otonomi
sastra bersifat koheren (ada keselarasan bentuk dan isi), menghadirkan sintesis
terhadap hal-hal yang bertentangan, mengungkapkan sesuatu yang tidak
terungkapkan dengan bahasa sehari-hari.
Karya
sastra lahir karena dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya yang
menaruh perhatian serius terhadap manusia dan kemanusiaan, dan menaruh minat terhadap
dunia realitas yang berlangsung sepanjang waktu (Sugiantomas, 2012: 1).
Menurut
Supradjarto (1991: 1) suatu karya sastra ada dua kemungkinan, yakni: karya
imajinatif dan karya informatif. Karya imajinatif berarti karya tersebut
berdasarkan imajinasi penulisnya atau berdasarkan citra penulisnya semata-mata.
Walaupun isinya tidak benar-benar terjadi tetapi masuk akal. Sedangkan karya
informatif yaitu karya sastra seperti halnya karya imajinatif tetapi
penulisannya berdasarkan suatu kejadian besar seolah-olah menjadi insfirasinya.
Sementara Wellek dan Warren (1989: 14) menerangkan bahwa istilah “sastra”
paling tepat diterapkan pada seni sastra, yaitu sebagai karya imajinatif.
Melalui
karya sastra kita dapat melihat gambaran atau rekaman pikiran, pandangan,
persoalan pengarang secara utuh terhadap masalah kehidupan manusia yang
diungkapkan dalam karyanya. Penggambaran tersebut diungkapkan melalui bahasa
lisan maupun bahasa tulis. Bahasa yang dicurahkan dalam sastra baik secara
lisan maupun tulisan tentunya berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari
sebagai alat komunikasi, karena bahasa sastra mempunyai berbagai keunggulan
seperti keaslian, keartistikan, keindahan baik isi maupun bentuk ungkapannya
(Jaelani, 2009: 8)
Karya
sastra mengalir dari kenyataan-kenyataan hidup yang terdapat didalam
masyarakat. Akan tetapi karya sastra bukan hanya mengungkapkan kenyataan
objektif itu saja, melainkan juga mencuatkan pandangan, tafsiran, sikap, dan
nilai-nilai kehidupan berdasarkan daya kreasi dan imajinasi pengarangnya, serta
kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sastra adalah sebuah
karya imajinatif dari hasil pemikiran manusia yang disampaikan secara khas, mengandung
pesan yang bersifat relatif, mengandung nilai-nilai kebaikan yang dituangkan ke
dalam bahasa lisan maupun bahasa tulis.
2.2.
BENTUK-BENTUK SASTRA
Bentuk
sastra berarti cara dan gaya dalam penyusunan dan pengaturan bagian-bagian
karangan; pola struktural karya sastra ke dalamnya dapat digolongkan tiga
bentuk, yaitu puisi, prosa fiksi, dan drama,
Panuti Sujiman (dalam Sugiantomas, 2012: 12). Sejalan dengan pendapat
terebut, Jaelani (2009: 1) mengungkapkan ada tiga bentuk karya sastra yang
merupakan wujud ungkapan ekspresi manusia mengenai persoalan hidup dan
kehidupannya, yaitu puisi, prosa fiksi, dan drama.
a.
Puisi
Puisi adalah
salah satu bentuk karya sastra menggunakan bahasa yang relatif lebih padat
dibandingkan dengan bentuk prosa. Pilihan kata atau diksi diperhitungkan dari
berbagai segi; makna, nilai imajinasi, irama, rima, dan amanatnya. Oleh karena
itu, kata-kata dalam puisi tidak semata-mata berfungsi sebagai alat penyampai
gagasan, melainkan berfungsi pula sebagai bahan.
b.
Prosa
Fiksi
Prosa fiksi atau
cerita rekaan adalah sebuah karangan bebas yang dimuati imajinasi di dalamnya,
mengandung nilai-nilai kehidupan, serta menggunakan bahasa yang khas. Seperti
yang pernah diungkapkan oleh Sudjiman (dalam Sugiantomas, 2013: 60) prosa fiksi
atau cerkan adalah cerita yang mempunyai tokoh, dan alur yang dihasilkan oleh
daya khayal atau imajinasi, dalam ragam prosa. Puisi diciptakan dalam suasana
perasaan yang intens yang menuntut pengucapan jiwa yang spontan dan padat.
Dalam puisi, aku lirik berbicara tentang jiwanya sendiri artinya mengungkapkan
dirinya sendiri. (Waluyo, 1987: 2)
c.
Drama
Drama adalah adalah
komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui
tingkah laku (akting) atau dialog yang dipentaskan (KBBI, 2008: 342). Drama
merupakan salah satu bentuk karya sastra, yang berwujud susunan dialog dari
para tokohnya. Unsur yang terdapat dalam drama pun tidak berbeda jauh dengan
prosa fiksi, yakni terdapat tema, alur/plot, tokoh dan perwatakan, ketegangan,
latar atau setting, gaya, dan amanat. Namun sebuah naskah drama rasa belum
lengkap atau belum utuh apabila belum dipentaskan dalam sebuah seni
pertunjukkan.
Dari
penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa bentuk sastra adalah bentuk atau
gaya dalam menyusun sebuah karangan yang diklasifikasikan menjadi tiga bentuk,
yakni; puisi, prosa fiksi, dan drama.
2.3.
PENGERTIAN DRAMA
Kata drama berasala
dari Yunani ‘draomai’ yang berarti
‘berbuat’ ‘berlaku’, atau ‘suatu perbuatan’. Kata itu muncul saat orang-orang
Yunani masih mempunyai kepercayaan terhadap dewa-dewa.mereka mempercayai bahwa
dewa paling atas adalah Dewa Zeus dan Dewa Dyonesos adalah dewa pengrusak atau
penghancur.
Apabila pada saat musim
hujan, tanaman subur, dan binatang berkembang biak dengan baik, dipercayai
bahwa pada saat itu Dewi Apolo sedang
turun ke bumi. Sebaliknya apabila musim kering tiba, tanah gersang, tanaman
mati, dan binatang tidak berkembang biak, maka itu pertanda Dewa Dyonesos
sedang turun ke bumi.
Berdasarkan kepercayaan
pada peristiwa alam tersebut, maka orang-orang Yunani memerlukan
upacara-upacara ritusl dengan maksud mengajukan persembahan kepada dewa mereka.
Pada saat subur mereka menyelenggarakan upacara persembahan rasa terima kasih
pada Dewi Apolo berupa tarian-tarian yang berupa peniruan gerak dari
binatang-binatang. Mereka bergembira suka ria. Mereka ‘kosmos’ (gembira). Kosmos
itu sendiri akhirya menjadi kata ‘komedi’. Sedangkan pada saat-saat menderita
sewaktu menghadapi gejala alam yang kering kerontang, hujan tidak turun,
tanaman mati, dan binatang tidak berkembang biak, mereka pun menyelenggarakan
upacara persembahan pada Dewa Dyonesos. Upacara ritual yang mereka lakukan
adalah mempersembahkan korban seekor ‘tragos’ atau kambing yang disembelih.
Menurut kepercayaan mereka suara menegembiknya ‘tragos’ saat disembelih
mewakili jeritan rakyat seluruh Yunani yang mengadakan permintaan pengampunan
kepada Dewa Dyonesos. Jerit kambing yang disembelih disebut ‘tragodia’, yang
lantas sekarang berkembang menjadi kata tragis. Peristiwanya dikenal sebagai
kata yang sekarang menjadi istilah dalam drama, yaitu ‘tragedi’.
Semua upacara ritual
itu, terutama upacara kosmos, mereka ‘draomai’ atau ‘berlaku’, ‘berbuat’, atau
melakukan 'suatu perbuatan’ menirukan gerak-gerak binatang lengkap dengan
kostum kulit binatang yang mereka pakai. Oleh sebab itu istilah ‘perbuatan
menirukan sesuatu’ selanjutnya berkembang menjadi kata drama.
Panuti Sudjiman dalam
‘kamus Istilah Sastra’ menjelaskan bahwa drama adalah karya sastra yang
bertujuan menggambarkan kehidupan dengan mengemukakan tikaian dan emosi lewat
lakuan dan dialog. Lazimnya dirancang untuk pementasan panggung, Panuti
Sudjiman (dalam Sugiantomas 2013: 74). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) dijelaskan bahwa drama adalah komposisi syair atau prosa yang diharapkan
dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (akting) atau dialog
yang dipentaskan.
Hasanuddin
menjelaskan pengertian terhadap drama sebaiknya memang dengan menempatkan
kesadaran bahwa drama adalah karya yang memiliki dua dimensi karakteristik; yaitu
sebagai dimensi sastra dan sebagai dimensi seni pertunjukkan. Pemahaman
terhadap pada masing-masing dimensi wajar jika berbeda karena unsur-unsur yang
membentuk drama pada masing-masing memang berbeda. Meskipun berbeda, pemahaman
drama pada satu dimensi akan memberikan bantuan bagi pemahaman dimensi lainnya.
Pada akhirnya, pemahaman itu akan mengeras pada pemahaman yang menyeluruh
terhadap drama sebagai karya dua dimensi tersebut (Hasanuddin, 2009: 4).
Pengertian lainnya
dijelaskan pula bahwa drama adalah cerita atau kisah, terutama konflik atau
emosi, yang khusus disusun untuk pertunjukan, Depdikbud (dalam Sugiantomas, 2013:
74). Sementara Brahim menyimpulkan drama adalah pertunjukan dan adanya lakon
yang dibawakan dalam pertunjukan itu, Brahim (dalam Sugiantomas 2013: 74).
Dari beberapa
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian drama adalah sebagai
berikut:
1) Berupa
karya sastra yang berbentuk cerita atau lakon bergaya prosa atau puisi yang
disajikan dalam dialog;
2) Merupakan
cerita atau lakon yang mengandung konflik yang disusun untuk pertunjukan.
Drama dapat dikelompokan pada bentuk karya sastra
dan juga bukan karya sastra.
1) Sebagai
karya sastra, drama disebut sebagai bentuk cerita atau lakon yang disusun dalam
bentuk dialog baik bergaya puisi atau prosa yang mengandung pertentangan dramatik
untuk dipentaskan diatas panggung.
2) Sebagai
karya pentas atau panggung, drama mempunyai pengertian suatu pertnjukan yang
menggunakan lakon sebagai titik tolak, dengan mengutamakan media gerak dan
suara untuk disajikan diatas panggung oleh sekelompo orang untuk ditonton.
Jadi, pengertian drama
dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda, yaitu sebagai karya sastra, dan
sebagai karya pentas. Perbedaan keduanya sebagai berikut.
KARYA SASTRA KARYA
PENTAS
a.
Merupakan bacaan Merupakan
pertunjukan
b.
Milik pribadi Milik
Kolektif
c.
Memerlukan pembaca Memerlukan
penonton
d.
Perlu penggarapan Siap disajikan
Berdasarkan keterangan
tersebut, maka yang termasuk dalam ruang lingkup dunia kesusastraan khususnya
adalah drama sebagai karya sastra. Artinya,b‘naskah drama’. Tidak mungkin
dipungkiri bahwa naskah drama medianya adalah bahasa tulis. Meski demikian,
karena naskah drama biasanya dibuat untuk keperluan sebuah pementasan, maka
naskah drama terasa sebagai karya yang belum tuntas. Karya sastra yang perlu
penggarapan kesenian tersebut. Jadi, apa salahnya ruang lingkup kesusastraan
tidak usah membatasi diri melulu pada naskahnya, tapi juga mempelajari bentuk
hakikinya yaitu pementasan.
2.4.
PENGGOLONGAN DRAMA
Drama dapat digolongkan
menjadi beberapa jenis. Penggolongan drama biasanya tidak mempersoalkan drama
sebagai naskah atau sebagai petunjukan (Sugiantomas, 2013: 77). Drama dapat
digolongkan berdasarkan kurun waktu, gaya ungkap, dan isinya.
1.
Penggolongan
Berdasarkan Kurun Waktu
Berdasarkan kurun waktu drama
terbagi pada drama tradisional dan drama modern.
1)
Drama
Tradisional
Drama tradisional
adalah salah satu bentuk kesenian yang berakar dan bersumber dari tradisi
masyarakat lingkungan. Ciri utama pada drama tradisional ini adalah
‘improvisasi’ yaitu drama pertunjukan yang tidak bersandar pada naskah. Dialog
dilontarkan oleh pemeran secara spontan, tanpa persiapan matang. Cara
penyajiannya tidak hanya dialog, tetapi dilakukan dengan menari, menyanyi, dan
diiringi oleh tabuhan. Drama tradisonal
ini terbagi lagi menjadi drama rakyat, drama klasik, dan drama transisi.
a.
Drama atau Teater Rakyat
Drama rakyat adalah drama tradisional yang
berkembang disetiap kelompok suku bangsa. Secara bentuk penyampaiannya, ada
yang disajikan dalam bentuk tutur atau lisan oleh seorang pencerita atau
penyanyi yang membawakan cerita. Ada juga yang disajikan sudah dalam
pertunjukan drama pada umumnya, yaitu melalui gerak tubuh aktor yang memerankan
tokoh cerita. Berikut yang termasuk drama rakyat tutur dan drama rakyat yang
bukan tutur.
1.
Drama atau Teater Tutur
Drama
tutur adalah jenis drama yang bertolak dari satra lisan yang
dituturkan dan belum dipergerakan secara lengkap. Dituturkan dalam pengertian
yang luas dan sering dilakukan dengan menyanyi serta diiringi oleh tabuhan.
Berikut
contoh-contoh drama tutur yang hidup di Indonesia:
v Kentrung (Jawa
Timur)
Kentrung adalah
bentuk drama yang berupa cerita yang disampaikan secara lisan oleh dalang
kentrung.
v Pantun Sunda
Sesuai dengan
arti kata pantun yaitu ‘padi’, pada awalnya pantun sunda dihubungkan dengan
pemujaan terhadap Dewi Padi yaitu Nyi Pohaci, Kersa Nyai, atau Pohaci Sang
Hiang Sri. Cerita pantun kebanyakan memaparkan kerajaan-kerajaan sunda lama
seperti Galuh dan Pajajaran.
v Dalang Jemblung
Drama tutur ini
sesungguhnya bersumber dari pertunjukan wayang kulit biasa, tetapi tuturan
dialog, gamelan, dan lain-lainnnya disuarakan oleh ujaran yang dilakukan oleh
seorang atau beberapa dalang. Tradisi pertunjukan ini berasal dari ‘nguyen’
yaitu berjaga malam suntuk menunggu kelahiran bayi sambil mendengar
‘macapatan’. Isi cerita dipaparkan dalam bentuk puisi Jawa.
v Cepung (Lombok)
Cepung berawalan
dari tiruan bunyi alat musik yang diujarkan ‘cek... cek... cek... pung’. Cepung
pada awalnya adalah seni membaca kitab lontar yang diiringi instrumen suling
dan beberapa peniruan bunyi oleh alat musik ujaran. Pemain cepung
sedikitnya 6 orang pemusik dan penyanyi
serta seorang pembaca lontar. Bahasa yang digunakan adalah bahasa sasak dengan
penjelasan gerak tari, mimik wajah, dan lawakan.
v Sinrili (Sulawesi
selatan)
Sinrili
merupakan pertunjukan cerita tutur oleh seorang pasinrili yang diiringi musik
keso-kesoatau rebab. Pertunjukan dilakukan di anjungan rumah atau halaman pada
acara tertentu seperti syukuran, pesta panen, membangun rumah, dan sebagainya. Cerita
dinyanyikan dalam bentuk nyanyian yang diiringi keso-keso, dan tidak lepas dari
rasa humor.
v Babaka
(Minangkabau)
Babaka
dituturkan oleh tukang cerita sekurang-kurangnya dua orang yang bercerita liris
dengan dilagukan, serta diiringi instrumen rebab, kecapi, dan rebana.
Pertunjukan biasanya dilaksanakan apabila salah satu anggota keluarga
melangsungkan perkawinan atau menempati rumah baru,panen dan sebagainya.
v Wayang Beber
Wayang beber
berbentuk lukisan diatas kertas tentang wayang yang bergambar seperti wayang
kulit purwa. Lukisan wayang terdiri dari enam gulung berisi empat adegan.
Sambil membeberkan lukisan itu, dalang bernarasi sambil diiringi seperangkat
gamelan, rebab, kendang, kenong, gong, dan lain-lain yang dipukul beberapa
pemusik. Pertunjukan ini turun temurun, artinya tidak bisa diturunkan atau
diajarkan pada orang lain selain keluarga. Biasanya pertunjukan untuk upacara
ruwatan dan nadar saja.
2.
Drama Rakyat yang Sudah Dipergerakan
Drama atau teater yang
lain muncul tidak hanya dengan tutur tetapi sudah lengkap dengan peragaan oleh
para aktor yang memeran tokoh-tokoh cerita. Seperti juga drama tutur drama
jenis ini dilengkapi dengan musik tradisional, tari-tarian, lagu, dan akrab
dengan penontonnya. Humor atau banyolan selalu spaontan muncul sebagai dialog
segar dari para aktor yang kadang bisa dijawab oleh para penontonnya. Termasuk
ke dalam drama jenis ini adalah:
v Ubrug (Jawa Barat)
Drama rakyat jenis ini
biasanya dilaksanakan dalam hajatan. Dipentaskan di ruang terbuka seperti
halaman rumah atau tanah lapang, dengan penerangan obor atau petromaks yang
disimpan di tengah arena pentas.
v Topeng Banjet (Jawa Barat)
Topeng Banjet adalah
drama rakyat yang muncul di daerah Karawang, Bekasi, Cisalak Bogor dan
sekitarnya. Sedangkan di wilayah Priangan drama jenis ini sering disebut
sebagai banjet saja. Meski namanya Topeng Banjet. Tapi akhir-akhir ini pemeran
tidak lagi menggunakan topeng sewaktu berperan. Alat musik yang di pakai adalah
rebab leher panjang dan gamelan. Cerita yang disajikan biasanya ‘Si jantuk’ dan
‘Sarkawi’.
v Lengser (Jawa Barat)
Longser drama rakyat
yang sering muncul di wilayah priangan seperti Subang, Bandung, dan sekitarnya.
Perbedaanya terdapat pada jenis-jenis tarian yang sering memasukkan silat dan
ketuk tilu, serta adanya sinden atau juru kawih. Gamelan yang dipakai adalah
salendro dengan 12 nayaga.
v Sintren (Jawa Barat)
Sintren adalah drama
rakyat yang sering muncul di daerah Cirebon dan sekitarnya. Drama jenis ini
mengandung sifat magis, yaitu dengan adanya kerasukan (trance) yang dialami
oleh penari sintrennya. Penari sintren memakai kacamata hitam yang dimaksudkan
untuk menutup biji matanya yang mendelik sewaktu kerasukan. Drama jenis ini
dipimpin oleh seorang dukun yang disebut ‘punduh’, dia menyediakan dupa,
kurungan ayam, dan kain putih untuk oenutup sintren, sehelai tikar untuk
membungkus sintren yang telah diikat tali. Iringan musik menggunakan tabuhan
kendang, gong, kecrek, dan ruas bambu atau buyung.
v Manorek (Jawa Barat)
Manoreh adalah drama
rakyat yang muncul diwilayah Ciamis Selatan. Drama jenis ini semula adalah
media dakwah, tetapi sekarang lebih berfungsi sebagai tontonan dalam hajatan
saja.
v Ronggeng Gunung (Jawa Barat)
Ronggeng gunung muncul
di daerah Ciamis Selatan. Sesungguhnya bentuk kesenian ini cenderung tarian
biasa anatara ronggeng dan sejumlah penonton. Unsur drama hanya nampak pada
lirik-lirik lagu yang dinyanyikan pesinden menjelang ronggeng menari.
v Topeng Blandek (Jawa Barat)
Bojong Gede, Pondok
Rajeg, Citayem, Ciseeng. Blandek artinya “campur aduk” atau “tidak karuan”
cerita yang dimainkan biasanya pendek dan bernafaskan islam. Pada saat
pergantian babak sering diperdengarkan lagu-lagu dzikir berbahsa arab atau
lagu-lagu berbahasa betawi. Musik terdiri dari rebab, kecrek, kromong, kenong
dan gong.
v Srandul (Jogja)
Srandul pertama
diciptakan oleh seorang bangsawan Yogyakarta pecinta kesenian rakyat, yaitu
yudanegara III, drama jenis ini memainkan jenis cerita dengan iringan musik
bende, rebana, kendang dan angklung. Pertnjukan bersipat hiburan dengan dialog
prosa dan puisi dengan menggunakan bahasa Jawa dan Arab.
v Ande-ande Lumut
Ande-ande lumut adalah
drama rakyat yang dilaksanakan semalam suntuk dengan penari anatara 20 sampai
40 orang. Gaya tarian mirip wayang orang surakarta dan jogjakarta. Semula pemerannya
semua laki-laki. Cerita yang dimainkan adalah “ande-ande lumut”.
v Dadunggawuk
Dadungdawak adalah
darama rakyat yang diperankan semua oleh-laki-laki. Pertunjukan di laksanakan
di halaman rumah atau pendopo pada malam hari. Dialog dilakukan dengan prosa
dan tembang. Iringan musik menggunakan terbang, angklung dan kendang. Cerita
biasanya tentang dadunggawak sebagai prajurit yang terbunuh oleh jaka tingkir
dalam perebutan kesempatan mengabdi pada raja demak.
v Ketoprak
Ketoprak adalah drama
rakyat yang amat populer di Jawa Tengah khususnya di Yogyakarta. Pada awalnya
ketoprak bukan sebuah tontonan, tapi hanya merupakan permainan orang-orang desa
menabuh lesung secara berirama pada bulan purnama. Lantas ditambah nyanyian.
v Ludruk
Ludruk adalah drama
rakyat Jawa Timur. Diperankan oleh lelaki semua. Isi cerita adalah segala yang
berhubungan dengan lingkungan yang disajikan dalam dialog segar penuh humor.
Diiringi dengan musik gamelan lengkap, disertai nyanyian dan tarian.
v Makyong (Riau)
Makyong adalah drama
rakyat Melayu yang masih hidup di Malysia, Singapura, bahkan Muangthai. Drama
ini dipertunjukan ditempat terbuka untuk keperluan hajatan. Semua pemeran
menggunakan topeng dan sebagian wanita. Iringan musik yang dipakai menggunakan
kendang, serunai, rebab, gong, mong-mong (goong kecil) masing-masing satu buah.
v Lenong
Lenong adalah drama
rakyat dari daerah Betawi. Berbahasa Betawi kental yang segar, penuh humor, dan
saling ledek. Drama jenis ini telah menggunakan panggung, dekorasi, dan
properti yaitu satu meja dan satu buah kursi. Diiringi musik gambang kromong,
terbang, suling, dan lain-lain.
b.
Drama atau Teater Klasik
Drama atau Teater klasik adalah
drama pertunjukan yang telah mapan. Drama jenis ini lahir dipusat-pusat
kerajaan atau kraton dan masih terpelihara dengan baik sampai saat ini. Masuk
kedalam jenis drama ini antara lain Wayang Orang, Wayang Kulit, dan Wayang
Golek.
1.
Wayang Orang
Wayang orang adalah
jenis drama klasik yang muncul di kraton Yogyakarta pada pertengahan abad 18.
Pertunjukan dilaksanakan dengan serius oleh para pemeran yang masing-masing
memerankan tokoh wayang. Para pemeran harus pandai menari dan menyanyi.
Pertunjukan sudah menggunakan panggung
dengan set dekorasi lengkap bergambar realis hutan, alun-alun, gerbang
keraton, jalan desa, pertapaan, dan lain-lain.
2.
Wayang
Kulit
Wayang Kulit adalah
drama klasik yang tidak menggunakan orang sebagai medianya, tetapi menggunakan
bentuk wayang dari kulit tipis yang dilukis cermat dengan warna-warni yang
menjelaskan karakter. Wayang Kulit akan digerakan oleh seorang dalang yang
bercerita dan berdialog sekaligus. Untuk
dialog dalang mampu mengubah suara sesuai dengan tokoh wayang yang dimainkan.
3.
Wayang
Golek
Wayang Golek adalah
drama klasik Jawa Barat yang juga tidak menggunakan orang sebagai medianya,
tetapi menggunakan media kayu berwujud tokoh wayang. Sama seperti wayang kulit,
wayang golek pun dimainkan oleh dalang yang akan sekaligus berdialog mewakili
para tokoh wayang. Untuk berdialog dalang mampu mengubah suaranya sedemikian
rupa sehingga menarik. Jenis drama ini
pun menggunakan musik gamelan lengkap sebagai pengiringnya, dan dibantu
beberapa sinden sebagai penyanyi yang
isi suaranya memoerjelas cerita.
c.
Drama Transisi
Jenis drama atau teater taransisi
sesungguhnya juga bersumber pada drama tradisional pada umumnya, tetapi gaya
penyajiannya sudah dipengaruhi oleh teater barat. Drama jenis ini dapat dilihat
pada zaman ‘Teater Bangsawan’, yang sering juga dimainkan ‘Komidi Tanbul’, dan ‘Sandiwara Dardanella’. Drama jenis ini
populer disebut sandiwara. Untuk zaman sekarang terkenal di Surabaya dengan
nama ‘Srimulat’, sedangkan di Jawa Barat
‘Sandiwara Sunda’. Drama jenis ini menggunakan penggung dan tata dekor, lampu,
rias, dan lain-lain sebagai layaknya drama modern, tapi belum menggunakan
naskah drama. Isi cerita seputar kehidupan sehar-hari yang disajikan dalam
bentuk banyolan segar. Musik pengiring pun sudah modern sehingga sering
menggunakan efek bunyi dari kaset.
2)
Drama
Modern
Istilah ‘Modern’ hanya untuk
menyatakan bahwa bukan tradisional. Drama ini selalu bersandar pada naskah
drama, dan diikat oleh hukum-hukum dramaturgi. Struktur dan pengolahannya
dipengaruhi sekali oleh ‘Teater Barat’ artinya, susunan naskah, cara pentas,
gaya penyuguhan dan pola pemikiran,
banyak bersumber dari pola pendekatan dan pemikiran ‘kebudayaan barat’.
Cerita atau lakon yang dipentaskan,
selalu karya pengarang sastra atau dramawan yang mencoba mencipta cerita baru,
bahkan dengan aliran baru. Gaya penyajian bervariasi sesuai dengan perkembangan
kreativitas para sutradara. Bahkan akhir-akhir ini muncul drama-drama
‘kontemporer’ atau ‘masa kini’ yang berangkat dari eksperimen para kreator
drama. Lebih dari itu, kemodernan memungkinkan pertunjukan drama yang bernama
film, dan sinetron.
Adapun ciri-ciri bentuk drama atau
teater modern ini secara garis besar dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Bersandar
pada naskah drama atau skenario.
b. Pertunjukan
dilakukan ditempat khusus, yaitu panggung yang memisahkan antara pemeran dan
penonton. Diatas panggung tersebut telah dipasang layar yang dapat diangkat
atau diturunkan sebagai tanda pertunjukan dimulai atau selesai.
c. Penonton
harus membayar.
d. Penyelenggaraan
benar-benar untuk pertunjukan itu sendiri. Tidak ada orang yang
menyelenggarakan drama untuk kebutuhan lain seperti upacara, hajatan, dan
lain-lain.
e. Pertunjukan
merupakan karya seni kolektif, antara perangkat administratif dan perangkat
artistik, dan berupa cuatan ide baru yang dipertanggungjawabkan.
f. Meski
ada juga yang mengambil cerita masa lampau, tetapi kebanyakan dari drama modern
memuat unsur cerita yang erat kaitannya dengan peristiwa sejaman.
g. Ungkapan
pertunjukan telah menggunakan peralatan modern, seperti peralatan musik modern,
lampu, sound sistem, dan lain-lain. Bahkan belakangan timbul mengunakan rekaman
yang hasilnya berupa film layar lebar, vidio, atau kaset. Untuk jenis yang
terakhir bisa diapresiasi oleh penikmat di rumah masing-masing lewat televisi
atau radio.
Berdasarkan uraian
diatas, maka drama modern dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu drama
konvensional dan drama nonkonvensional atau kontemporer.
a.
Drama
Modern Konvensional
Drama modern
konvensional adalah drama yang bertolak dari lakon drama yang disajikan secara
konvensional. cerita bersandar pada naskah drama yang biasanya realis, dan
disajikan dalam gaya pengungkapan pentas yang realis pula.
b.
Drama
Modern Nonkonvensional (Kontemporer)
Drama modern
kontemporer adalah drama yang mendobrak konvensi-konvensi lama, dan penuh
dengan pembaruan gagasan, penyajian, dan penggabungan konsep barat-timur.
Cerita yang disajikan biasanya absurd.
Untuk penggolongan
berdasarkan kurun waktu ini ada beberapa pengkaji, seperti Jakob Sumarjo
misalnya, hanya mengolongkan pada dua jenis yaitu drama tradisional dan drama
modern, jadi, drama tradisi dianggap masuk pada drama modern. Hal itu jangan
dipersoalkan terlalu tajam, sebab hanya berupa penamaan golongan yang hakiki
karyanya tetap tidak dihilangkan.
2.
Penggolongan
Berdasarkan Isinya
Dengan berdasarkan pada isi cerita
yang disajikan dalam bentuk drama, dapat ditemukan beberapa jenis drama
seperti, tragedi, komedi, tragikomedi, melodrama, dan dagelan.
1)
Tragedi
Drama tragedi disebut juga drama
duka, yaitu drama yang menampilkan tokoh yang sedih dan muram yang terlibat
dalam situasi gawat, karena sesuatu yang tak menguntungkan, misalnya cemburu,
atau ambisi yang keterlaluan. Atau drama serius yang melukiskan tikaian
diantara tokoh utama dan kekuatan yang luar biasa serta berakhir dengan
malapetaka atau kesedihan.
2)
Komedi
Drama komedi disebut juga sebagai
drama ria, yaitu drama yang ceritanya ringan dan bersifat menghibur, terdapat
seloroh yang bisa saja menyindir, serta berakhir dengan bahagia. Cerita
merupakan kejadian-kejadian yang mungkin terjadi dan seakan-akan terjadi, serta
disajkan dalam suatu tendensi yang ringan dan cerah.
3)
Tragedi-Komedi
atau Tragikomedi
Drama tragikomedi disebut juga
sebagai drama dukaria, yaitu drama yang menampilkan alur yang sesungguhnya
lebih cocok untuk drama tragedi, tetapi berakhir bahagia seperti layaknya drama
komedi. Hal tersebut biasanya dikarenakan munculnya ‘Deus Ex Machina’ untuk
membantu memecahkan persoalan.
4)
Melodrama
Melodrama adalah drama yang
menyajikan lakon atau cerita yang sangat sentimental, dengan adegan-adegan yang
mengharu biru, mendebarkan. Karena penggambaran alurdan adegan yang berlebihan
dipentingkan, maka penokohan dan penggambaran karakter menjadi kurang
diperhatikan. Istilah ini sering salah kaprah dipakai oleh televisi dengan
menyebut film ‘drama’ untuk film melodrama.
5)
Dagelan
Dagelam adalah drama yang khusus
disajikan untuk menghibur. Dibanding komedi, kelucuan yang dimunculkan agak
berlebihan sehingga unsur teatrikal tidak lagi dipentingkan, cerita bukan hal
yang dianggap harus menarik, demikian juga dengan tokoh dan menggambarkan
karakternya. Dagelan hanya menyajikan kekonyolan tokoh dan bencana yang menimpa
tokoh tersebut.
3.
Penggolongan
Berdasarkan Gaya Ungkap
Penggolongan berdasarkan gaya
ungkapnya dapat dibagi tiga yaitu gaya ungkap bahasanya, gaya ungkap media
perannya, dan gaya ungkap pementasannya.
1)
Gaya
Ungkap Bahasa
a.
Drama
Puisi
Yaitu drama yang cerita
atau lakonnnya sebagian besar disusun dalam dialog berbentuk puisi, atau
mengandung kaidah-kaidah puisi. Dalam drama jenis ini akan ditemui dialog yang
sama sekali jauh dari prcakapan sehari-hari.
b.
Drama
Prosa
Yaitu drama yang cerita
atau lakonnya sebagian atau selurunya disusun dalam dialog berbentuk prosa.
Tidak ada yang ganjil dalam drama jenis ini sebab dialog seperti bahasa
percakapan sehari-hari.
c.
Drama
Prosa-Puisi
Yaitu drama yang cerita atau lakonnya
disusun dalam campuran prosa dan puisi. Biasanya gaya prosa mendominasi dialog,
tetapi dibagiantertentu yang dianggap penting untuk menggambarkan suasana
tertentu dipakai gaya puisi.
2)
Gaya
Ungkap Media Perannya
a.
Drama
Boneka
Yaitu drama yang dioerankan bukan
oleh manusia tetapi oleh boneka. Nampak disini boneka sebagai media pengganti
manusia, yang sesungguhnya masih digerakkan manusia, mampu menggambarkan
seluruh cerita dengan baik. Mengeai jenis ini telah dikenal ‘wayang golek’, ‘wayang
kulit’, drama boneka si unyil’, dan lain-lain.
b.
Drama
Manusia
Yaitu drama yang diperankan oleh
manusia. Tidak ada hal asing dalam jenis drama ini sebab telah tercakup pada
penjelasan drama sebelumya.
3)
Gaya
Ungkap Media Perannya
a.
Drama
Drama biasa yang
pementasannya dilaksanakan dipanggung atau arena, baik menggunakan naskah drama
atau tidak. Jenis ini termasuk yang banyak dibicarakan sebelumnya.
b.
Pantomim
Yaitu drama yang sama sekali tidak
menggunakan dialog. Keterangan babak, adegan, atau apa saja kadang diberikan
dalam bentuk tulisan yang diperhatiakn pleh pemerannya.tokoh diperankan oleh
aktor yang menonjolkan gerak tubuh sebagai medianya, tanpa menggunakan alat
apapun. Biasanya wajah aktor dicat putih semua. Cerita ringan-ringan dan
pendek.
c.
Opera
Opera disebut juga operet. Yaitu
jenis drama yang seluruh atau sebagian dialognya dinyanyikan oleh para pemeran,
dengan iringan musik. Jenis drama ini merupakan perpaduan yang harmonis anatara
seni teater dan seni suara.
d.
Sendratari
Yaitu drama yang penyajiannya
dilakukan dengan menari. Adegan disajikan dalam bentuk tarian yang telah
disesuaikan dengan karakter masing-masing tokoh. Tentu saja ada musik dan lagu
untuk mengiringi tari tersebut.
e.
Kabaret
Yaitu drama yang
menggunakan teknik rekaman untuk dialog dan tata musiknya. Semua telah
disajikan dalam bentuk rekaman, sehingga para pemeran tinggal menggerakkan saja
diatas panggung. Di masyarakat istilah ini sering tertukar dengan operet.
Padahal operet sendiri bisa saja muncul dalam jenis kabaret.
f.
Drama
Radio
Yaitu drama yang khusus
untuk diperdengarkan bukan untuk ditonton. Belakangan ini seluruh dialog, dan
ilustrasi musik direkam agar dapat diawetkan dan diputar kapan saja. Para
pemeran tidak perlu bergerak tetapi cukup menghayati peran dan mengatur
intonasi, tempo, artikulasi, dan lain-lain dalam dialognya.
g.
Drama
Televisi
Yaitu drama yang
disajikan di televisi. Drama jenis ini pun di rekam dalam vidio dan dapat
diputar kapan sajasesuai waktu tayangnya. Belakangan ini muncul istilah baru
untuk jenis ini, yaitu sinetron (Sinema Elektronik).
h.
Film
Yaitu drama yang khusus
untuk diputar di bioskop, drama jenis ini pun telah direkam dalam film,
sehingga bisa diputar dimana dan kapan saja. Film sering pula diputar di
televisi.
2.5.
UNSUR-UNSUR DRAMA
Sudah
dijelaskan bahwa drama mempunyai dua pengertian, yaitu drama sebagai karya
sastra dan drama sebagai bentuk pementasan. Keduanya mempunyai unsur yang
tentunya berbeda.
1.
Unsur
Drama Sebagai Karya Pentas
1. Pentas
atau panggung
2. Pekerja
pentas yang terdiri dari
a. Perangkat
administratif
b. Perangkat
artistik
3. Penonton
4. Naskah
2.
Unsur
Intrinsik Drama Sebagai Karya Sastra
a.
Tema
Proses
penciptaan drama diilhami pula oleh persoalan yang diakibatkan kesenjangan
anatara kenyataan dan keinginan. Dari sekian persoalan yang ada, pengarang
naskah drama, menangkap salah satu persoalan yang menurutnya menarik, unik,
dramati, dan berkepentingan untuk diinformasikan pada khalayak. Persoalan
tersebut pasti persoalan manusia baik lahirinya atau batininya yang penuh
dengan konflik. Segala proses tangkapan terhadap persoalan yang ada itu
merupakan pengalam pengarang, yang ada pada suatu saat merangsang dan
menggetarkan jiwanya untuk berproses kreatif.
Pokok
persoalan yang ditangkap dan dijadikan ide cerita itulah yang lantas disebut
tema. Tentu saja pokok persoalan atau tema itu tidak akan tersurat dalam naskah
drama, tetapi ada dalam satu kesatuan cerita yang berjalan dari awal sampai
akhir cerita itu berakhir. Adalah pembaca yang harus menangkap tema yang ada
dalam cerita tersebut, tergantung pada tingkat apresiasiny, dia akan
menghidupkan kembali segala pokok persoalan ke permukaan, lantas
memanfaatkannya bagi kehidupannya.
b.
Konflik
Konflik
atau sering disebut tikaian, adalah suatu keadaan di mana ada daya- yang saling
bertentangan arah, tetapi dalam kadar kekuatan yang kira-kira sama. Dalam drama
yang baik selalu mengandung konflik, bahkan bisa dikatakan bahwa ini drama
adalah konflik.
Konflik
dalam drama ada beberapa macam, yaitu:
1. Konflik
mendekat-mendekat, yaitu pertentangan dua kekutan yang melanda tokoh sehingga
berada pada valensi positif yang sama kuat.
2. Konflik
menjauh-menjauh, yaitu pertentangan dua kekutan yang melanda tokoh sehingga
berada dalam dua valensi negatif sama kuat.
3. Konflik
mendekat-menjauh, yaitu pertentangan dua kekuatan ysng melanda tokoh sehingga
berada pada valensi negatif dan positif yang sama kuat.
c.
Alur
atau Plot
Plot
adalah urutan peristiwa satu ke peristiwa lain yang terjalin berdasarkan hukum
sebab-akibat. Urutan peristiwa dari awal babak, dibukanya konflik, sampai akhir
penyelesaian konflik, akan menjadi lakon atau cerita drama yang menarik.
Menurut Hudson, plot drama tersusun
menurut apa yang dinamai ‘garis lakon’ (dramatic line), yaitu:
1.
Perkenalan
atau Eksposisi
Bagian ini dimaksudkan agar pembaca
memperoleh keterangan-keterangan agar ada pengertian dalam membaca naskah
drama, atau menonton pertunjukan drama. Perkenalan atau eksposisi ini akan
menjelaskan bahwa cerita dimulai. Konflik memang belum ada, tapi tanda-tanda
akan timbulnya konflik sudah dimunculkan. Biasanya pemabaca tergiring untuk
mengetahui peristiwa selanjutnya, yaitu situasi adanaya insiden.
2.
Insiden
Permulaan
Pada bagian ini mulai dihadirkan
insiden permulaan yang menjadi benih-benih timbulnya konflik yang jadi inti
drama. Insiden tersebut merupakan tenaga perangsang yang terjadi secara
tiba-tiba dari bagian perkenalan atau eksposisi yang seterusnya menjadi motif
dasar plot.
3.
Penanjakan
laku atau Rising Action
Pada bagian ini insiden yang muncul
sebelumya semakin bertambah ruwet. Konflik muncul dan mulai menajam, sedangkan
jalan keluar masih jauh dari samar.
4.
Krisis
atau Titik Balik
Krisis disebut juga klimaks adalah
bagian yang paling tegang dari seluruh urutan peristiwa. Daya-daya yang
bertentangan saling memperhatikan kekuatannnya, dan membutuhkan penyelesaian.
Pertimbangan tertentu dalam cerita akan condong ke salah satu pihak sebagai
jalan keluar yang selama ini ruwet.
5.
Penyelesaian
atau Denoument
Pada bagian ini pengarang akan
menyelesaikan konflik yang ada. Apakah akan berakhir dengan kesedihan atau
kegembiraan, sangat tergantung pada kemauan dan sikap pengarang itu sendiri
dalam menghadapi konflik yang dibuatnya. Keterangan telah selesai. Perhatian
pembaca tertuju pada rasa simpati terhadap tokoh yang telah menyelesaikan
konflik.
6.
Keputusan
atau Catastrophe
Bagian ini segalanya telah
berakhir. Ada hasil dari semua penyelesaian, dari cerita segala berakhir.
d.
Tokoh
dan Perwatakan
Unsur
lain yang penting dalam drama adalah tokoh dan perwatakan. Tokoh adalah manusia
yang bergelut dengan konflik-konflik yang diciptakan pengarang dalam drama.
Tokoh dalam drama sering disebut pula pelaku. Tokoh dalam drama dapat dibedakan
berdasarkan pada tugas-tugas yang diembannya, yaitu:
1.
Tokoh
Protagonis
Yaitu tokoh utama yang
muncul dan ingin mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi sewaktu mencapai
keinginan.
2.
Tokoh
Antagonis
Yaitu tokoh yang
melawan keinginan tokoh protagonis. Tokoh inilah yang merangsang timbulnya
konflik dalam diri tokoh protagonis.
3.
Tokoh
Tritagonis
Yaitu tokoh yang berada
diluar kedua tokoh tersebut diatas. Tokoh ini bisa membantu mempertajam adanya
konflik atau membantu memecahkan konflik.
4.
Tokoh
Pembantu
Yaitu tokoh yang tidak
secara langsung terlibat dalam konflik, tetapi diperlukan guna menyelesaikan
cerita.
e.
Latar
atau Setting
Latar
atau setting adalah penggambaran tempat, waktu, lingkungan sosial, dan suasana
dalam cerita. Dalam lakon atau cerita drama akan menceritakan tempat peristiwa
berlangsung, kapan peristiwa tersebut terjadi, bagaimana suasana yang
dihidupkan, serta ada dalam lingkup sosial bagaimana peristiwa itu dibabarkan.
Kesemua itu akan
nampak dalam dialog para tokoh. Ada memang beberapa pengarang yang secara
langsung menjelaskan setting tersebut dari keterangan atau kramagung yang dia
buat sebelum memulai cerita. Tetapi, kebanyakan dari pengarang masa kini,
persoalan setting sering diserahkan pada pembaca sebagai apresiator kreatif.
Menagkap setting
atau latar sangat penting dalam membaca naskah drama. Sebab imajinasi pembaca
akan terarah pada bentuk pementasan sebagai langkah lanjut setelah seluruh
naskah difahami.
f.
Dialog
Sesungguhnya
ciri khas naskah drama adalah dialog atau wawankata. Oleh sebab itu dialog
sering disebut sebagai unsur terpenting dari naskah drama. Hal ini bisa
dimaklumi, sebab semua unsur yang perlu diteliti pada dasarnya nampak dalam
bentuk dialog.
Dari segi
estetis,dialog merupakan faktor filosofis yang mempengaruhi struktur keindahan
sebuah lakon. Dialog harus benar-benar menarik, plastis, sehingga memiliki
sifat yang mampu menjelaskan keindahan
semua unsur yang ada. Dalam hal itu harus diingat bahwa pada gilirannnya
semua dialog akan mengantarkan seluruh peristiwa yang membentuk cerita.
Gaya mencipta
dialog setiap pengarang naskah drama tentunya akan berbeda satu dengan lainnya.
Hal ini sangat dipengaruhi oleh banyak faktor dalam proses penciptaannya. Untuk
menyadari hala itu, maka para pembaca naskah drama dituntut untuk banyak
berkenalan dengan berbagai naskah drama dari beberapa pengarang yang berbeda.
g.
Amanat
Amanat adalah
pikiran-pikiran tersembunyi pengarang yang oleh pembaca harus dipikirkan,
diresapi, dihayati, dan bahkan mungkin dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Berbobot atau tidaknya amanat yang ada dalam drama, tergantung tema cerita dan
penyelesaian konfliknya. Disamping itu tergantung pula pada kepekaan pembacanya
dalam menangakap amanat yang ada.
Amanat, akan
nampak sekali dari cara pengarang memecahkan persoalan atau konflik para tokoh
dalam naskah drama. Di samping itu amanta dapat pula diperoleh dari dialog yang
tersebar dibagian dialog yang dilontarkan para tokohnya.
BAB
III
ANALISIS
UNSUR INTRINSIK DRAMA
(Naskah RT. Nol RW. Nol karya Iwan
Simatupang)
3.1.
Sekilas Tentang Pengarang
Iwan Simatupang adalah salah satu penulis legendaris Indonesia. Iwan
Simatupang bernama lengkap Iwan
Maratua Dongan Simatupang. Beliau dilahirkan di Sibolga, Sumatera Utara pada
tanggal 18 Januari 1928. Beliau
pernah kuliah di
Fakultas Kedokteran di Surabaya pada tahun 1953. Kemudian pada tahun 1954 beliau pergi ke Belanda untuk belajar di sana belajar atas beasiswa Sticusa (Stichting voor Culturele Samenwerking),
bagian antropologi di Fakulteit der Letteren,
Rijksuniversiteit, Leiden. Setelah
dari belanda kemudian beliau masuk
jurusan Filsafat Barat Kampus Sorbonne, Paris, Perancis.
Saat di Belanda, sejak 1955-1958 beliau giat menulis di majalah Gajah Mada, terbitan
Yogyakarta. Artikelnya meliputi esai sastra, drama, film, seni rupa, juga ihwal
kebudayaan pada umumnya. Sepanjang studi Antropologi serta Sosiologi di Amsterdam, Iwan juga mengarang naskah
drama.
Tahun 1957 lahir naskah dramanya yang berjudul Buah Delima dan Bulan Bujur Sangkar. Tahun
berikutnya beliau menulis naskah drama berjudul Taman. Beliau pernah menjadi guru, wartawan, penulis cerpen, penulis
puisi, penulis esai, penulis novel, dan
penulis naskah drama.
Puisinya pertamanya dipublikasikan berjudul Ada Dukacarita di Gurun, dimuat majalah Siasat edisi 6 Juli
1952. Sajaknya yang lain yaitu berjudul Ada Dewa Kematian Tuhan, Apa kata Bintang di
Laut, serta Ada Tengkorak Terdampar di Pulau Karang.
Puisi-puisi itu dimuat di majalah Siasat Baru edisi 30 Desember 1959. Setelah
itu, judul-judul cerpen beliau
yaitu Monolog Simpang Jalan, Tanggapan
Merah Jambu tentang Revolusi, Kereta Api Lewat di JauhaI, Patates Frites,
Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu, Tegak Lurus dengan Langit, Tak Semua Tanya Punya
Jawab dan sebagainya.
Kritikus sastra menyebutkan
karyanya juga sebagai avant garde
terhadap buah pena beliau. Beliau sendiri menyebutkan dirinya sebagai manusia marjinal, hal tersebut
tergambar pada karya-karyanya. Misalnya novelnya Ziarah, Merahnya Merah,
Kering, Koong, dan
pada naskah
dramanya yang berjudul Petang di Taman,
RT. Nol RW. Nol, Kaktus, dan Kemerdekaan tergambar karakter beliau.
3.2.
Sinopsis
Dalam
naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang mengisahkan
beberapa orang yang tinggal di bawah kolong jembatan di sebuah kota besar. Orang-orang
tersebut tersebut antara lain: Kakek sebagai mantan kelasi kapal, Pincang
sebagai orang yang memiliki kondisi fisik kaki pincang, Ina dan Ani sebagai
Pekerja Seks Komersial (PSK).
Mereka
telah lama meratapi kejamnya kota besar, sampai suatu hari Ani dan Ina yang
telah lama menjalani profesi sebagai PSK memutuskan untuk menikah setelah
tertangkap razia polisi. Ani dijanjikan untuk dinikahi oleh laki-laki yang
dipanggil Ina sebagai Babah, dan Ina menerima lamaran Bang Becak yang selama
ini turut andil dalam pekerjaannya sebagai PSK. Cita-cita Ani dan Ina cukup
sederhana, mereka ingin memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Sepeninggal
Ani, tersisa Kakek, Pincang, Bopeng, dan orang yang baru dibawa Bopeng yaitu
Ati. Ina sempat kembali menceritakan rencana pernikahan dan menyampaikan pesan
perpisahannya kepada Kakek, Pincang, Bopeng, dan Ati. Kemudian Ina menyebut
kolong jembatan tempat tinggalnya selama ini
sebagai RT. Nol RW. Nol.
Bopeng
adalah laki-laki yang juga telah lama tinggal di kolong jembatan, ketika Ani
dan Ina memutuskan untuk pergi, Bopeng telah diterima bekerja sebagai klasi
kapal yang artinya Bopengpun akan pergi juga meinggalkan kolong jembatan
tersebut. Bopeng mengenalkan seorang perempuan yang dijumpainya di pelabuhan
bernama Ati. Ati adalah korban penipuan seorang laki-laki yang telah
menikahinya di kampung halamannya. Ati dijanjikan akan dibawa ke kampung
sebrang, namun setibanya dipelabuhan kota, laki-laki tersebut menghilang dengan
membawa barang-barang Ati.
Setelah
melalui diskusi panjang, Pincang setuju untuk mengantarkan Ati kembali ke
kampung halamannya dan berniat mencari pekerjaan di sana. Ati sempat mengajak
dan membujuk Kakek untuk ikut ke kampungnya, namun Kakek menolaknya karena
menganggap kolong jembatan tersebut bagian dari hidupnya. Kakek beranggapan
kelak ia akan menjadi pahlawan, jika ia memeninggal lalu mayatnya ditemukan
akan dijadikan sebagai bahan praktek kedokteran karena tidak mempunyai Kartu
Identitas (KTP).
3.
3. Tema
Tema dalam naskah drama
RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang adalah tentang kritik sosial terhadap masyarakat dan pemerintah.
Sebab, dalam naskah
drama ini menceritakan tentang kehidupan orang-orang yang tinggal di kolong
jembatan. Kehidupan mereka sungguh sangat memprihatinkan; hidup berada dibawah
garis kemiskinan, kesengsaraan, bahkan bahaya bisa saja mengancam mereka kalau
seandainya kolong jembatan yang mereka huni tiba-tiba roboh. Akan tetapi
pemerintah seolah menutup mata terhadap keberadaan mereka. Bahkan, mereka tidak
dianggap sebagai warga Negara yang mempunyai hak dan kedudukan yang sama oleh
masyarakat dan pemerintah, dengan alasan tidak memiliki Kartu Identitas (KTP).
Dalam naskah ini juga
menceritakan tentang kejenuhan dan kebosanan orang-orang yang hidup di kolong
jembatan dalam kehidupan yang mereka jalani selama ini. Mereka juga ingin
mendapatkan kehidupan yang layak, mendapatkan hak yang sama, ingin di akui
sebagai warga negara, ingin memiliki identitas yang jelas, ingin merasakan
hidup tenang jauh dari kebisingan, ingin hidup tenang tanpa harus dikejar-kejar
polisi pada saat ada razia, ingin tidur nyaman tanpa kedinginan, ingin makan
enak seperti makanan yang sering dikonsumsi orang-orang berduit. Mereka selalu
berusaha untuk mewujudkan keinginan tersebut, berbagai upaya mereka lakukan,
bahkan bagi Ani dan Ina rela mengorbankan apapun sekalipun dengan menjual
martabat dan harga diri mereka pada laki-laki hidung belang.
Berikut bukti kutipan
monolog yang mendukung penjelasan mengenai tema:
KAKEK:
Gandengan
lagi! Nanti Roboh Jembatan ini. Bukankah dilarang gandengan lewat sini. (Iwan
Simatupang, 1966: 1).
ANI
:
Negara
punya kesibukan. Kesibukan itu namanya: Bernegara. (Iwan
Simatupang, 1966: 1).
ANI
:
.
. . . . Aku sudah bosan dengan labu-siammu yang kau pungut tiap hari dari
tong-tong sampah di tepi pasar sana. Labu-siam ½ busuk, campur bawang-prei ½
busuk, campur ubi dan jagung apek, - - bah! Aku bosan! Tidak, malam ini aku
benar-benar ingin makan enak. Sepiring nasi putih, sepotong daging rendang,
dengan bumbunya kental berminyak-minyak, sebutir telor balado, dan segelas
penuh teh manis panas. Dan sebagai penutup, sebuah pisang raja yang kuning
emas. (Iwan Simatupang, 1966: 2).
KAKEK
:
.
. . . . Kenanganlah yang jadi beton dari kecongkakan diri kita, yang sering
salah diberi nama oleh masyarakat, dan oleh diri kita sendiri sebagai: harga
diri. Kini aku bertanya kepadamu nak: Dimanakah lagi harga diri di kolong
jembatan ini? (Iwan Simatupang, 1966: 6).
PINCANG
:
.
. . . . Semua kenangan, harga diri, yang Kakek sebutkan tadi, adalah justru
masalah yang hanya ada bagi jenis manusia-manusia seperti kita ini: tubuh yang
kurang dapat kita manfaatkan sebagaimana mestinya, dan waktu lowong kita
bergerobak-gerobak. (Iwan Simatupang, 1966: 7).
KAKEK
:
Kalau
aku tak salah, kau tak henti-hentinya cari kerja.
(Iwan Simatupang, 1966: 7).
PINCANG
:
Masyarakat
punya prasangka-prasangka tertentu terhadap jenis manusia seperti kita ini. (Iwan
Simatupang, 1966: 7).
PINCANG
:
Masyarakat
telah mempunyai keyakinan yang berakar dalam, bahwa manusia-manusia gelandangan
seperti kita ini sudah tak mungkin bisa bekerja lagi dalam arti yang
sebenarnya. (Iwan Simatupang, 1966: 7).
PINCANG
:
.
. . . . Mereka anggap kita ini sebagai suatu kasta tersendiri, kasta paling
hina, paling rendah. (Iwan Simatupang, 1966: 7).
PINCANG
:
.
. . . . Kakek dan aku sama-sama termasuk mereka yang setiap saat siap
mempertaruhkan apa saja, asal dapat meninggalkan kedudukan sebagai manusia
gelandangan ini. (Iwan Simatupang, 1966: 7).
PINCANG
:
.
. . . . Satu-satunya lagi yang masih bisa menolong kita, hanyalah kebetulan dan
nasib baik saja. (Iwan Simatupang, 1966: 8).
PINCANG
:
.
. . . . akhirnya berakhir dengan terapung di sungai butek ini. Mayat kita yang
telah busuk, dibawa kuli-kuli kotapraja ke RSUP, lalu ditempeli dengan tulisan
tercetak: Tak dikenal. Kita dikubur tanpa upacara, cukup oleh kuli-kuli
RSUP. Atau, paling-paling mayat kita disediakan sebagai bahan pelajaran bagi
mahasiswa-mahasiswa kedokteran. (Iwan Simatupang, 1966:
8).
INA
:
.
. . . . Ya, kolong jembatan ini telah membunuh dan mengubur tokoh pengarang
pada diri Abang itu. Dan aku, gelandangan biasa saja, yang diburu oleh sekian
kekurangan dan kenangan buruk di masa yang lampau . . . . .
(Iwan Simatupang, 1966: 21).
INA
:
.
. . . . Tapi, itu semuanya rela kuterima, Bang, demi – dapatnya aku memiliki
sebuah kartu penduduk! (Menangis) Kartu penduduk, yang bagiku berarti:
berakhirnya segala yang tak pasti. Berakhirnya rasa takut dan dikejar-kejar
seolah setiap saat polisi datang untuk merazia kita, membawa kita dengan truk-truk
terbuka ke neraka-neraka terbuka yang di koran-koran disebut sebagai
“taman-taman latihan kerja untuk kaum tuna karya”. Gambar kita di atas truk
terbuka itu dimuat besar-besar di koran. Tapi, kemudian koran-koran bungkem
saja mengenai penghinaan-penghinaan yang kita terima di sana . . . . .
(Iwan Simatupang, 1966: 21).
3.
4. Tokoh dan Perwatakan
3.4.1. Tokoh
Tokoh dalam naskah drama RT. Nol
RW. Nol karya Iwan Simatupang hanya ada enam tokoh yaitu: Kakek, Pincang, Ani,
Ina, Bopeng, dan Ati. Mereka adalah tokoh protagonis, antagonis, dan
tritagonis.
a.
Tokoh Protagonis
Tokoh
protagonis merupakan tokoh utama yang muncul dan ingin mengatasi berbagai
persoalan. Dalam naskah ini yang termasuk tokoh protagonis yaitu: Kakek, Pincang,
dan Ina. Misalnya ketika terjadi perdebatan antara Bopeng dan Pincang karena
Bopeng merasa tersinggung dengan perkataan Pincang, Kakek mencoba mengatasi
persoalan tersebut dengan cara melerai. Kemudian ketika muncul persoalan pada
Ati, setelah Bopeng yang membawanya dari pelabuhan ke kolong jembatan akan
pergi berlayar karena Bopeng diterima bekerja menjadi seorang kelasi. Ati
bingung akan nasib hidupnya bagaimana, kemudian Pincang mencoba menyelesaikan
persoalan Ati. Pincang bersedia mengantarkan Ati pulang ke kampung halamannya.
b.
Tokoh Antagonis
Tokoh
antagonis merupakan tokoh yang kerap memunculkan berbagai persoalan atau dapat
dikatakan juga sebagai tokoh yang melawan/bertentangan dengan tokoh protagonis.
Tokoh inilah yang merangsang timbulnya konflik dalam diri tokoh protagonis.
Dalam naskah ini yang termasuk tokoh antagonis yaitu: Ani dan Bopeng. Misalnya
ketika Ani yang bekerja sebagai PSK sedang berdialog dengan Kakek terkait
aturan pemerintah, Ani selalu menentang perkataan Kakek. Kemudian ketika
Pincang menyarankan kepada Ani agar jangan pergi bekerja, Ani malah menentang
saran dari Pincang. Dan ketika Bopeng membawa Ati ke kolong jembatan, konflik
yang terjadi semakin rumit. Sehingga jelas bahwa tokoh Ani dan Bopeng merupakan
tokoh-tokoh yang merengsang timbulnya konflik atau kerap memunculkan berbagai
persoalan.
c.
Tokoh Tritagonis
Tokoh
Tritagonis merupakan tokoh yang berada di luar tokoh protagonis dan antagonis.
Tokoh ini bisa mempertajam adanya konflik, atau membantu memecahkan konflik.
Dalam naskah ini yang termasuk tokoh tritagonis yaitu Ati. Tokoh Ati jelas
merupakan tokoh Tritagonis, sebab dengan kehadiran Ati di kolong jembatan turut
mempertajam permasalahan/konflik yang terjadi.
3.4.2.
Perwatakan Tokoh
Penggambaran watak tokoh-tokoh dalam
naskah drama RT. Nol RW. Nol karya Iwan
Simatupang adalah sebagai berikut:
a. Watak
Kakek
Tokoh
Kakek dalam naskah ini mempunyai watak baik hati, kritis, mempunyai pemikiran
yang matang, selalu memberi nasehat, selalu memberi motivasi, pintar, meski
sudah tua tapi ia tidak pelupa, perhatian, penyabar, dan bisa menerima
kenyataan hidup yang dialaminya. Watak Kakek tergambar dalam lontaran dialog
antara Kakek dengan tokoh lain.
Berikut
adalah lontaran monolog Kakek yang mendukung atau sebagai bukti argumentasi
diatas:
KAKEK :
Hendaknya, peraturan itu
diturutlah. (Iwan Simatupang, 1966: 1).
KAKEK :
Kalau begitu apa guna larangan? (Iwan
Simatupang, 1966: 1).
KAKEK :
Selamat bertugas! Entah basah,
entah kering. Semoga kalian menemukan apa yang kalian cari. (Iwan
Simatupang, 1966: 5).
KAKEK
:
Kenangan,
inilah sebenarnya yang membuat kita sengsara berlarut-larut. Kenanganlah yang
senantiasa membuat kita menemukan diri kita dalam bentuk runtuhan-runtuhan.
Kenanganlah yang jadi beton dari kecongkakan diri kita, . . . . . (Iwan Simatupang, 1966:
6).
KAKEK
:
Hukum
masyarakat tetap begitu. Kalau mau melamar kerja, tampillah dengan tampangmu
yang paling menguntungkan. (Iwan Simatupang, 1966: 8).
KAKEK
:
Sabar,
sabar! . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 9).
KAKEK
:
Seingatku,
di restoran yang besaran dikit, kita bisa pesan apa yang disebut “Biefstuk
Komplit”. (Iwan Simatupang, 1966: 16).
KAKEK
:
Seingatku
– dari masaku dulu sebagai kelasi – pembayaran serupa itu namanya “all in”.
Semuanya sudah termasuk: ya ongkos hotelnya, ya ongkos makan-makan dan
mabuk-mabuknya, ya ongkos plesirnya dengan wanitanya, ya ongkos taksi besok
paginya yang harus mengantarkan kita pulang kekapal di pelabuhan – tidak
terlambat! (Iwan Simatupang, 1966: 16).
KAKEK
:
Persis
pandangan seorang jagal sapi: ini daging ya masuk; ini lemak dan tetelan, ya
masih bisa masuk . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 17).
KAKEK
:
Dan
itu namanya: sekedar. Wah, pintar juga si babah. (Iwan
Simatupang, 1966: 18).
KAKEK
:
.
. . . . Selamat jalan, Nak. (Iwan Simatupang, 1966:
22).
KAKEK
:
.
. . . . Lekaslah, Nak. Nanti suamimu kabur! (Iwan
Simatupang, 1966: 22).
KAKEK
:
.
. . . . Jangan bingungkan dirimu lebih lama lagi dalam kerangka-kerangka
kata-katamu yang mengawang itu. Mulai sekarang, rebut! Dan reguklah! Kesempatan
segera ia nongol di hadapanmu. Berbuatlah! Bertindaklah! . . . . . (Iwan
Simatupang, 1966: 24).
KAKEK
:
Dan
kalian tak salahnya, jaga istirahat. Tidurlah, kalau memang betul bisa tidur.
Ingat, acara kalian besok sungguh banyak. (Iwan
Simatupang, 1966: 26).
KAKEK
:
.
. . . . Pada diriku, semuanya yang
kusebut tadi itu terdapat saling tindih menindih, berlapis-lapis, dan sebagai
selaput luarnya yang makin keras: usiaku yang semakin tua! Semakin tua kita,
semakin lamban kita, semakin keluar kita dari rel… dan akhirnya: dari tuna
karya, kita jadi tuna hidup. Selanjutnya, tinggallah lagi kita jadi beban bagi
kuli-kuli kotapraja yang membawa mayat kita ke RSUP. Apabila kita mujur
sedikit, maka pada saat terakhir mayat dan tulang-tulang kita masih dapat
berjasa bagi ilmu urai kedokteran, menjadi pahlawan-pahlawan tak dikenal bagi
kemanusiaan. (Iwan Simatupang, 1966: 28).
b. Watak
Pincang
Tokoh
Pincang dalam naskah ini mempunyai watak sok tau, pencemburu, selalu ingin tahu
urusan orang lain, bicaranya blak-blakan kadang suka membuat orang orang
tersinggung, tapi sebenarnya dia baik hati, perhatian, terbuka, tidak mudah
putus harapan/pantang menyerah, bisa menerima nasib hidup yang dialaminya,
ikhlas membantu orang lain tanpa pamrih. Watak Pincang tergambar dalam lontaran
dialog antara Pincang dengan tokoh lain.
Berikut adalah lontaran
monolog Pincang dan dialog Pincang dengan tokoh lain yang mendukung argumentasi
diatas:
Watak
Pincang yang menggambarkan sebagai tokoh yang sok tau tergambar pada dialog di
bawah ini.
PINCANG
:
Mana bisa. Laki-laki mana mau sama
kalian kuyup-kuyup? (Iwan Simatupang, 1966: 3).
INA
:
Ah, abang seperti tahu segala.
Lagi, kata siapa kami bakal basah kuyup? (Iwan
Simatupang, 1966: 3).
Watak
Pincang yang menggambarkan sebagai tokoh yang sok tau tergambar pada dialog di
bawah ini.
PINCANG
:
Ahh, aku sudah tahu. Pasti bang becak
yang hitam itu lagi, kan?! (Iwan Simatupang, 1966: 3).
INA
:
.
. . Kau cemburu apa? (Iwan Simatupang, 1966: 3).
ANI
:
.
. . . . Kau ini sesungguhnya apa, siapa? Berani-berani cemburu. . . . . . (Iwan Simatupang, 1966:
3).
Meskipun
sebagai seorang yang sok tau, pencemburu, Pincang juga sebetulnya orang yang
perhatian. Seperti terlihat pada petikan monolog berikut.
PINCANG
:
Tidurlah,
Kek. Kau mengantuk. (Iwan Simatupang, 1966: 6).
Pincang juga seorang yang tidak mudah putus
harapan/pantang menyerah, seperti tergambar pada dialog berikut.
KAKEK
:
Kalau
aku tak salah, kau tak henti-hentinya cari kerja. (Iwan
Simatupang, 1966: 7).
PINCANG
:
Ya,
tapi tak pernah dapat. (Iwan Simatupang, 1966: 7).
Pincang
juga tokoh yang bisa menerima kenyataan nasib, seperti terlihat pada petikan
monolog berikut.
PINCANG
:
Tampang
kita saja sudah cukup membuat mereka curiga. Habis, tampang bagaimana lagikah
yang dapat kita perlihatkan kepada mereka, selain tampang kita yang ini-ini juga?
Bahwa tampang kita tampaknya kurang menguntungkan, kurang segar, kurang
berdarah, . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 7).
PINCANG
:
.
. . . . Satu-satunya lagi yang masih bisa menolong kita, hanyalah kebetulan dan
nasib baik saja. (Iwan Simatupang, 1966: 8).
Gaya
bicara Pincang blak-blakan sehingga sering membuat orang lain tersinggung,
seperti terlihat pada petikan dialog berikut.
PINCANG
:
Darimana
kau petik dia? Lalu bagaimana dengan Ani? Ada kau pikirkan itu? (Iwan
Simatupang, 1966: 9).
BOPENG (Marah) :
Hati-hati dengan
mulutmu, . . . . (Iwan
Simatupang, 1966: 9).
Watak
pincang sebagai tokoh yang terbuka, jujur, dan tidak ingin ada yang
ditutup-tutupi tergambar pada dialog berikut.
BOPENG
:
Kuperingatkan
kau sekali lagi, jangan terlalu jauh mengada-ngada, ya Bung. (Iwan
Simatupang, 1966: 13).
PINCANG
:
Kalau
maksudmu, bahwa gara-gara ucapanku yang barusan kita terpaksa berkelahi, ya apa
boleh buat: Ayo berkelahi! Aku mungkin dapat kau kalahkan. Kau kekar, cocok
memang untuk kelasi. Mungkin kau aka dapat membunuh aku, dan tubuhku nanti kau
benamkan dalam lumpur sana. Tapi, untuk kali yang paling terakhir, dan demi
martabatmu sendiri sebagai seorang jantan, aku minta pada kau: (Berteriak)
Berterusteranglah kepada wanita cilik yang sedang dirundung malang ini! Ayo
ceritakan, dengan terbitnya matahari esok pagi, apa yang akan kau lakukan
sesungguhnya? Apa rencanamu yang sebenarnya dengan dia ini? Ayo, berkatalah
terus terang kepadanya. Jangan dirikan bangunan-bangunan harapan kosong baginya,
sebab demi Allah! Tiada dosa yang paling besar dari itu yang dapat kau lakukan
terhadapnya. (Iwan Simatupang, 1966: 13).
PINCANG
:
Barangkali
ada baiknya, bila akulah yang menceritakannya kepada Adik, . . . . . (Iwan
Simatupang, 1966: 13).
Watak
Pincang yang menggambarkan sebagai tokoh yang baik hati, ikhlas menolong orang
lain tanpa mengharap imbalan tergambar dalam monolog berikut.
PINCANG
:
Ya,
aku telah bertekad ingin memulai segala-galanya dengan benar-benar suci bersih.
Aku besok mengantarnya kesana dengan tidak sedikitpun anggapan sebagai calon
menantu seperti yang kalian gambarkan tadi. Apa alasanku untuk menganggap
begitu saja, bahwa orang tuanya secara otomatis bakal menerima aku sebagai
menantunya? Kemungkinan, bahkan hak penuh mereka untuk menolak aku, tetaplah
ada dan ada baiknya sejak semula ikut diperhitungkan. Ya, aku ingin kesana,
tapi dengan patokan bermula: aku benar-benar ingin kerja. Kembali kerja! Kembali merasakan keutuhan dan
kedaulatan tubuhku di dalam teriknya matahari, dengan kesadaran bahwa
butir-butir keringatku yang mengucur itu adalah taruhanku untuk sesuap nasi
yang halal. Soal menantu, kawin, cinta… ah, hendaknya aku diperkenankan kiranya
tidak dulu mempunyai urusan apa-apa dengan itu semuanya. Kerangka-kerangka yang
disebut Ina tadi, ingin kukubur… setidaknya untuk sementara dulu. Aku ingin
mengembalikan seluruh kedirianku kembali kekesegarannya semula, yang dulu…
entah telah berapa puluh tahun yang lalu, telah hilang… oleh salahku sendiri.
Aku harap, Ina, maupun orang tuanya, sudi memandang diriku dalam kerangka
persoalan seperti ini, dan tidak menganggap aku di sana sebagai lebih dari itu.
Aku datang sebagai pelamar kerja, pelamar keadaan dan kemungkinan hidup yang
baik kembali. (Iwan Simatupang, 1966: 25).
c. Watak
Ani
Tokoh
Ani dalam naskah ini mempunyai watak sombong dan ambisius. Akan tetapi meskipun
sombong dan ambisius, Ani adalah tokoh yang baik hati/pengertian dan suka
menepati janji. Berikut adalah lontaran monolog Ani dan dialog Kakek dengan
Ani, serta dialog Kakek dengan Ina yang mendukung argumentasi diatas:
Watak
Ani yang menggambarkan seorang tokoh yang sombong, tergambar pada petikan
monolog ini.
ANI
:
.
. . . . Aku sudah bosan dengan labu-siammu
yang kaupungut tiap hari dari tong-tong sampah di tepi pasar sana.
Labu-siam ½ busuk, campur bawang-prei ½ busuk, campur ubi dan jagung apek, --
bah! Aku bosan! . . . . . (Iwan
Simatupang, 1966: 2).
ANI
:
.
. . . . . Cih, Laki-laki tak tahu diuntung! (Iwan
Simatupang, 1966: 3).
ANI
:
.
. . . . . Cih, labu siam, bawang prei, beras menir dan ubi yang semuanya ½ atau
malah semua busuk. Dan itu kau anggap senilai dengan tubuh panas wanita semalam
suntuk, hah?! . . . . . (Iwan
Simatupang, 1966: 4).
Watak
Ani yang menggambarkan seorang tokoh yang ambisius, tergambar pada petikan
monolog ini.
ANI
:
.
. . . . . Cara apapun akan kami jalani, asal kami dapat memakannya malam ini.
Ya, malam ini juga! (Iwan
Simatupang, 1966: 4).
ANI :
. . . . . . pantang mundur! Kita
bukan dari garam, kan?! (Iwan
Simatupang, 1966: 5).
Meskipun
berwatak sombong dan ambisius, tapi Ani baik hati/pengertian seperti tergambar
pada petikan dialog di bawah ini.
KAKEK
:
Selamat bertugas! Entah basah,
entah kering. Semoga kalian menemukan apa yang kalian cari. (Iwan
Simatupang, 1966: 5).
ANI :
Kalau rejeki kami baik malam ini,
kami akan pulang bawa oleh-oleh. (Iwan Simatupang, 1966:
5).
Watak
Ani yang menggambarkan seorang tokoh yang suka menepati janji, tergambar pada
petikan dialog di bawah ini.
KAKEK
(Memeriksa Bungkusannya) :
Nasi
rames lagi! Dan daging rendang. Ya Allah, juga telor! Dan ini, pisang raja
sesisir! Ada-ada saja si Ani!14
INA
:
Kak
Ani cuma mau penuhi janjinya saja pada kalian. (Iwan
Simatupang, 1966: 14).
d. Watak
Ina
Tokoh
Ani dalam naskah ini mempunyai watak ambisius, tidak tulus, dia rela melakukan
apa saja demi mewujudkan keinginannya, tidak. Meski demikian, Ina adalah
seorang tokoh yang baik dan rendah hati. Berikut adalah lontaran monolog Ina
yang mendukung argumentasi diatas.
Watak
Ina yang menggambarkan seorang tokoh yang ambisius, tergambar pada petikan
monolo di bawah ini.
INA :
Sudahlah, kak. Hujan atau tak
hujan, kita tetap keluar. (Iwan Simatupang, 1966: 3).
INA
:
.
. . . . . itu semuanya rela kuterima Bang, demi – dapatnya aku memiliki sebuah
kartu penduduk! . . . . . . (Iwan Simatupang, 1966:
21).
Watak
Ina yang menggambarkan seorang tokoh yang tidak tulus, tergambar pada petikan
monolo di bawah ini.
INA :
.
. . . . . bila aku tadi menerima lamaran bang becak itu, maka itu berarti,
bahwa belum tentu aku mencintainya; itu berarti, bahwa pada hakekatnya aku
masih tetap pengagum kata-katamu yang dalam-dalam maknanya itu. . . . . . (Iwan
Simatupang, 1966: 21).
Watak
Ina yang menggambarkan seorang tokoh yang baik hati, tergambar pada petikan
monolo di bawah ini.
INA
:
Barang-barangku
kutinggalkan semuanya di sini. Pakai, bila berguna bagi kalian. . . . . (Iwan
Simatupang, 1966: 21).
INA
:
.
. . . . . Nih, ambillah semua uangku ini. Kukira, sekedar untuk ongkos pulangmu
dan bekal di jalan, cukup jugalah. (Ati Menerimanya) Pulanglah, dik, segera!
Jangan sempat kau menghirup iklim gelandangan ini. . . . . . (Iwan
Simatupang, 1966: 22).
Watak
Ina yang menggambarkan seorang tokoh yang rendah hati, tergambar pada petikan
monolo di bawah ini.
INA
:
Dan
akhirnya, kau Dik! Maafkan, bila aku tadi ada melukai hatimu. . . . . . (Iwan
Simatupang, 1966: 24).
e. Watak
Bopeng
Tokoh
Bopeng dalam naskah ini mempunyai watak tempramental, mudah tersinggung. Meski
demikian, Bopeng adalah seorang tokoh yang bijak, baik hati, dan pengertian. Berikut adalah lontaran monolog Bopeng dan
dialog Bopeng dengan tokoh lain yang mendukung argumentasi diatas.
Watak
Bopeng yang menggambarkan seorang tokoh yang tempramental, tergambar pada
petikan dialog Bopeng dengan Pincang di bawah ini.
PINCANG
(Batuk-Batuk) :
Darimana
kau petik dia? Lalu bagaimana dengan Ani? Ada kau pikirkan itu? (Iwan
Simatupang, 1966: 9).
BOPENG
(Marah) :
Hati-hati dengan mulutmu, ya. . . .
.
(Iwan Simatupang, 1966: 9).
Watak
Bopeng yang menggambarkan seorang tokoh yang tempramental juga tergambar pada
petikan monolog Bopeng di bawah ini.
BOPENG
:
Kuperingatkan
kau sekali lagi, jangan terlalu jauh mengada-ngada, ya Bung. (Iwan
Simatupang, 1966: 13).
Watak
Bopeng yang menggambarkan seorang tokoh yang mudah tersinggung, tergambar pada
petikan dialog Bopeng dengan Pincang di bawah ini.
PINCANG
(Tertawa) :
Ha,
dimana-mana kawin, Kek ya? Dimana-mana meninggalkan pengantin baru, dengan
jani-jani setinggi langit berbaku-bakul. (Iwan
Simatupang, 1966: 10).
BOPENG
(Sangat Tersinggung) :
Diam
kau!!! (Iwan Simatupang, 1966: 10).
Watak
Bopeng yang menggambarkan seorang tokoh ysng bijak, tergambar pada petikan
monolog Bopeng di bawah ini.
BOPENG
:
Kukira, tidak pantas melarang orang
yang mau menunaikan ibadahnya. Soal najis atau lendir, itu semata-mata urusan
lempeng antara dia dengan Tuhan sendiri. Bukan dengan panitia haji. Kukira,
Tuhan memandang soalnya kira-kira begini: Untuk soal lendirnya, dia terang
berdosa. Untuk naik hajinya, jelas dia berbuat kebaikan dan pahala. Mana yang
lebih berat timbangannya, hanya Tuhan yang tahu. Jelas itu tak dikatakan-Nya
pada kita. Nah, oleh sebab itu, mengapa pula kita mesti ikut-ikutan mengadili
bang becak lihay yang jadi haji itu di dunia kita ini? Kalau kita bertemu
dengan dia, apa salahnya kita bilang: Selamat sore, Pak Haji? Dan apakah rokok
yang kemudian ditawarkannya padaku harus kutolak, hanya oleh karena hati
kecilku mungkin pada saat itu berkata: Awas, rokok dibeli dari uang lendirnya?
Tidak, rokoknya kuterima. Bila rokoknya memang enak, ia akan kunikmati. Dan
bila tidak, rokok itu dilemparkan ke jalan. (Iwan
Simatupang, 1966: 17).
Watak
Bopeng yang menggambarkan seorang tokoh baik hati dan pengertian, tergambar
pada petikan monolog Bopeng di bawah ini.
BOPENG
:
.
. . . . . agar benar-benar terjamin kau pulang menuju kampungmu, maka pada si
Pincang kuminta supaya suka mengantarmu sampai di sana. Ongkos buat dia, pulang
pergi, biarlah aku yang tanggung. Nih, sisa persekotku tadi. Biarlah, aku toh
tak butuh apa-apa lagi. Di kapal, aku tak perlu uang. (Iwan
Simatupang, 1966: 22).
f. Watak
Ati
Tokoh Ati dalam
naskah ini mempunyai watak ramah dan peduli terhadap orang lain. Penggambaran
tokoh Ati tergambar pada monolog Ati dan dialog Ati dengan Kakek. Berikut
adalah lontaran monolog Ati dan dialog Ati dengan Kakek yang mendukung
argumentasi diatas.
Watak
Ati yang menggambarkan seorang tokoh yang ramah ramah, tergambar pada petikan
monolog Bopeng di bawah ini.
ATI
:
.
. . . . . apa salahnya dia tinggal sambil istirahat sebentar di kampungku.
Siapa tahu, di sana ada kerja yang cocok untuknya. (Iwan
Simatupang, 1966: 23).
Watak
Ati yang menggambarkan seorang tokoh yang peduli terhadap orang lain, tergambar
pada petikan dialog Ati dengan Kakek di bawah ini.
ATI
:
Kami
besok berangkat semuanya, kecuali Kakek. (Iwan
Simatupang, 1966: 26).
KAKEK
(Tetap Rebah, Suaranya Mengantuk) :
Aku?
Mau kemana aku? (Iwan Simatupang, 1966: 26).
ATI
:
Ikutlah
kami besok kekampungku, Kek. (Iwan Simatupang, 1966:
26).
KAKEK
:
Ikut?
Aku sudah terlalu tua untuk ikut dengan siapa-siapapun. Lagipula, kalau kita
semuanya pergi, bagaimana dengan kolong jembatan ini? (Iwan
Simatupang, 1966: 26).
3.4.3. Perkiraan Fisik
Memperkirakan
fisik tokoh-tokoh yang ada pada naskah drama merupakan salah satu hal
terpenting terutama ketika naskah tersebut akan dipentaskan. Perkiraan fisik
tokoh-tokoh pada naskah RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang adalah sebagai
berikut:
a. Perkiraan
fisik tokoh Kakek
Tokoh Kakek pada naskah
RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang kira-kira berusia 65 tahun, tubuh sudah
renta, tidak bekerja, suara sedikit serak.
b. Perkiraan
Fisik tokoh Pincang
Tokoh Pincang pada
naskah RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang kira-kira berusia 30 tahun, jenis
kelamin laki-laki, kakinya pincang,
postur tubuh tinggi dan kurus, berkulit
sawo matang.
c. Perkiraan
Fisik tokoh Ani
Tokoh Ani pada naskah
RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang kira-kira berusia 30 tahun, tubuhnya agak
gemuk, tinggi badannya sekitar 160 cm, berprofesi sebagai PSK.
d. Perkiraan
Fisik tokoh Ina
Tokoh Ina pada naskah
RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang kira-kira berusia 25 tahun, tubuhnya agak
kurus, berkulit hitam, tingginya sekitar 163 cm, berprofesi sebagai PSK.
e. Perkiraan
Fisik tokoh Bopeng
Tokoh Bopeng pada
naskah RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang kira-kira berusia 25 tahun, jenis
kelamin laki-laki, mempunyai tubuh kekar, tingginya sekitar 170 cm, berkulit
hitam.
f. Perkiraan
Fisik tokoh Ati
Tokoh Ati pada naskah RT. Nol RW.
Nol karya Iwan Simatupang kira-kira berusia 23 tahun, mempunyai postur tubuh
sekitar 158 cm, berkulit kuning langsat, wajahnya manis, dan pempunyai rambut
lurus.
3.
5. Alur atau Plot
Alur
dalam naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang adalah
alur konvensional. Ketegangan yang terjadi dalam setiap peristiwa cukup tajam,
hal tersebut disebabkan karena naskah ini merupakan naskah drama serius. Meski
demikian dalam setiap adegan pengarang mencoba menyelipkan humor dan
sentilan-sentilan ringan yang isinya tentang kritikan sosial.
Susunan
alur atau plot dalam naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan
Simatupang adalah sebagai berikut:
a.
Perkenalan atau eksposisi
Dalam
adegan I pengarang mencoba mendeskripsikan suatu tempat, keadaan, serta
kegiatan yang dilakukan oleh para tokoh lewat prolog. Pada adegan tersebut
pembaca juga diberikan penjelasan mengenai beberapa tokoh serta profesinya,
akan tetapi penjelasan atau pengenalan tersebut tidak terlalu detail, sebab
dalam adegan I hanya mengenalkan beberapa tokoh. Tokoh yang lainnya akan
dijelaskan pada adegan berikutnya.
Berikut
adalah petikan prolog yang mendukung argumentasi diatas.
KOLONG
SUATU JEMBATAN UKURAN SEDANG, DI SUATU KOTA BESAR. PEMANDANGAN BIASA DARI SUATU
PEMUKIMAN KAUM GELANDANGAN. LEWAT SENJA. TIKAR-TIKAR ROBEK. PAPAN-PAPAN.
PERABOT-PERABOT BEKAS RUSAK. KALENG-KALENG MENTEGA DAN SUSU KOSONG. LAMPU-LAMPU
TOMPLOK.
DUA
TUNGKU, BERAPI. DI ATASNYA KALENG MENTEGA, DENGAN ISI BERASAP. SI PINCANG
MENUNGGUI JONGKOK TUNGKU YANG SATU, YANG SATU LAGI DITUNGGUI OLEH KAKEK. ANI
DAN INA, DALAM KAIN TERLILIT TIDAK RAPIH, DAN KUTANG BERWARNA, ASYIK DANDAN
DENGAN MASING-MASING DI TANGANNYA SEBUAH CERMIN RETAK. SEKALI-KALI KEDENGARAN
SUARA GEMURUH DI ATAS JEMBATAN, TANDA KENDARAAN BERAT LEWAT. SUARA GEMURUH
LAGI. (Iwan Simatupang, 1966: 1).
Petikan
prolog di atas merupakan gambaran cerita atau lakon dalam naskah RT. Nol RW.
Nol. Pada prolog tersebut tampak gambaran kehidupan, keadaan, serta gambaran aktifitas
para tokoh. Tanda-tanda akan timbulnya konflik dimunculkan oleh dialog Pincang
dan Ani, berikut adalah dialognya:
PINCANG
:
Sekedar
pengisi perut saja. Ini juga hampir masak. (Iwan
Simatupang, 1966: 2).
ANI
(Tolak Pinggan Di Hadapan Pincang) :
. . . . . . Aku sudah bosan dengan labu-siammu
yang kaupungut tiap hari dari tong-tong sampah di tepi pasar sana. Labu-siam ½
busuk, campur bawang-prei ½ busuk, campur ubi dan jagung apek, -- bah! Aku
bosan! Tidak, malam ini aku benar-benar ingin makan yang enak. Sepiring nasi
putih panas, sepotong daging rendang dengan bumbunya kental berminyak-minyak,
sebutir telur balado, dan segelas penuh teh manis panas. Dan sebagai penutup,
sebuah pisang raja yang kuning emas. (Iwan Simatupang, 1966:
2).
Dalam
peristiwa berikutnya, pengarang mencoba memunculkan kembali tanda-tanda
timbulnnya konflik yang tergambar pada dialog Pincang dan Ani, kemudian Kakek
moncoba melerai. Berikut dialognya:
PINCANG
:
.
. . . . . Akupun punya sahamku dalam kehidupan di sini.
(Iwan Simatupang, 1966: 4).
ANI
:
Saham?
Kau hingga kini kontan mencicipi hasil sahammu yang ½ busuk semua itu. Cih,
labu siam, bawang prei, beras menir dan ubi yang semuanya ½ atau malah semua
busuk. Dan itu kau anggap senilai dengan tubuh panas wanita semalam suntuk,
hah?! (Iwan Simatupang, 1966: 4).
KAKEK
:
Sudahlah.
Kalau kalian tak lekas berhenti cekcok, aku kuatir nama Raden Ajeng Kartini
sebentar lagi bakal disebut-sebt nanti di sini. (Iwan
Simatupang, 1966: 4).
b.
Insiden Permulaan
Insiden
permulaan muncul pada adegan II. Pada adegan II ini menceritakan kenangan hidup
Kakek sebelum menghuni kolong jembatan, dan keluhan Bopeng yang sering
mendengar anggapan masyarakat terhadap orang-orang yang hidupnya di kolong
jembatan. Konflik batin Kakek dan Pincangpun mulai dihadirkan.
Berikut
adalah petikan monolog Kakek yang mendukung argumentasi di atas.
KAKEK
:
.
. . . . . Aku seolah kembali merasakan kantukku yang dulu, ketika ibuku
melenakan aku tidur itu. Kenangan, inilah sebenarnya yang membuat kita sengsara
berlarut-larut. Kenanganlah yang senantiasa membuat kita menemukan diri kita
dalam bentuk runtuhan-runtuhan. Kenanganlah yang jadi beton dari kecongkakan
diri kita, yang sering salah diberi nama oleh masyarakat, dan oleh diri kita sendiri,
sebagai: harga diri. Kini, aku bertanya kepadamu, nak: Di manakah lagi harga
diri di kolong jembatan ini? (Iwan Simatupang, 1966:
6).
Berikut
adalah dialog Pincang dengan Kakek yang mendukung argumentasi di atas:
PINCANG
:
Masyarakat
punya prasangka-prasangka tertentu terhadap jenis manusia seperti kita ini. (Iwan
Simatupang, 1966: 7).
KAKEK
Eh,
bagaimana rupanya seperti jenis kita ini? (Iwan
Simatupang, 1966: 7).
PINCANG
:
Masyarakat
telah mempunyai keyakinan yang berakar dalam, bahwa manusia-manusia gelandangan
seperti kita ini sudah tak mungkin bisa bekerja lagi dalam arti yang
sebenarnya. (Iwan Simatupang, 1966: 7).
KAKEK
:
Menurut
mereka, kita cuma bisa apa saja lagi? (Iwan Simatupang,
1966: 7).
PINCANG
:
Tidak
banyak, kecuali barangkali sekedar mempertahankan hidup taraf sekedar tidak
mati saja, dengan batok kotor kita yang kita tengadahkan kepada siapa saja,
kearah mana saja. Mereka anggap kita ini sebagai suatu kasta tersendiri, kasta
paling hina, paling rendah. (Iwan Simatupang, 1966:
7).
Insiden
makin bertambah tajam ketika Pinjang dan Kakek berbicara masalah nasib hidupnya
di kolong jembatan. Mengenai penjelasan hal tersebut dapat dilihat dari petikan
dialog berikut:
PINCANG
:
Dunia
gelandangan adalah suatu lingkaran setan, Kek, yang tiap hari tampaknya kian
keker, kian angker juga. Satu-satunya lagi yang masih bisa menolong kita,
hanyalah kebetulan dan nasib baik saja. (Iwan Simatupang,
1966: 8).
KAKEK
:
Menanti-nantikan
datangnya kebetulan bernasib baik itulah yang sebenarnya kita lakukan tiap hari
di kolong jembatan ini. (Iwan Simatupang, 1966: 8).
PINCANG
:
Satu
per satu kita – pungguk-pungguk kerinduan bulan – akhirnya berakhir dengan
terapung di sungai butek ini. Mayat kita yang telah busuk, dibawa kuli-kuli
kotapraja ke RSUP, lalu ditempeli dengan tulisan tercetak: Tak dikenal.
Kita dikubur tanpa upacara, cukup oleh kuli-kuli RSUP. Atau, paling-paling
mayat kita disediakan sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa-mahasiswa
kedokteran. (Iwan Simatupang, 1966: 8).
KAKEK
:
Itu
masih mendingan. Itu namanya, bahkan dengan mayat kita, kita masih bisa menjadi
pahlawan-pahlawan tak dikenal bagi kemanusiaan, lewat ilmu urai untuk
mahasiswa-mahasiswa kedokteran. Apa jadinya dengan kemanusiaan nantinya, tanpa
kita? (Iwan Simatupang, 1966: 8).
c.
Penanjakan Laku atau Rising Action
Penanjakan
laku atau rising action muncul pada
adegan III. Dengan hadirnya tokoh Bopeng dan Ati pada adegan tersebut membuat
insiden yang terjadi menjadi bertambah ruwet. Dengan hadirnya tokoh Ati
sehingga muncul benih konflik yang terjadi antara Pincang dengan Bopeng.
Pertanyaan Pincang yang terlalu lugas dan blak-blakan membuat Bopeng merasa
tersinggung.
Mengenai
penjelasan hal tersebut dapat dilihat dari petikan dialog berikut:
PINCANG
(Batuk-Batuk) :
Darimana
kau petik dia? Lalu bagaimana dengan Ani? Ada kau pikirkan itu? (Iwan
Simatupang, 1966: 9).
BOPENG
(Marah) :
Hati-hati
dengan mulutmu, ya. Dia ini, Ati namanya. Dia ketemu tadi nangis-nangis di
pintu pelabuhan, mencari suaminya. Setengah modar aku tadi mengitari pelabuhan
bersama dia, tapi suaminya tetap tak ketemu? (Iwan
Simatupang, 1966: 9).
Mengetahui
Bopeng tersinggung, Pincang seperti sengaja mengolok-olok atau menyindir
Bopeng. Sehingga membuat Bopeng semakin tersinggung, berikut adalah dialog
Pincang dan Bopeng:
PINCANG
(Tertawa) :
Ha,
dimana-mana kawin, Kek ya? Dimana-mana meninggalkan pengantin baru, dengan
jani-jani setinggi langit berbaku-bakul. (Iwan Simatupang,
1966: 10).
BOPENG
(Sangat Tersinggung) :
Diam
kau!!! (Iwan Simatupang, 1966: 10).
Peristiwa
bagian ini akhirnya mengantarkan pada peristiwa berikutnya yaitu krisis atau
disebut juga klimaks.
d.
Krisis atau Titik Balik
Krisis
balik atau klimaks pada naskah drama RT. Nol RW. Nol adalah ketika Bopeng tak
kuat lagi menahan amarah ketika perkataan Pincang yang didengarnya dianggap
menyinggung perasaannya. Perkelahian antara keduanya tak dapat dihindari,
Bopeng menerkam Pincang, kemudian mencekiknya. Kemudian Kakek mencoba melerai
perkelahian tersebut dengan susah payah dan Ati menjerit ketakutan melihat
Pincang sedang dicekik oleh Bopeng. Mengenai penjelasan hal tersebut dapat
dilihat dari petikan prolog berikut:
BOPENG
HABIS SABARNYA. DITERKAMNYA PINCANG, DICEKIKNYA. KAKEK MELEPASKANNYA DENGAN
SANGAT SUSAH PAYAH. ATI MENJERIT KETAKUTAN. (Iwan
Simatupang, 1966: 10).
Krisis
tersebut juga tergambar pada dialog berikut:
KAKEK
(Nafasnya Satu-satu) :
Apa-apaan
nih? Haus darah apa? (Iwan Simatupang, 1966: 10).
BOPENG
:
Dari
tadi, dia cari fasal saja. (Iwan Simatupang, 1966: 10).
PINCANG
:
O,
apa aku harus menutup mulutku terus? Mengapa setiap ucapanku kauanggap sebagai
cari fasal saja? (Iwan Simatupang, 1966: 10).
BOPENG
:
Kuperingatkan
kau sekali lagi, jangan terlalu jauh mengada-ngada, ya Bung.
(Iwan Simatupang, 1966: 13).
PINCANG
:
Kalau
maksudmu, bahwa gara-gara ucapanku yang barusan kita terpaksa berkelahi, ya apa
boleh buat: Ayo berkelahi! Aku mungkin dapat kau kalahkan. Kau kekar, cocok
memang untuk kelasi. Mungkin kau aka dapat membunuh aku, dan tubuhku nanti kau
benamkan dalam lumpur sana. Tapi, untuk kali yang paling terakhir, dan demi
martabatmu sendiri sebagai seorang jantan, aku minta pada kau: (Berteriak) Berterusteranglah
kepada wanita cilik yang sedang dirundung malang ini! Ayo ceritakan, dengan
terbitnya matahari esok pagi, apa yang akan kau lakukan sesungguhnya? Apa
rencanamu yang sebenarnya dengan dia ini? Ayo, berkatalah terus terang
kepadanya. Jangan dirikan bangunan-bangunan harapan kosong baginya, sebab demi
Allah! Tiada dosa yang paling besar dari itu yang dapat kau lakukan
terhadapnya. (Iwan Simatupang, 1966: 13).
Krisis
pun berakhir setelah pernyataan Pincang diatas. Bopeng yang tadinya marah malah
berbalik menjadi tepesona dan kagum terhadap Pincang atas apa yang barusan katakannya. Bopeng tidak pernah menduga akan
hal yang dilakukan Pincang, sehingga membuat Bopeng terdiam.
e.
Penyelesaian atau Denoument
Pada
bagian ini pengarang mulai memecahkan persoalan melalui tokoh Ina dan tokoh
Bagong. Setelah pulang melayani laki-laki hidung belang, Ina pulang diantarkan
oleh Bang Becak langganan Ina sekaligus tunangannya. Akan tetapi Ina pulang
sendirian, sebab Ani tertangkap razia saat melayani si babah tamu langganannya.
Dan Ani bersedia menerima lamaran si Babah untuk dinikahi. Begitupun dengan
Ina, setelah menyerahkan titipan makanan dari Ani untuk Kakek, Ina pun
memberitahu kepada Kakek, Pincang, dan Bopeng bahwa ia juga sudah menerima
lamaran Bang Becak untuk dinikahi. Kemudian Ina meminta maaf dan berpamitan
kepada semuanya, termasuk pada Ati. Mengetahui peristiwa yang dialami Ati,
kemudian Ina menyerankan Ati untuk ulang ke kampung halamannya. Tidak hanya
itu, Ina juga memberikan uang kepada Ati untuk ongkos pulang ke kampung
halamannya.
Melihat
sikap Ina terhadap Ati, Bopeng pun kemudian meminta Pincang untuk mengantarkan
Ati pulang ke kampung halamannya dan Bopeng juga memberikan uang kepada Pincang
untuk ongkos pulang pergi.
Mengenai
penjelasan tersebut di atas, dapat dilihat dari petikan dialog berikut:
INA
:
Dan
akhirnya, kau Dik! Maafkan, bila aku tadi ada melukai hatimu. Kalaulah boleh
aku memberi hanya satu nasehat saja padamu: Pandanglah kami satu persatu yang
di sini ini. Kemudian, pandanglah keadaan yang dapat disajikan kolong jembatan
ini. Dik, besok pagi, pulanglah lempang-lempang kekampungmu. Nih, ambillah
semua uangku ini. Kukira, sekedar untuk ongkos pulangmu dan bekal di jalan,
cukup jugalah. Pulanglah, dik, segera! Jangan sempat kau menghirup iklim
gelandangan ini. Sekali kau menghirupnya, kau tak dapat lagi melepaskan dirimu
dari lilitan-lilitan guritanya. (Iwan Simatupang,
1966: 22).
BOPENG
(Tersadar)
:
Ya,
dan agar benar-benar terjamin kau pulang menuju kampungmu, maka pada si Pincang
kuminta supaya suka mengantarmu sampai di sana. Ongkos buat dia, pulang pergi,
biarlah aku yang tanggung. Nih, sisa persekotku tadi. Biarlah, aku toh tak
butuh apa-apa lagi. Di kapal, aku tak perlu uang.
(Iwan Simatupang, 1966: 22).
f.
Keputusan atau Catastrophe
Pada
bagian ini pengarang memberikan hasil dari penyelesaian. Peristiwa tersebut
disajikan pada adegan V yang menceritakan ketulusan hati Pincang untuk
mengantarkan Ati pulang ke kampung halamannya.
Mengenai
penjelasan tersebut di atas, dapat dilihat dari petikan monolog berikut:
PINCANG
:
Ya,
aku telah bertekad ingin memulai segala-galanya dengan benar-benar suci bersih.
Aku besok mengantarnya kesana dengan tidak sedikitpun anggapan sebagai calon
menantu seperti yang kalian gambarkan tadi. Apa alasanku untuk menganggap
begitu saja, bahwa orang tuanya secara otomatis bakal menerima aku sebagai
menantunya? Kemungkinan, bahkan hak penuh mereka untuk menolak aku, tetaplah
ada dan ada baiknya sejak semula ikut diperhitungkan. Ya, aku ingin kesana,
tapi dengan patokan bermula: aku benar-benar ingin kerja. Kembali kerja! Kembali merasakan keutuhan dan
kedaulatan tubuhku di dalam teriknya matahari, dengan kesadaran bahwa
butir-butir keringatku yang mengucur itu adalah taruhanku untuk sesuap nasi
yang halal. Soal menantu, kawin, cinta… ah, hendaknya aku diperkenankan kiranya
tidak dulu mempunyai urusan apa-apa dengan itu semuanya. Kerangka-kerangka yang
disebut Ina tadi, ingin kukubur… setidaknya untuk sementara dulu. Aku ingin
mengembalikan seluruh kedirianku kembali kekesegarannya semula, yang dulu…
entah telah berapa puluh tahun yang lalu, telah hilang… oleh salahku sendiri.
Aku harap, Ina, maupun orang tuanya, sudi memandang diriku dalam kerangka
persoalan seperti ini, dan tidak menganggap aku di sana sebagai lebih dari itu.
Aku datang sebagai pelamar kerja, pelamar keadaan dan kemungkinan hidup yang
baik kembali. . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 22).
Suasana
berubah menjadi hening, semuanya terharu dengan kata-kata Pincang. Kakek dan
Bopeng mendekat pada Pincang kemudian memeluknya. Ati mulai merasakan
kekaguman, cinta, dan kasih sayang yang tulus dari Pincang. Kemudian Ati
mengajak Kakek untuk ikut ke kampung halamannya, mengingat semua penghuni
kolong jembatan akan pergi semua hanya tinggal Kakek seorang diri. Namun Kakek
lebih memilih untuk tetap tinggal di kolong jembatan, karena bagi Kakek kolong
jembatan tersebut begitu sangat berarti. Penjelasan tersebut dapat dilihat dari
petikan dialog berikut:
ATI
:
Kami
besok berangkat semuanya, kecuali Kakek. (Iwan Simatupang,
1966: 27).
KAKEK
(Tetap Rebah, Suaranya Mengantuk) :
Aku?
Mau kemana aku? (Iwan Simatupang, 1966: 27).
ATI
:
Ikutlah
kami besok kekampungku, Kek. (Iwan Simatupang,
1966: 27).
KAKEK
:
Ikut?
Aku sudah terlalu tua untuk ikut dengan siapa-siapapun. Lagipula, kalau kita
semuanya pergi, bagaimana dengan kolong jembatan ini? Dengan Rt-Nol/Rw-Nol ini
seperti kata Ina tadi? (Iwan Simatupang, 1966: 27).
ATI
:
Justru
oleh karena hal-hal itulah, Kek, bukankah dia tidak milik siapa-siapa? Kakekpun
boleh saja meninggalkannya. (Iwan Simatupang, 1966: 27).
KAKEK
:
Ah,
kau tak tahu apa arti kolong jembatan ini dalam hidupku. Sebagian dari hidupku,
kuhabiskan di sini. . . . . . (Iwan Simatupang,
1966: 27).
3.
6. Latar atau Setting
Latar
atau setting merupakan penggambaran mengenai tempat, waktu, lingkungan sosial,
dan suasana dalam cerita. Latar pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol
karya Iwan Simatupang adalah sebagai berikut:
a. Latar Tempat
Secara
umum latar tempat pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan
Simatupang hanya di satu tempat, yaitu di kolong jembatan. Akan tetapi
pengarang mencoba memberikan penjelasan lebih spesifik mengenai bagian-bagian
kolong jembatan tersebut. Latar tempat pada naskah ini dapat diketahui baik
pada prolog maupun dari dialog para tokoh.
1)
Di kolong jembatan
Hal tersebut dapat
dilihat dari bukti kutipan prolog dan monolog tokoh dibawah ini:
Ø KOLONG SUATU JEMBATAN UKURAN
SEDANG, DI SUATU KOTA BESAR. PEMANDANGAN BIASA DARI SUATU PEMUKIMAN KAUM
GELANDANGAN. . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 1).
Ø INA LARI MENINGGALKAN KOLONG
JEMBATAN, . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 23).
. . . . .
SUARA-SUARA MALAM DI KOLONG JEMBATAN, SEPERTI JANGKRIK-JANGKRIK, KODOK-KODOK
BERSAHUTAN. . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 26).
Ø KAKEK :
Gandengan
lagi! Nanti roboh jembatan ini. . . . . . (Iwan
Simatupang, 1966: 1).
Ø KAKEK :
.
. . . . . Di manakah lagi harga diri di kolong jembatan ini? (Iwan
Simatupang, 1966: 6).
Ø PINCANG :
.
. . . . . Bahwa dari tubuh dan pakaian kita menyusup uap yang pesing, uap dari
air kali yang butek di kolong jembatan ini, salah kitakah ini?
(Iwan Simatupang, 1966: 7).
Ø PINCANG :
.
. . . . . Kakekku yang terhormat: Apakah di kolong jembatan ini masih tempatku?
. . . . . (Iwan
Simatupang, 1966: 8).
Ø KAKEK :
Menanti-nantikan
datangnya kebetulan bernasib baik itulah yang sebenarnya kita lakukan tiap hari
di kolong jembatan ini. (Iwan Simatupang, 1966: 8).
Ø PINCANG :
Sedikit
cinta, sejemput bahagia… kesempatan untuk mengejar itu semua, setidaknya
tidaklah di kolong jembatan ini, Dik. (Iwan Simatupang,
1966: 13).
Ø KAKEK :
.
. . . . Pokoknya, berlayar! Pergi, jauh-jauh dari sini. Tiap tempat lainnya,
pastilah lebih baik dari kolong jembatan kita ini.
(Iwan Simatupang, 1966: 13).
Ø INA :
.
. . . . apakah yang dapat kauberikan padaku, di luar kolong jembatan ini?
(Iwan Simatupang, 1966: 20).
Ø INA :
.
. . . . . betapa Abang telah menghambur-hamburkan kerangka karangan-karangan
Abang itu dalam percakapan-percakapan kecil tentang kisah-kisah kecil yang
menjemukan di kolong jembatan ini. Ya, kolong jembatan ini telah membunuh dan
mengubur tokoh pengarang pada diri Abang itu. . . . . (Iwan
Simatupang, 1966: 21).
Ø INA :
.
. . . . Kemudian, pandanglah keadaan yang dapat disajikan kolong jembatan ini.
. . . . (Iwan
Simatupang, 1966: 22).
Ø KAKEK :
. . . . . Lagipula, kalau kita semuanya pergi,
bagaimana dengan kolong jembatan ini? . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 26).
Ø KAKEK :
Ah,
kau tak tahu apa arti kolong jembatan ini dalam hidupku. . . . . .
(Iwan Simatupang, 1966: 26).
2)
Di tepi bawah jembatan
Hal tersebut
dapat dilihat dari bukti kutipan prolog dibawah ini:
ANI
KESAL. IA PERGI KETEPI BAWAH JEMBATAN, . . . . . .
(Iwan Simatupang, 1966: 2).
3)
Di pilar jembatan
Hal tersebut
dapat dilihat dari bukti kutipan prolog dibawah ini:
Ø
KAKEK DUDUK DI SAMPING PINCANG DI BETON SEMEN SALAH SATU PILAR
JEMBATAN. (Iwan Simatupang,
1966: 6).
Ø
BOPENG TERDIAM. TAMPAK IA LETIH BENAR. DIA DUDUK DI BETON DEKAT
PILAR JEMBATAN. . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 11).
4)
Di pojok jembatan
Hal tersebut
dapat dilihat dari bukti kutipan prolog dibawah ini:
Ø BOPENG DAN PINCANG TAMPAK PERGI
KEPOJOK SEBELAH SANA DARI KOLONG JEMBATAN, DAN MEREBAHKAN DIRINYA DI SANA. . .
. . . (Iwan Simatupang, 1966: 26).
5)
Di atas jembatan
Hal tersebut
dapat dilihat dari bukti kutipan prolog dibawah ini:
Ø
HUJAN TELAH REDA. KEMBALI JELAS DERU-DERU LALU LINTAS DI ATAS
JEMBATAN. MASUK BOPENG DAN ATI. (Iwan
Simatupang, 1966: 8).
Ø ATI TERISAK-ISAK. MENANGIS. HENING.
SESEKALI KEDENGARAN DERU LALU LINTAS LEWAT DI ATAS JEMBATAN. . . . . . (Iwan
Simatupang, 1966: 12).
Ø LENGANG. HANYA SUARA HALILINTAR DI
ATAS JEMBATAN SESEKALI KEDENGARAN. (Iwan Simatupang, 1966:
16).
Ø . . . . . . DI ATAS JEMBATAN
SESEKALI LALU LINTAS TERDENGAR MENDERA. (Iwan Simatupang, 1966:
26).
b. Latar Waktu
Latar
waktu pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang dari
mulai adegan pertama sampai adegan terakhir settingnya pada malam hari. Pada
naskah ini setting waktu dapat diketahui secara gamblang oleh pembaca, sebab pengarang
menjelaskan secara langsung setting waktu tersebut baik pada prolog maupun
dalam dialog. Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan monolog tokoh
dibawah ini:
Ø ANI :
.
. . . . . Dengarkan baik-baik: Yang belum tentu adalah kalau hujan benar-benar
turun– kita bisa makan malam ini. (Iwan Simatupang, 1966:
2).
Ø ANI :
.
. . . . Tidak, malam ini aku benar-benar ingin makan yang enak . . . . . (Iwan
Simatupang, 1966: 2).
Ø Ani :
.
. . . . Ya, tuan-tuan. Semuanya itu akan kami nikmati malam ini . . . . . (Iwan
Simatupang, 1966: 4).
Ø ANI :
Kalau
rejeki kami baik malam ini, kami akan pulang bawa oleh-oleh.
(Iwan Simatupang, 1966: 5).
Ø PINCANG :
.
. . . . maka Adik kemari ini hanyalah sekedar untuk menumpang bermalam untuk
satu malam ini saja? Lalu, bagaimana besok? (Iwan
Simatupang, 1966: 13).
Ø KAKEK :
Entah
apa rencananya Dewa-Dewa dengan mengirimkan dua kali dalam semalam ini makanan
dari jenis yang sekian tahun belakangan ini memimpikannyapun kita, sebagai
orang gelandangan, tak berani. Tiba-tiba, malam ini, bintang-bintang di langit,
dan rupanya juga roh nenek moyang kita, ingin berseloroh dengan kita. Dan
sekedar untuk melengkapkan unsur bergurau itu pada pengalaman aneh kita malam
ini, . . . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 15).
Ø KAKEK :
.
. . . . malam ini kita semuanya terlalu penuh dengan perasaan kita
masing-masing, sehingga pastilah kita tidak mungkin akan dapat tidur. . . .
. (Iwan
Simatupang, 1966: 24).
Ø KAKEK :
.
. . . . Malam telah larut juga, sedang matahari besok pagi sudah mengantar
beberapa dari kita ketempat yang jauh-jauh. Bahkan, ada yang harus berlayar. .
. . . (Iwan Simatupang, 1966: 24).
c. Latar Sosial
Latar
sosial tokoh-tokoh pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan
Simatupang secara umum sama, yaitu sebagai golongan orang-orang yang
tersisihkan dan selalu dipandang sebelah mata oleh masyarakat dan pemerintah.
Akan tetapi sebelum mereka tinggal di kolong jembatan yang mereka namai RT. Nol
RW. Nol, mereka mempunyai latar belakang berbeda. Misalnya tokoh Kakek, ketika
ia masih kanak-kanak tokoh Kakek adalah orang yang lingkup sosialnya tinggi
dilihat dari sisi ekonomi.
Hal tersebut
dapat dilihat dari bukti kutipan monolog dibawah ini:
Ø KAKEK:
.
. . . . Tapi, bagaimana aku bisa melupakan nasi panas, daging rendang, telor,
pisang raja? Tidak bisa, nak. Sama seperti tidak bisanya aku melupakan ranjang
kanak-kanakku dulu; melupakan bubur merahputih yang sangat kusukai, bila ibuku
menyuguhkannya padaku sehabis aku sakit parah; melupakan uap sanggul ibuku
sehabis mandi, kemudian melenakan aku tidur dengan cerita-cerita wayang,
tentang Gatotkaca yang perkasa, tentang Dewi Sinta, . . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 6).
Ø KAKEK :
. . . . . Aku seolah kembali merasakan
kantukku yang dulu, ketika ibuku melenakan aku tidur itu. . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 6).
Begitupun
dengan tokoh Ati, sebelum ia dibawa oleh Bopeng ke kolong jebatan tokoh Ati
adalah orang yang lingkup sosialnya tinggi dilihat dari sisi ekonomi.
Hal tersebut
dapat dilihat dari bukti kutipan monolog dibawah ini:
ATI
:
Malu,
Kek. Kami berangkat dari sana dengan pesta dan doa segala. Dan koperku, dengan
segala pakaian dan perhiasan emasku di dalamnya, telah dia bawa kabur. (Iwan
Simatupang, 1966: 10).
Sedangkan
tokoh Ani, Ina, Pincang, dan Bopeng tidak dijelaskan latar sosialnya sebelum
mereka tinggal di kolong jembatan. Tokoh-tokoh tersebut hanya dijelaskan
profesi mereka masing-masing: tokoh Ani dan Ina berprofesi sebagai Pekerja Sex
Komersial (PSK), tokoh Pincang sebagai gelandangan/pemulung, tokoh Bopeng
sebagai perampok. Meski profesi mereka berbeda namun latar sosial mereka sama,
yakni sebagai orang-orang yang lingkup sosialnya rendah baik dilihat dari sudut
pandang ekonomi, kesejahteraan, maupun dari sudut pandang agama.
d. Latar Suasana
Latar
suasana yang terdapat pada naskah drama yang berjudul RT. Nol
RW. Nol karya Iwan Simatupang sangat beragam dalam menghiasi lakon cerita. Suasana-suasana
tersebut diantaranya: suasana marah, tegang, sedih, dan haru.
1)
Suasana Marah
Suasana marah tampak terjadi
pada adegan III pada saat Picang menanyakan masalah Ati, orang yang dibawa
Bopeng dari pelabuhan. Bopeng merasa tersinggung dengan pertanyaan Pincang yang
terkesan menyudutkannya, dan akhirnya Bopeng marah pada Pincang.
Hal tersebut
dapat dilihat dari bukti kutipan dialog dibawah ini:
PINCANG
(Batuk-Batuk) :
Darimana
kau petik dia? Lalu bagaimana dengan Ani? Ada kau pikirkan itu?
(Iwan Simatupang, 1966: 9).
BOPENG
(Marah) :
Hati-hati
dengan mulutmu, ya. Dia ini, Ati namanya. Dia ketemu tadi nangis-nangis di
pintu pelabuhan, mencari suaminya. Setengah modar aku tadi mengitari pelabuhan
bersama dia, tapi suaminya tetap tak ketemu. (Iwan
Simatupang, 1966: 9).
2)
Suasana Tegang
Suasana tegang
tampak terjadi pada adegan III, suasana ini terjadi akibat ketegangan antara
Bopeng dan Pincang. Ketika Pincang meminta kepada Bopeng untuk berterus terang
mengenai maksud dan tujuannya membawa Ati ke kolong jembatan, akan tetapi
Bopeng menganggap setiap perkataan yang keluar dari mulut Pincang sebagai cari
fasal. Sehingga suasana tegangpun terjadi.
Hal tersebut
dapat dilihat dari bukti kutipan dialog dibawah ini:
BOPENG
:
Kuperingatkan
kau sekali lagi, jangan terlalu jauh mengada-ngada, ya Bung. (Iwan
Simatupang, 1966: 14).
PINCANG
:
Kalau
maksudmu, bahwa gara-gara ucapanku yang barusan kita terpaksa berkelahi, ya apa
boleh buat: Ayo berkelahi! Aku mungkin dapat kau kalahkan. Kau kekar, cocok
memang untuk kelasi. Mungkin kau aka dapat membunuh aku, dan tubuhku nanti kau
benamkan dalam lumpur sana. Tapi, untuk kali yang paling terakhir, dan demi
martabatmu sendiri sebagai seorang jantan, aku minta pada kau: (Berteriak)
Berterusteranglah kepada wanita cilik yang sedang dirundung malang ini! Ayo
ceritakan, dengan terbitnya matahari esok pagi, apa yang akan kau lakukan
sesungguhnya? Apa rencanamu yang sebenarnya dengan dia ini? Ayo, berkatalah
terus terang kepadanya. Jangan dirikan bangunan-bangunan harapan kosong
baginya, sebab demi Allah! Tiada dosa yang paling besar dari itu yang dapat kau
lakukan terhadapnya. (Iwan Simatupang, 1966: 14).
3)
Suasana Sedih
Suasana sedih
tampak terjadi pada adegan IV pada saat Ina menceritakan Kakaknya telah
menerima lamaran Si Babah. Kemudian Ina juga sudah memutuskan menerima lamaran
Bang Becak meski tak didasari rasa cinta yang tulus. Keputusan Ani dan Ina
untuk menerima lamaran semata-mata karena ingin mempunyai kedudukan tetap,
mempunyai alamat tetap, mendapatkan pengakuan, dan yang pasti mempunyai Kartu
Tanda Penduduk (KTP).
Hal tersebut
dapat dilihat dari bukti kutipan monolog dibawah ini:
Ø INA :
Dan
aku sangat gembira atas putusan Kak Ani itu. Biar dengan babah gemuk gituan
sekalipun, entah memang dia licik, entah Kak Ani yang kurang seksama dalam
pertimbangannya, tapi setidaknya mulai sekarang Kak Ani mempunyai kedudukan
tetap, punya alamat tetap, ya… (Menangis) punya kartu penduduk tetap!
(Iwan Simatupang, 1966: 20).
Ø INA (Menyeka Air Matanya) :
Dan
aku sendiripun sekarang ingin menyampaikan sesuatu kepada kalian. Akupun…
(Terisak) akupun tadi telah mengambil keputusan buat diriku sendiri. Aku telah
terima lamaran bang becak itu. (Iwan Simatupang,
1966: 20).
Ø INA :
.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Dan
bila aku tadi menerima lamaran bang becak itu, maka itu berarti, bahwa belum
tentu aku mencintainya; itu berarti, bahwa pada hakekatnya aku masih tetap
pengagum kata-katamu yang dalam-dalam maknanya itu. Tapi juga, Bang, bahwa aku
lebih gandrung akan kepastian, kenyataan dan kejelasan.
.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. (Iwan
Simatupang, 1966: 21).
4)
Suasana Haru
Suasana Hening tampak terjadi
pada adegan V atau adegan terakhir. Suasana haru terjadi ketika Ati mengajak
Kakek untuk ikut ke kampung dan tinggal di kampung halamannya. Namun kakek
menolak ajakan Ati, ia lebih memilih tetap tinggal di kolong jembatan karena
bagi Kakek kolong jembatan yang selama ini ditempati sangat berarti baginya.
Hal tersebut
dapat dilihat dari bukti kutipan dialog dibawah ini:
ATI
:
Kami
besok berangkat semuanya, kecuali Kakek. (Iwan
Simatupang, 1966: 26).
KAKEK
(Tetap Rebah, Suaranya Mengantuk) :
Aku?
Mau kemana aku? (Iwan Simatupang, 1966: 26).
ATI
:
Ikutlah
kami besok kekampungku, Kek. (Iwan Simatupang, 1966:
26).
KAKEK
:
Ikut?
Aku sudah terlalu tua untuk ikut dengan siapa-siapapun. Lagipula, kalau kita
semuanya pergi, bagaimana dengan kolong jembatan ini? Dengan Rt-Nol/Rw-Nol ini
seperti kata Ina tadi? (Iwan Simatupang, 1966: 26).
ATI
:
Justru
oleh karena hal-hal itulah, Kek, bukankah dia tidak milik siapa-siapa? Kakekpun
boleh saja meninggalkannya. (Iwan Simatupang, 1966:
26).
KAKEK
:
Ah,
kau tak tahu apa arti kolong jembatan ini dalam hidupku. Sebagian dari hidupku,
kuhabiskan di sini. Memang, dia milik siapa saja yang datang kemari karena
rupa-rupanya memang tak dapat berbuat lain lagi. Ia milik manusia-manusia yang
terpojok dalam hidupnya. Yang kenangannya berjungkiran, dan tak tahu akan
berbuat apa dengan harapan-harapan dan cita-citanya. Yang meleset menangkap
irama dari kurun yang sedang berlaku. Pada diriku, semuanya yang kusebut tadi itu terdapat
saling tindih menindih, berlapis-lapis, dan sebagai selaput luarnya yang makin
keras: usiaku yang semakin tua! Semakin tua kita, semakin lamban kita, semakin
keluar kita dari rel… dan akhirnya: dari tuna karya, kita jadi tuna hidup.
Selanjutnya, tinggallah lagi kita jadi beban bagi kuli-kuli kotapraja yang
membawa mayat kita ke RSUP. Apabila kita mujur sedikit, maka pada saat terakhir
mayat dan tulang-tulang kita masih dapat berjasa bagi ilmu urai kedokteran,
menjadi pahlawan-pahlawan tak dikenal bagi kemanusiaan. (Iwan
Simatupang, 1966: 27).
3.
7. Konflik
Konflik
pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang
menyelimuti semua tokoh, artinya semua tokoh yang terlibat dalam lakon tersebut
mempunyai konflik.
a.
Konflik Ani
Konflik
yang terjadi pada tokoh Ani tidak begitu tajam, dimana konflik yang terjadi
adalah konflik antara Ani dengan alam. Konflik pada diri Ani muncul ketika ia
hendak pergi menjalani profesinya sebagai PSK, namun kondisi alam kurang
bersahabat yakni turun hujan. Hal tersebut menimbulkan gejolak batin pada diri
Ani. Sebab, jika ia tidak jadi pergi, Ani tidak bisa makan enak seperti yang
diinginkannya. Sementara jika Ani memaksakan pergi, di luar turun hujan. Akan
tetapi pada akhirnya ada Bang Becak langganannya yang bersedia mengantarkan ia
ke tempat mangkal agar tidak kehujanan, dan akhirnya Ani pun tetap pergi.
Konflik Ani berada dalam valensi positif-positif.
Pergi
ke Diantar
tempat
--------------------------------------- ANI
---------------------------------- oleh
mangkal Bang
Becak
Hal
tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan prolog dan dialog dibawah ini:
SUARA
GELUDUK KERAS, DISUSUL KILATAN-KILATAN. TAK LAMA KEMUDIAN, HUJAN KEDENGARAN
TURUN LEBAT. (Iwan Simatupang, 1966: 5).
INA
(Melihat Ke Ani) :
Gimana,
kak? (Iwan Simatupang, 1966: 5).
ANI
:
Terus,
pantang mundur! Kita bukan dari garam, kan?! (Iwan
Simatupang, 1966: 5).
KAKEK
:
Selamat
bertugas! Entah basah, entah kering. Semoga kalian menemukan apa yang kalian
cari. (Iwan Simatupang, 1966: 5).
ANI
:
Kalau
rejeki kami baik malam ini, kami akan pulang bawa oleh-oleh.
(Iwan Simatupang, 1966: 5).
ANI
DAN INA DENGAN SEPOTONG TIKAR ROBEK MENUTUPI KEPALANYA, PERGI. HUJAN SEMAKIN
LEBAT JUGA. (Iwan Simatupang, 1966: 5).
b.
Konflik Ina
Konflik
yang terjadi pada tokoh Ina cukup tajam dan menarik, dimana konflik yang
terjadi adalah konflik antara Ina dengan Pincang. Konflik Ina dengan Pincang
muncul ketika Ina menerima lamaran Bang Becak. Pincang yang selama ini
mencintai sosok Ina jelas tidak rela jika Ina menerima lamaran Bang Becak. Hal
tersebut menimbulkan konflik yang cukup tajam. Meskipun Pincang mencoba
meyakinkan Ina untuk tetap tinggal bersamanya, namun Ina tetap pada pilihannya
yaitu menerima lamaran Bang Becak, meskipun tidak didasari cinta yang tulus.
Konflik antara Ina dengan Pincang berada dalam valensi positif-negatif, artinya
dengan Ina menerima lamaran Bang Becak kemungkinan besar hidup Ina akan lebih
baik, akan tetapi Ina harus siap menjalani hidup dengan orang yang tidak
dicintai dan harus melupakan laki-laki yang selama ini dikaguminya, yaitu
Pincang.
Kemungkinan Melupakan
hidup
akan ---------------------------------- INA
---------------------------------- orang
yang
lebih
baik dikagumi
Hal
tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dialog dibawah ini:
INA
(Menyeka Air Matanya) :
Dan
aku sendiripun sekarang ingin menyampaikan sesuatu kepada kalian. Akupun…
(Terisak) akupun tadi telah mengambil keputusan buat diriku sendiri. Aku telah
terima lamaran bang becak itu. (Iwan Simatupang, 1966:
20).
PINCANG
(Kaget) :
Bang
becak itu? (Iwan Simatupang, 1966: 20).
INA
(Menyeka Air Matanya) :
Aku
tahu, Abang (Melihat Pada Pincang) sudah lama tidak menyukai bang becak itu.
Tapi Bang, sekiranyalah aku menyerahkan diriku dan nasibku seterusnya padamu,
apakah yang dapat kauberikan padaku, di luar kolong jembatan ini?
(Iwan Simatupang, 1966: 20).
PINCANG
:
Kata
siapa, aku terus-terusan akan begini, dan di sini ini?
(Iwan Simatupang, 1966: 20).
c.
Konflik Bopeng
Konflik
yang terjadi pada tokoh Bopeng cukup tajam, dimana konflik yang terjadi adalah
konflik antara Bopeng dengan Pincang. Konflik Bopeng dengan Pincang muncul
ketika Bopeng membawa Ati ke kolong jembatan, di satu sisi Bopeng merasa
kasihan akan nasib yang menimpa Ati tapi di sisi lain Bopeng harus berhadapan
dengan Pincang yang mempunyai pemikiran negatif terhadap niat baik Bopeng.
Sehingga keteganganpun terjadi, dan pertengkaran antara Bopeng dengan Pincang
tak bisa dihindari. Konflik antara Bopeng dengan Pincang berada dalam valensi
positif-negatif, artinya dengan membawa Ati ke kolong jembatan setidaknya akan
meringankan beban Ati, maka bervalensi positif bagi Bopeng. Tetapi dengan
membawa Ati ke kolong jembatan, harus berhadapan dengan Pincang, yang mana
Pincang mempunyai pandangan negatif terhadap niat baik Bopeng, maka bervalensi
negatif bagi Bopeng.
Membawa Berhadapan
Ati
ke kolong ------------------------------ BOPENG
---------------------------- dengan
jembatan Pincang
Hal
tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dialog dibawah ini:
PINCANG
(Batuk-Batuk) :
Darimana
kau petik dia? Lalu bagaimana dengan Ani? Ada kau pikirkan itu? (Iwan
Simatupang, 1966: 9).
BOPENG
(Marah) :
Hati-hati
dengan mulutmu, ya. Dia ini, Ati namanya. Dia ketemu tadi nangis-nangis di
pintu pelabuhan, mencari suaminya. Setengah modar aku tadi mengitari pelabuhan
bersama dia, tapi suaminya tetap tak ketemu. (Iwan
Simatupang, 1966: 9).
d.
Konflik Ati
Konflik
yang terjadi pada tokoh Ati tidak terlalu tajam, dimana konflik yang terjadi
adalah konflik antara Ati dengan batinnya. Konflik Ati dengan batinnya muncul
ketika Ati sudah dibawa ke kolong jembatan oleh Bopeng yang ditemui di
pelabuhan, kemudian Kakek menyarankan agar Ati pulang lagi ke kampung
halamannya. Akan tetapi Ati merasa malu, sebab ketika Ati hendak berangkat dari
kampungnya dirayakan dulu dengan mengadakan pesta. Selain itu, koper, pakaian,
dan perhiasan yang dibawanya dari kampung telah dibawa kabur oleh suaminya,
sehingga Ati tidak mempunyai uang sepeserpun. Sehingga konflik antara Ati dengan
perasaannya berada dalam valensi negatif-negatif.
Malu Tak
punya
pulang
------------------------------------ ATI
------------------------------------- uang
untuk
ke
kampung ongkos
Hal
tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan monolog dibawah ini:
ATI
:
Malu,
Kek. Kami berangkat dari sana dengan pesta dan doa segala. Dan koperku, dengan
segala pakaian dan perhiasan emasku di dalamnya, telah dia bawa kabur.
(Iwan Simatupang, 1966: 10).
e.
Konflik Pincang
Konflik
yang terjadi pada tokoh Pincang cukup tajam, dimana konflik yang terjadi adalah
konflik antara Pincang dengan Batinnya. Konflik Pincang dengan Batinnya muncul
ketika Pincang akan mengantarkan Ati pulang ke kampung halamannya. Ati dan
Kakek menyarankan agar Pincang tinggal dulu beberapa hari di sana, dengan
tujuan agar Pincang bisa istriahat dulu, barang kali disana Pincang bisa
mendapat pekerjaan, bahkan siapa tahu Pincang diterima sebagai calon menantu
orang tua Ati. Awalnya Pincang tidak langsung bersedia, akan tetapi pada akhirnya
Bopeng bersedia mengantarkan Ati pulang ke kampung halamannya dengan motif
hanya ingin mengantarkan Ati dan mencoba mencari pekerjaan di sana. Sehingga konflik
antara Pincang dengan batinnya berada dalam valensi positif-positif.
Mengantarkan Mencari
Ati
pulang ---------------------------- PINCANG
----------------------------- pekerjaan
ke
kampungnya di
kampung Ati
Hal
tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan monolog dibawah ini:
. . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Aku
besok mengantarnya kesana dengan tidak sedikitpun anggapan sebagai calon
menantu seperti yang kalian gambarkan tadi. Apa alasanku untuk menganggap
begitu saja, bahwa orang tuanya secara otomatis bakal menerima aku sebagai
menantunya? Kemungkinan, bahkan hak penuh mereka untuk menolak aku, tetaplah
ada dan ada baiknya sejak semula ikut diperhitungkan. Ya, aku ingin kesana,
tapi dengan patokan bermula: aku benar-benar ingin kerja. Kembali kerja! Kembali merasakan keutuhan dan
kedaulatan tubuhku di dalam teriknya matahari, dengan kesadaran bahwa
butir-butir keringatku yang mengucur itu adalah taruhanku untuk sesuap nasi
yang halal. Soal menantu, kawin, cinta… ah, hendaknya aku diperkenankan kiranya
tidak dulu mempunyai urusan apa-apa dengan itu semuanya. Kerangka-kerangka yang
disebut Ina tadi, ingin kukubur… setidaknya untuk sementara dulu. Aku ingin
mengembalikan seluruh kedirianku kembali kekesegarannya semula, yang dulu…
entah telah berapa puluh tahun yang lalu, telah hilang… oleh salahku sendiri.
Aku harap, Ati, maupun orang tuanya, sudi memandang diriku dalam kerangka
persoalan seperti ini, dan tidak menganggap aku di sana sebagai lebih dari itu.
Aku datang sebagai pelamar kerja, pelamar keadaan dan kemungkinan hidup yang
baik kembali. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (Iwan
Simatupang, 1966: 25).
f.
Konflik Kakek
Konflik
yang terjadi pada tokoh Kakek cukup tajam dan serius, dimana konflik yang terjadi
adalah konflik antara Kakek dengan Batinnya. Konflik Kakek dengan Batinnya
muncul ketika Ati mengajak Kakek untuk ikut ke kampung halamannya, akan tetapi
Kakek lebih memilih tetap tinggal di kolong jembatan. Pada saat itu terjadilah
gejolak batin yang sangat luar biasa, sebab jika Kakek bersedia ikut dengan Ati
kemungkinan besar hidup Kakek akan lebih baik di sana. Tetapi Kakek tidak bisa
begitu saja meninggalkan kolong jembatan yang sudah puluhan tahun menjadi
tempat tinggalnya, bagi Kakek meskipun kolong jembatan yang ditempatinya tidak
layak dijadikan sebagai tempat tinggal, serba kekurangan, dan bisa saja
mengancam nyawanya, tapi kolong jembatan tersebut sangat berarti bagi hidup
Kakek. Konflik antara Kakek dengan Batinnya berada dalam valensi negatif-negatif.
Tetap
tinggal Tetap
hidup
di
kolong ------------------------------ KAKEK
------------------------------- sebagai
jembatan gelandangan
Hal
tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dialog dibawah ini:
ATI :
Kami besok berangkat semuanya, kecuali
Kakek. (Iwan Simatupang, 1966: 26).
KAKEK (Tetap Rebah, Suaranya Mengantuk) :
Aku? Mau kemana aku?
(Iwan Simatupang, 1966: 26).
ATI :
Ikutlah kami besok kekampungku,
Kek.
(Iwan Simatupang, 1966: 26).
KAKEK :
Ikut? Aku sudah terlalu tua untuk
ikut dengan siapa-siapapun. Lagipula, kalau kita semuanya pergi, bagaimana
dengan kolong jembatan ini? Dengan Rt-Nol/Rw-Nol ini seperti kata Ina tadi?
(Iwan Simatupang, 1966: 26).
ATI
:
Justru oleh karena hal-hal itulah,
Kek, bukankah dia tidak milik siapa-siapa? Kakekpun boleh saja meninggalkannya.
(Iwan Simatupang, 1966: 26).
KAKEK :
Ah, kau tak tahu apa arti kolong
jembatan ini dalam hidupku. Sebagian dari hidupku, kuhabiskan di sini. . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(Iwan
Simatupang, 1966: 27).
3.
8. Dialog
Dialog
pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang adalah
menggunakan gaya ping-pong dan narasi. Pengarang mencoba mengkombinasikan dua
gaya tersebut, sehingga ketika naskah tersebut dibaca tidak terasa monoton.
Hal
tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dialog dibawah ini:
KAKEK :
Rupa-rupanya, mau hujan lebat.
(Iwan Simatupang, 1966: 1).
PINCANG (Tertawa) :
Itu kereta-gandengan lewat, kek!
(Iwan Simatupang, 1966: 1).
KAKEK :
Apa?
(Iwan Simatupang, 1966: 1).
PINCANG :
Itu, truk yang pakai gandengan,
lewat. (Iwan Simatupang, 1966: 1).
KAKEK :
Gandengan lagi! Nanti roboh
jembatan ini. Bukankah dilarang gandengan lewat di sini.
(Iwan
Simatupang, 1966: 1).
ANI :
Lalu?
(Iwan Simatupang, 1966: 1).
KAKEK :
Hendaknya, peraturan itu
diturutlah. (Iwan Simatupang, 1966: 1).
ANI TERTAWA TERBAHAK-BAHAK.
KAKEK :
Kalau begitu apa guna larangan?
(Iwan Simatupang, 1966: 1).
ANI :
Untuk dilanggar.
(Iwan Simatupang, 1966: 1).
KAKEK :
Dan kalau sudah dilanggar?
(Iwan Simatupang, 1966: 1).
ANI :
Negara punya kesibukan. Kesibukan
itu namanya: bernegara. (Iwan Simatupang,
1966:1).
Dialog
di atas merupakan dialog ping-pong yang terdapat pada naskah RT. Nol RW. Nol,
ketika membaca naskah tersebut pembaca akan disuguhkan dialog-dialog singkat
dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Tetapi pengarang juga menyelipkan
beberapa dialog dalam bentuk narasi.
Hal
tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan monolog Bopeng dan monolog Ina
dibawah ini:
BOPENG :
Kukira,
tidak pantas melarang orang yang mau menunaikan ibadahnya. Soal najis atau
lendir, itu semata-mata urusan lempeng antara dia dengan Tuhan sendiri. Bukan
dengan panitia haji. Kukira, Tuhan memandang soalnya kira-kira begini: Untuk
soal lendirnya, dia terang berdosa. Untuk naik hajinya, jelas dia berbuat
kebaikan dan pahala. Mana yang lebih berat timbangannya, hanya Tuhan yang tahu.
Jelas itu tak dikatakan-Nya pada kita. Nah, oleh sebab itu, mengapa pula kita
mesti ikut-ikutan mengadili bang becak lihay yang jadi haji itu di dunia kita
ini? Kalau kita bertemu dengan dia, apa salahnya kita bilang: Selamat sore, Pak
Haji? Dan apakah rokok yang kemudian ditawarkannya padaku harus kutolak, hanya
oleh karena hati kecilku mungkin pada saat itu berkata: Awas, rokok dibeli dari
uang lendirnya? Tidak, rokoknya kuterima. Bila rokoknya memang enak, ia akan
kunikmati. Dan bila tidak, rokok itu dilemparkan kejalan. Titik. Demikianlah
aku memandang persoalannya. (Iwan Simatupang, 1966:
17).
INA :
Abang
selama ini telah banyak bercerita padaku tentang masa depan, tentang cita-cita
dan bahagia. Tapi, aku sedikitpun tak ada melihat, bahwa Abang sungguh-sungguh
ingin menebus kata-kata itu dengan perbuatan. Terus terang saja, Bang, aku
memang selalu mengagumi ucapan-ucapan Abang. Sungguh dalam-dalam maknanya! Dan
kata-kata, dengan mana Abang mengatakannya sungguh lain dari yang lain.
Bermalam-malam aku, tergolek di samping Abang, melanturkan angan-anganku
menerawang entah kemana: Ah, sekiranya betullah semua yang diucapkan laki-laki
pujaanku ini, aku pastilah jadi wanita yang paling bahagia di dunia ini.
Tapi,
dengan hati yang pedih aku dari hari kehari melihat, dan mengalami, bahwa semua
ucapan Abang itu bakal tetap tinggal cuma kata-kata saja. Aku melihat pada diri
Abang semacam kejanggalan laku dan sikap untuk berbuat, untuk bertindak. Abang
gamang berbuat sesuatu. Abang adalah manusia khayal dan kata-kata semata, dan
asing sekali di bumi dari otot-otot, debu, deru dan keringat berkucuran. Semula
masih ada harapanku diam-diam, bahwa Abang pada suatu hari akan mengungkapkan
diri Abang sebagai seorang pengarang. Tapi, alangkah kecewanya aku melihat,
betapa Abang telah menghambur-hamburkan kerangka karangan-karangan Abang itu
dalam percakapan-percakapan kecil tentang kisah-kisah kecil yang menjemukan di
kolong jembatan ini. Ya, kolong jembatan ini telah membunuh dan mengubur tokoh
pengarang pada diri Abang itu. Dan aku, gelandangan biasa saja, yang diburu
oleh sekian kekurangan dan kenangan buruk di masa yang lampau, aku tak mampu
lagi mencernakan kata-kata Abang itu sebagaimana mestinya. Walhasil, bagiku
Abang adalah seorang aneh, tak lebih dan tak kurang dari seorang parasit.
Dan bila aku tadi
menerima lamaran bang becak itu, maka itu berarti, bahwa belum tentu aku
mencintainya; itu berarti, bahwa pada hakekatnya aku masih tetap pengagum
kata-katamu yang dalam-dalam maknanya itu. Tapi juga, Bang, bahwa aku lebih
gandrung akan kepastian, kenyataan dan kejelasan. Bukannya aku tak sadar, apa
dan bagaimana nasib seorang isteri dari seorang bang becak. Mungkin aku bukan
isterinya satu-satunya. Mungkin aku akan berhari-hari tak melihat dia, tak
menerima uang belanja. Mungkin tak lama lagi aku bakal jadi perawat dia yang
sudah struk dan tak kuat lagi menarik becaknya, batuk-batuk darah. Tapi, itu
semuanya rela kuterima, Bang, demi – dapatnya aku memiliki sebuah kartu
penduduk! Kartu penduduk, yang bagiku berarti: berakhirnya segala yang tak
pasti. Berakhirnya rasa takut dan dikejar-kejar seolah setiap saat polisi
datang untuk merazia kita, membawa kita dengan truk-truk terbuka ke
neraka-neraka terbuka yang di koran-koran disebut sebagai “taman-taman latihan
kerja untuk kaum tuna karya”. Gambar kita di atas truk terbuka itu dimuat
besar-besar di koran. Tapi, kemudian koran-koran bungkem saja mengenai
penghinaan-penghinaan yang kita terima di sana. Kemudian kita dengan sendirinya
berusaha dapat lari dari sana, untuk kemudian terdampar lagi di tempat-tempat
seperti ini. Tidak, Bang! Mulai sekarang, aku mengharapkan tidurku bisa
nyenyak, tak lagi sebentar-sebentar terkejut bangun, basah kuyup oleh keringat
dingin. (Iwan Simatupang, 1966: 21).
Setelah
dianalisis, ternyata pengarang lebih dominan menggunakan dialog bergaya
ping-pong dibanding bentuk narasi. Jika ditinjau dari aspek rima, pengarang
tidak terlalu memperhitungkan aspek rima, seperti terlihat pada kutipan dialog
Kakek, Pincang, dan Ani di atas. Ditinjau dari aspek bahasa, selain menggunakan
bahasa sederhana yang mudah dipahami layaknya percakapan bahasa sehari-hari,
dalam naskah RT. Nol RW. Nol pengarang juga mencoba memperhalus bahasanya agar
tidak terkesan jorok.
Hal
tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dialog dibawah ini:
INA
Singkatnya: Ketika mereka sedang
eh… (Iwan
Simatupang, 1966: 19).
PINCANG (Nyeletuk)
… pelesir… (Iwan
Simatupang, 1966: 19).
INA
Ya,
eh… di tempat mereka yang biasa, tiba-tiba ada razzia!
(Iwan Simatupang, 1966: 19).
PINCANG, BOPENG, KAKEK (Serempak)
Razzia?!! (Iwan
Simatupang, 1966: 19).
INA
Ya,
razia oleh polisi. Kami yang sedang menanti di luar, sempat lari. Kak Ani dan
si babah tertangkap basah. Mereka kami lihat digiring ketruk terbuka, bersama
sekian banyaknya lagi, laki-laki maupun perempuan.
. . . . . (Iwan Simatupang, 1966: 19).
Diksi “Pelesir” pada kutipan dialog
diatas maknanya adalah sedang melakukan hubungan intim yang dilakukan Ani
dengan laki-laki langganannya, akan tetapi pengarang mencoba memperhalus
bahasanya dengan memilih diksi “Pelesir”.
3.9.
Amanat
Amanat
yang dapat diambil dari naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan
Simatupang adalah sebagai berikut:
a. Jangan
memandang seseorang hanya dari satu sudut pandang!
Pada naskah RT.
Nol RW. Nol pengarang ingin menyampaikan pesan kepada pembaca, khususnya kepada
masyarakat yang selalu memandang sebelah mata terhadap orang-orang yang
hidupnya termarjinalkan, seperti; gelandangan, perampok, pemulung, PSK, dan
sebagainya. Umumnya masyarakat selalu memandang negatif terhadap mereka, mereka
selalu dipandang sebagai orang yang tak bisa bekerja, sebagai orang yang selalu
mengharap belas kasih dari orang lain, sebagai kasta paling hina, sebagai kasta
paling rendah, dan lain-lain.
Hal
tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dialog dibawah ini:
KAKEK :
Kalau aku tak salah, kau tak
henti-hentinya cari kerja. (Iwan Simatupang, 1966: 7).
PINCANG :
Ya, tapi tak pernah dapat.
(Iwan Simatupang, 1966: 7).
KAKEK :
Alasannya?
(Iwan Simatupang, 1966: 7).
PINCANG :
Masyarakat punya
prasangka-prasangka tertentu terhadap jenis manusia seperti kita ini.
(Iwan Simatupang, 1966: 7).
KAKEK :
Eh, bagaimana rupanya seperti jenis
kita ini? (Iwan Simatupang, 1966: 7).
PINCANG :
Masyarakat telah mempunyai
keyakinan yang berakar dalam, bahwa manusia-manusia gelandangan seperti kita
ini sudah tak mungkin bisa bekerja lagi dalam arti yang sebenarnya. (Iwan
Simatupang, 1966: 7).
KAKEK :
Menurut
mereka, kita cuma bisa apa saja lagi?
PINCANG :
Tidak banyak, kecuali barangkali
sekedar mempertahankan hidup taraf sekedar tidak mati saja, dengan batok kotor
kita yang kita tengadahkan kepada siapa saja, kearah mana saja. Mereka anggap
kita ini sebagai suatu kasta tersendiri, kasta paling hina, paling rendah. (Iwan
Simatupang, 1966: 7).
KAKEK :
Hukum masyarakat tetap begitu.
Kalau mau melamar kerja, tampillah dengan tampangmu yang paling menguntungkan. (Iwan
Simatupang, 1966: 8).
b. Perlakukan
semua orang layaknya manusia pada umumnya!
Pada naskah RT.
Nol RW. Nol pengarang ingin menyampaikan pesan kepada pembaca, khususnya kepada
masyarakat dan pemeritah agar memperlakukan gelandangan, perampok, pemulung,
dan PSK layaknya manusia pada umumnya. Jangan karena mereka tinggal di tempat
kumuh, kurang berpendidikan, dan tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP),
mereka diperlakukan seenaknya seolah mereka tidak mempunyai hak yang sama
sebagai warga Negara.
Hal
tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dialog dibawah ini:
PINCANG
Satu per satu kita –
pungguk-pungguk kerinduan bulan – akhirnya berakhir dengan terapung di sungai
butek ini. Mayat kita yang telah busuk, dibawa kuli-kuli kotapraja ke RSUP,
lalu ditempeli dengan tulisan tercetak: Tak dikenal. Kita dikubur tanpa
upacara, cukup oleh kuli-kuli RSUP. Atau, paling-paling mayat kita disediakan
sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa-mahasiswa kedokteran. (Iwan
Simatupang, 1966: 8).
BAB
IV
SIMPULAN
Berdasarkan hasil
analisis naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang, saya
selaku penulis dapat mengambil sebuah kesimpulan sebagai berikut:
1) Tema
pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang yang
dijadikan sebagai objek penelitian adalah tentang kritik sosial terhadap masyarakat dan pemerintah.
2) Alur
atau plot pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang
yang dijadikan sebagai objek penelitian, berdasarkan urutan peristiwa dari awal
sampai akhir maka dapat dikatakan sebagai alur konvensional.
3) Tokoh
dan Perwatakan pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan
Simatupang yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah sebagai berikut;
a. Kakek
sebagai tokoh protagonis dengan perwatakan baik hati, penyabar, perhatian.
b. Pincang
sebagai tokoh protagonis dengan perwatakan baik hati, perhatian, terbuka, pantang
menyerah, ikhlas menerima nasib, ikhlas membantu orang lain tanpa pamrih.
c. Ina
sebagai tokoh protagonis dengan perwatakan baik dan rendah hati.
d. Ani
sebagai tokoh antagonis dengan perwatakan sombong dan ambisius.
e. Bopeng
sebagai tokoh antagonis dengan perwatakan mudah tersinggung dan tempramental.
f. Ati
sebagai tokoh tritagonis dengan perwatakan ramah, peduli terhadap orang lain.
4) Latar
atau setting pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan
Simatupang yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah sebagai berikut.
a. Latar
tempat: di kolong jembatan.
b. Latar
waktu: malam hari.
c. Latar
suasana: marah, tegang, sedih, dan haru
d. Latar
sosial: Kakek, Pincang, Ani, Ina, dan Bopeng adalah golongan orang yang lingkup
sosialnya rendah, sedangkan Ati adalah orang yang lingkup sosialnya tinggi.
5) Konflik
pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang yang
dijadikan sebagai objek penelitian adalah sebagai berikut:
a. Konflik
Kakek dengan batinnya cukup tajam dan serius, konflik tersebut berada dalam
valensi negatif-negatif.
b.
Konflik Pincang dengan batinnya cukup
tajam dan berada dalam valensi positif-positif.
c. Konflik
Ina dengan Pincang cukup tajam dan menarik, konflik tersebut berada dalam
valensi positif-negatif.
d.
Konflik Ani dengan alam tidak begitu
tajam dan berada dalam valensi positif-positif.
e.
Bopeng dengan Pincang cukup tajam dan
berada dalam valensi positif-negatif.
f.
Ati dengan batinnya tidak terlalu tajam
dan berada dalam valensi negatif-negatif.
6) Dialog
pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang yang
dijadikan sebagai objek penelitian adalah sebagai berikut:
a.
Dialog yang digunakan bergaya pig-pong
dan bentuk narasi.
b.
Pengarang tidak terlalu memperhitungkan
aspek rima
c.
Pengarang menggunakan bahasa sederhana
yang mudah dipahami
d.
Pengarang menggunakan bahasa halus
(tidak jorok).
7) Amanat
pada naskah drama yang berjudul RT. Nol RW. Nol karya Iwan Simatupang yang
dijadikan sebagai objek penelitian setidaknya ada dua amanat yang dapat
dipetik, amanat tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Jangan
memandang seseorang hanya dari satu sudut pandang!
b. Perlakukan
semua orang layaknya manusia pada umumnya!
DAFTAR PUSTAKA
Alwi,
Hasan, dkk. (2003). Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.
Hassanudin W.S. (2009). Drama ‘Karya Dua Dimensi’. Bandung: Angkasa.
Jaelani,
Asep Jejen. (2009). Relasi Gaya Bahasa
Dengan Citraan Pada Kumpulan Puisi “Menjadi Penyair Lagi” Karya Acep Zamzam Noor.
Kuningan: Skripsi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan.
Keraf, Gorys. (2010). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta:
Gramedia.
Keraf, Gorys. (1994). Komposisi. Jakarta: Nusa Indah.
Nierenberg,
Gerald. I. & Calero, Hendri. I. (2012). Membaca
Pikiran Orang Seperti Membaca Buku.
Jogjakarta: Think.
Nurgiantoro,
Burhan. (2010). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Pusat
Bahasa Depdiknas. (2008). Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.
Sobur, Alex. (2011). Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia
Sugiantomas,
Aan. (2012). Langkah Awal Menuju
Apresiasi Sastra Indonesia. Kuningan: Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Universitas Kuningan.
Sugiantomas,
Aan. (2013). Kajian Prosa Fiksi dan
Drama. Kuningan: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas
Kuningan.
Supradjarto,
Toto. (1991). Kesusastraan Indonesia dari
Zaman ke Zaman. Jakarta: SMA
Kanisius.
Waluyo, Herman. J. (1987). Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta:
Gramedia
Wellek,
Rene & Warren, Austin. (1989). Teori
Kesusastraan. Terj Melani Budianata. Jakarta: Gramedia