KAOS KAKI BOLONG
Hidup
ini kadang tak adil. Bagi orang kaya tertawa adalah sebuah kenikmatan yang tak
terkira, sementara bagi orang tak punya jangankan untuk tertawa, untuk
tersenyum saja harus menutupi dera dan derita. Namun begitulah romantika
kehidupan di dunia fana, suka tidak suka harus diterima dengan ikhlas dan
lapang dada. Sesungguhnya miskin dan kaya tak ada beda, tergantung bagaimana menjalaninya.
Begitupun dengan kemiskinan yang kualami, sebelum kupahami tentang makna
“kemiskinan” Aku sering menghakimi Tuhan atas dasar ketidakadilan. Ternyata Aku
salah besar. Kini kemiskinan telah menyadarkanku batapa nikmatnya penderitaan
jika dijalani dengan penuh keikhlasan. Ya, hidup sebagai orang miskin memang
harus dijalani dengan penuh keikhlasan.
Almarhum
Bapakku pernah mengatakan “Hidup sebagai orang miskin seperti kita harus
dijalani apa adanya.” Begitulah tadasnya. Itu adalah kalimat terakhir yang
diucapkan Bapak sebelum beliau meninggalkanku untuk selama-lamanya. Mungkin itu
merupakan amanat yang harus Aku pahami sebagai anak paling tua di keluargaku.
Aku tak pernah menyangka Bapak akan secepat itu meninggalkanku, Ibu, serta
kedua adikku yang masih kecil.
Setelah
Bapak meninggal Ibulah yang menjadi tulang punggung keluarga, meneruskan
pekerjaan ayah sebagai tukang becak. Kadang aku tak tega melihat Ibu harus
bangun di pagi buta, lalu pergi dan berkumpul pertigaan jalan bersama tukang becak
lainnya. Tapi apalah daya, Aku hanya bisa menahan air mata melihat keadaan yang
ada. Aku belum bisa menjadi tulang punggung pengganti Bapak mengingat usiaku
belum dewasa. Maka terpaksa Ibu harus bekerja menjadi tukang becak demi
menghidupi anak-anaknya, walaupun pekerjaan ini
tak lazim dilakukan oleh seorang wanita.
Dengan
kemiskinan yang kualami saat ini, Aku selalu belajar menjadi orang yang ikhlas
dan tabah dalam menjalani kehidupan. Aku adalah seorang siswa kelas V Sekolah
Dasar. Namaku Arif Rahman, teman di sekolah biasa memanggilku dengan panggilan
Arif. Sekolahku terletak di ujung desa sehingga Aku harus menempuh perjalanan sekitar
2 KM dari tempat tinggal. Perjalanan dari rumah ke sekolah menghabiskan waktu
selama satu jam, jika sekolah masuk pada pukul 07.30 WIB maka pukul 05.30 Aku
harus berangkat.
Meski
hidupku dipenuhi dengan segala kekurangan, tapi cita-citaku tak pernah padam.
Cita-cita terbesarku ingin menjadi seorang guru, akan tetapi ada cita-cita lain
yang terlebih dulu ingin kugapai yakni membeli kaos kaki baru, mengingat kaos
kaki yang setiap hari kupakai ke sekolah sudah bolong. Mungkin bagi anak orang
kaya untuk membeli kaos kaki baru bisa meminta kepada orang tuanya bahkan tanpa
dipintapun orang mereka akan dibelikan, tapi bagi orang miskin sepertiku
jangankan untuk meminta kepada orang tua, untuk makan sehari-hari saja kadang
ibu minta nasi kepada tetangga.
Suatu
hari Aku pernah diejek teman-teman sekelasku saat Aku hendak memasuki ruang
guru, dimana ruang guru dan kelasku saling berhadapan. Saat itu Aku hendak
mengantarkan kaca mata Pak Agung yang tertinggal di dalam kelas. Sebagaimana aturan
yang ditetapkan oleh pihak sekolah bahwa siapapun yang akan masuk ke ruang harus
melepas sepatu. Aturan tersebut belaku untuk semua pihak, baik bagi guru maupun
bagi siswa. Setelah Aku membuka sepatu dan hendak masuk ke ruang guru, Adit dan
Didin menghampiriku dengan tatapan sinis. Mereka adalah teman sekelasku yang
suka jail.
“Hey
Anak tukang becak, mau ngapain kamu masuk ke ruang guru?”, tanya Adit.
“Kamu
tidak layak masuk ke ruang guru, soalnya kamu anak tukang becak”, kata Didin.
Aku
tak menghiraukan perkataan kedua temanku itu, ketika aku melangkah tiba-tiba
Adit menarik kerah bajuku dari belakang sehingga aku terjatuh dan kaki kiriku
terkilir. Ketika aku hendak bangun, Aku merasakan kesakitan yang tak terhingga
dibagian pergelangan kaki. Adit dan Didin tertawa melihat aku kesakitan, ia
malah mengejek ketika melihat sepasang kaos kakiku bolong di bagian jempol.
“Hey
Anak tukang becak, lihatlah kaos kakimu bolong. Masa kaos kaki bolong masih
dipakai? Atau jangan-jangan itu kaos kaki bekas ibumu narik becak ya?”, ejek
Didin.
Tak
lama kemudian teman-teman sekelas berkumpul mengelilingiku, tiba-tiba mereka pun
ikut menertawakan dan mengejekku seperti Adit dan Didin. Sementara aku hanya
bisa menangis dan menahan rasa malu atas ejekan tersebut. Peristiwa itu serentak
mengundang perhatian guru-guru yang berada di ruang guru. Melihat Pak Agung menghampiriku
yang sedang menangis kesakitan, teman-teman sekelasku semuanya lari karena
takut dimarahi.
“Kamu
kenapa menangis Rif?”, tanya Pak Agung.
“Saya
mau mengantarkan kaca mata Bapak yang tertinggal di kelas, ketika saya mau menemui
Bapak, Adit menarik saya dari belakang lalu saya jatuh pak. Ini kaca mata Bapak”,
jawabku sambil menyodorkan kaca mata.
“Terima
kasih Rif, tapi kamu tidak apa-apa kan?”, tanya Pak Agung.
“Kaki
saya terkilir pak, tapi saya masih bisa berjalan ko Pak”, jawabku sambil
menahan sakit. Kalau begitu saya permisi ke kelas lagi Pak.
“Syukurlah
kalau begitu. Ya sudah kamu jangan menangis lagi Rif!” Jawab Pak Agung.
“Iya
Pak”, jawabku sambil berjalan meninggalkan Pak Agung.
Setelah
bel pulang berbunyi, aku langsung pulang ke rumah. Seperti biasa aku langsung
ganti pakaian, membersihkan rumah dan menjaga adik-adikku yang ditinggal Ibu
bekerja. Ketika Aku sedang sekolah Ibu biasa menitipkan adik-adikku kepada
tetangga samping rumah, sementara jika Aku selesai sekolah maka Akulah yang
menjaganya.
Senja
telah di upuk barat, matahari kian redup tapi Ibu belum juga pulang. Aku sangat
khawatir terjadi sesuatu pada Ibu. Tapi tak lama kemudian Ibu pulang, wajahnya
tampak lelah dan dipenuhi debu jalanan. Tapi Ibu selalu berusaha menutupi apa
yang dirasakannya, walaupun Aku tahu apa yang Ibu rasakan sesungguhnya. Tanpa
banyak bicara, Ibu langsung pergi ke dapur menyiapkan makan untuk keluarga.
Selesai makan Aku menceritakan kejadian yang ku alami di sekolah, aku berniat
ingin berhenti sekolah karena aku sering diejek teman-teman sekelas karena
sepasang kaos kakiku bolong.
“Bu,
Arif tidak mau sekolah lagi. Arif mau berhenti sekolah saja”, kataku.
“Loh,
kenapa Nak?” tanya Ibu.
“Arif
malu Bu, tadi siang Arif diejek teman-teman sekolah gara-gara kaos kaki Arif
bolong. Di kelas juga Arif sering diejek karena Ibu bekerja sebagai tukang
becak, Arif mau bekerja saja”. Jawabku.
“Nak,
kalau kamu tidak sekolah kamu mau jadi apa? Lagipula usia kamu masih
kanak-kanak, kamu bisa kerja apa?” tanya Ibu
“Kalau
begitu Arif mau jaga adik-adik saja di rumah” jawabku sambil menundukan kepala.
“Nak,
dengarkan Ibu! Walaupun kamu terlahir dari keluarga tak punya, Ibu ingin
anak-anak Ibu mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Ibu ingin kalian punya
cita-cita, agar ketika Ibu tua nanti kalian bisa menjadi anak kebanggaan
keluarga, bangsa dan negara. Ibu yakin, Tuhan akan selalu memberi jalan bagi
hambanya yang sungguh-sungguh menuntut ilmu. Masa gara-gara kaos kaki bolong
saja kamu jadi minder dan patah semangat? Apa kamu lupa amanat almarhum Bapak?
Ingatlah Nak, hidup menjadi orang miskin seperti kita harus dijalani apa adanya!
Jadikan ejekan teman-temanmu sebagai motivasi dalam diri untuk menjadi siswa
berprestas!’’
Kata-kata
Ibu seolah membakar semangatku, membangkitkan semangat baru untuk terus
menuntut ilmu. Tak lama kemudian Ibu kembali berbicara.
“Satu
lagi yang harus kamu tanamkan dalam hati. Pekerjaan apapun dimata Tuhan adalah
sama Nak, baik itu bekerja sebagai TNI, polisi, dosen, guru, karyawan,
pedagang, petani, tukang ojek, bahkan tukang becak di mata Tuhan itu semua sama
Nak. Yang membedakan adalah bagaimana cara mendapatkan uangnya, apakah dengan
cara halal atau dengan cara haram. Jadi kalau ada lagi teman yang mengejekmu
mengenai pekerjaan Ibu, kamu tidak perlu malu karena uang yang Ibu terima
didapat dengan cara yang halal”, pungkas Ibu sambil menyuruhku belajar dan
menyiapkan buku pelajaran untuk esok hari.
Ibuku
memang luar bisa, beliau pandai bermain kata-kata yang bisa membangkitkan
semangat anak-anaknya. Sejak saat itu Aku jadi lebih giat belajar meski dengan
segala keterbatasan. Aku menjadi lebih ikhlas menerima keadaan, dari keikhlasan
itulah melahirkan sebuah prisip yang Aku pegang, bahwa tak ada batasan bagi
seseorang untuk menggapai impian walaupun hidup dalam segala keterbatasan. Maka
saat itu juga prestasiku semakin meningkat, terbukti dari rangkingku yang
sebelumnya hanya masuk sepuluh besar sekarang meningkat menjadi tiga besar.
Waktu
terasa begitu cepat berputar, kini aku sudah duduk di kelas enam. Rasanya baru
kemarin aku didaftarkan oleh Ibu ke Sekolah Dasar kini aku sudah kelas enam,
dimana sebentar lagi Aku akan menghadapi saat-saat yang menegangkan yakni Ujian
Nasional. Sebab, Ujian Nasionallah yang akan menentukan nasibku selama enam
tahun belajar di Sekolah Dasar.
Ujian
Nasional tinggal menghitung hari, semua guru mengingatkan agar semua siswa
harus lebih giat belajar. Bahkan beberapa temanku sudah dibelikan sepatu dan
kaos kaki baru untuk dipakai ketika ujian, sementara Aku tetap memakai kaos
kaki bolong milikku satu-satunya. Aku tetap memakai kaos kaki bolong bukan
berarti Ibu tak memperdulikanku, akan tetapi karena keterbatasan keluargaku
yang tidak memungkinkan Ibu untuk membelikanku kaos kaki baru. Suatu hari
ketika Aku dan teman-teman sedang mengikuti pelajaran tambahan, Kepala Sekolah
menyampaikan pengumuman di depan kelas.
“Anak-anak,
Bapak akan menyampaikan kabar gembira. Bagi siswa yang lulus ujian dengan nilai
paling besar Bapak akan memberi penghargaan berupa piala dan uang. Maka dari
itu tingkatkan porsi belajar kalian, silahkan besaing secara sehat!” kata
Kepala Sekolah.
Mendengar
pengumuman tersebut seolah memberi angin segar bagiku, Aku sempat membayangkan
jika Aku yang mendapat penghargaan tersebut tentu akan kubelikan kaos kaki baru
yang selama ini Aku impikan. Walaupun masa sekolahku tinggal beberapa bulan,
setidaknya kaos kaki baru itu bisa kupakai ketika perpisahan.
Hari
pertama Ujian Nasional telah tiba, hari pertama kulalui tanpa kendala. Meskipun
Aku tetap memakai kaos kaki bolong, tapi tak mengurangi konsentrasiku pada
soal-soal yang harus kujawab. Begitupun hari kedua, tak ada kendala dalam
menjawab soal-soal yang diberikan. Bagiku Ujian Nasional tak ada bedanya dengan
ulangan harian ataupun ujian kenaikan kelas, mungkin karena persiapanku sudah
matang sebelumnya. Namun hari terakhir Ibuku mendadak sakit parah, tidak
mungkin Aku berangkat ke sekolah untuk mengikuti ujian mengingat Ibu dalam
keadaan sakit.
Aku
sempat berpikir, jika Aku tidak mengikuti ujian hari terakhir maka sudah dapat
diprediksi Aku tidak akan lulus Sekolah Dasar. Tapi disisi lain, Ibu sangat
membutuhkanku saat ini.
“Nak,
kamu berangkat saja ke sekolah!”, kata Ibu sambil terbata-bata.
“Tidak
bu, Arif mau di sini saja menunggu Ibu. Arif tidak tega meninggalkan Ibu dalam
keadaan sakit seperti ini”, jawabku.
“Ini
kan ujian hari terakhir Nak, nanti kamu tidak akan lulus. Perjuangan kamu
selama enam tahun akan sia-sia Nak!” tegas Ibu.
“Ibu
tidak usah khawatir, Arif tidak lulus juga tidak apa-apa Bu. Kesehatan Ibu
lebih penting dari segalanya, lagipula tidak ada yang sia-sia Bu. Arif pernah
dikasih tau oleh guru ngaji Arif di langgar, bahwa Ujian Nasional tidak bisa
dijadikan tolak ukur kemampuan siswa, dan lembar ijazah yang dibagikanpun tidak
bisa dijadikan patokan bahwa siswa tersebut pintar atau bodoh. Ibu tenang saja
ya, Arif akan menunggu Ibu di sini sampai sembuh”, jawabku sambil memegang
kedua tangan Ibu yang sedang terbaring lemah.
Tak
lama kemudian Kepala Sekolah menjemputku rumah bersama Pak Agung dengan
mengendarai motor tuanya. Beliau seolah tau kalau Ibu sedang sakit. Setelah
menemui Ibu, Kepala Sekolah langsung mengajakku ke sekolah untuk mengikuti
ujian.
“Arif
ayo kamu ikut Bapak ke sekolah, ujian ini menentukan kelulusanmu!” Ajak Kepala
Sekolah.
“Tapi
Ibu sedang sakit pak”, jawabku.
“Ibumu
nanti biar Pak Agung yang menjaganya, sekarang Arif ikut Bapak ke sekolah.
Nanti selesai ujian Bapak antarkan lagi kesini”, lanjut Kepala Sekolah.
“Baiklah
kalau begitu Pak”, jawabku.
Mendengar
perkataan Kepala Sekolah, Aku bergegas memakai seragam seragam sekolah lengkap
dengan dasi dan topi, serta kaos kaki bolong yang selalu ku pakai setiap pergi
ke sekolah.
Sesampainya
di sekolah Aku sudah terlambat, waktu yang tersisa tinggal 30 menit. Aku tak
menghiraukan sisa waktu tersebut, yang terpenting adalah menjawab soal semampuku.
30
Menit telah berlalu. Guru pengawas memberi kode bahwa waktu ujian telah
selesai, meskipun sisa waktu yang kumiliki hanya 30 menit, Aku mampu menjawab
semua soal dengan baik. Setelah aku mengumpulkan lembar soal dan lembar
jawaban, Kepala Sekolah langsung mengantarkanku kembali ke rumah.
Sesampainya
di rumah, Kepala Sekolah langsung kembali ke sekolah dengan memboncengan Pak
agung yang sebelumnya di peritahkan untuk menunggu Ibu di rumah selama Aku
melaksanakan ujian. Aku langsung menemui Ibu yang sedang sakit, ketika Aku masuk
ke kamar Ibu, ternyata Ibu sudah bisa duduk sendiri. Melihat hal itu, Aku
sangat senang karena itu tandanya Ibu sudah sembuh.
Pengumuman
kelulusan sudah tiba, semua siswa kelas enam berkumpul di halaman sekolah. Kepala
Sekolah mengumumkan bahwa semua siswa lulus 100%, adapun siswa yang lulus
mendapat nilai paling besar yaitu temanku yang bernama Anida Fitriani. Maka
otomatis penghargaan berupa piagam dan uang yang Aku dambakan jatuh pada
temanku. Padahal nilai Anida hanya beda tipis dengan nilai perolehanku, tapi karena
Anida lebih unggul maka dialah yang lebih berhak mendapat penghargaan.
Betapa
terpukulnya hatiku saat mendengar hal tersebut, karena rencanaku untuk membeli
kaos kaki baru dari uang penghargaan tidak jadi. Akan tetapi Pak Agung selaku
wali kelas memberikan penghargaan berupa bingkisan kepada siswa yang nilainya
masuk tiga besar. Ketika Aku buka bingkisan tersebut ternyata isinya sepatu dan
kaos kaki baru. Betapa senangnya melihat hal tersebut, kini Aku memiliki kaos
kaki baru yang selama ini Aku impikan, selain itu Aku juga punya sepatu baru
yang akan ku pakai ketika hari perpisahan tiba meskipun sepatu dan kaos kaki
tersebut tak sebagus milik teman-temanku yang dibelikan orang tuanya. Tapi Aku
akan lebih bangga ketika memakainya, sebab sepatu dan kaos kaki yang akan
kupakai merupakan suatu penghargaan yang diberikan wali kelas atas prestasiku.